jpnn.com - JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, menilai langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka kotak suara pascapenetapan hasil pemilu presiden sebelum ada perintah dari Mahkamah Konstitusi (MK), melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Pasalnya, setelah penetapan hasil urusan pembukaan kotak suara sudah menjadi kewenangan MK. Apalagi jika ada sengketa diajukan oleh salah satu pasangan calon presiden.
BACA JUGA: Saksi Ahli Prabowo-Hatta Minta MK tak Berkutat pada Angka
“Setelah rekapitulasi suara nasional, pembukaan kotak suara bukan bagian KPU tapi MK. Jadi itu tidak sah karena ada pelanggaran etik,” ujar Margarito di sela-sela sidang dugaan pelanggaran kode etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Gedung Kementerian Agama, Jumat (14/8) malam.
Untuk memerkuat pandangan tersebut, Margarito yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh tim advokasi Prabowo-Hatta dalam sidang DKPP, mencontohkan terkait sikap KPU sendiri setelah melakukan pembukaan kotak tersebut.
BACA JUGA: 2015 Gaji Naik 6 Persen, PNS Disarankan Pintar Menabung
"Kalau memang kotak suara punya dia (KPU), kenapa setelah membongkar KPU meminta izin kepada MK? Berarti mereka punya keragu-raguan dalam melakukan itu," katanya.
Namun mantan Hakim Konstitusi, Harjono, tidak sependapat dengan Margarito. Menurutnya, KPU dapat saja membuka kotak suara sebelum ada perintah dari Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan dapat mengeluarkan aturan untuk itu, sepanjang bisa dipertanggungjawabkan.
BACA JUGA: KPU Tegaskan, Penggunaan IT untuk Transparansi
“Praktiknya kan KPU buka kotak suara terus. Dari pilkada juga buka. Enggak usah diperintah. Dari pilpres dulu juga buka. Jadi enggak harus menunggu putusan MK. Dari dulu sudah dipraktikkan. Sudah banyak pilkada gitu,” katanya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dorong KPK Usut Pengadaan Suvenir HUT RI di Istana
Redaktur : Tim Redaksi