Mantan Pilot Ini Mendapat Julukan Malaikat

Jumat, 07 Oktober 2016 – 00:07 WIB
NIAT BAIK: Budi Soehardi dan Peggy Lakusa di tengah anak-anak Panti Asuhan Roslin di Kupang, NTT. Foto: Panti Asuhan Roslin for Jawa Pos

jpnn.com - SOSOK Budi Soehardi cukup beken di kalangan masyararakat Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Mantan pilot Garuda dan Singapore Airlines itu sampai mendapat julukan malaikat karena dedikasinya mengurus ratusan anak di Panti Asuhan (PA) Roslin yang didirikannya bersama istri, Rosalinda Panagia Maria Lakusa. Inilah cerita peraih CNN Heroes 2009 tersebut. 

BACA JUGA: Di Daerah Ini Tarif Ojek Rp 350 Ribu Sekali Jalan

ANDRA NUR OKTAVIANI, Kupang

Jumlah anak di PA Roslin, Kupang, dari hari ke hari makin banyak. Kini mencapai sekitar 150 orang. Mulai umur 6 tahun hingga 24 tahun. 

BACA JUGA: Kisah Pemuda Katolik Mendapat Orang Tua Angkat Muslim

Tapi, tidak seperti kebanyakan panti asuhan yang membuka kesempatan kepada orang untuk mengadopsi anak-anak di situ, PA Roslin sebaliknya. 

”Kami tidak menerima adopsi. Kami justru yang mengadopsi jika ada anak yang mau tinggal di panti,” kata Budi membuka obrolan dengan Jawa Pos saat ditemui di PA Roslin Senin (3/10).

BACA JUGA: Pengikut Dimas Bertahan di Tenda-tenda, Menunggu Perintah Gaib

Budi dan istrinya, Peggy (panggilan Rosalinda Panagia Maria Lakusa), mulai membangun PA Roslin pada 2000 setelah setahun sebelumnya mengunjungi Pulau Timor untuk menyalurkan bantuan kepada para pengungsi Timor Timur (Timtim) yang kondisinya cukup memprihatinkan. 

Para pengungsi itu adalah orang-orang yang terusir dari kampung halaman setelah referendum Timtim yang memilih memisahkan diri dari NKRI.

Budi berkisah, semua itu bermula dari ketidaksengajaan dirinya dan keluarga menyaksikan tayangan kamp pengungsi Timtim di Atambua yang sangat menyedihkan. 

Melihat itu, Budi dan keluarga yang sedang makan dan merencanakan liburan keliling dunia mendadak jadi tidak berselera makan lagi. 

Mereka ”tidak sampai hati” untuk memakan makanan lezat yang sudah disuguhkan, sedangkan di Atambua ada ratusan pengungsi yang kelaparan dan hidup memprihatinkan.

Budi menceritakan, kondisi para pengungsi parah sekali. Tenda pengungsiannya sangat tidak layak.

Tempat tinggal sementara itu dibangun dari kardus, kain spanduk, dan barang-barang bekas yang ditali ke pohon. Belum lagi kebutuhan makanan mereka. 

Saat Budi dan keluarganya bersiap menikmati hidangan makanan Korea favorit mereka, para pengungsi harus membagi satu mi instan dengan seluruh anggota keluarga.

”Mereka masak mi di bekas kaleng cat. Mereka lalu memasukkan semua sayuran yang ada di sekeliling mereka. Termasuk rumput krokot yang tumbuh liar di situ,” kata Budi yang masih terbayang kondisi di pengungsian Timtim tersebut hingga sekarang.

Budi, istri, dan ketiga anaknya lantas saling pandang. Mereka mencoba saling meyakinkan apakah rencana liburan mereka yang dipersiapkan sejak lama akan tetap dilaksanakan atau tidak. 

Namun, akhirnya Budi meminta izin untuk mengalihkan liburan mereka ke Timor, NTT, guna membantu para pengungsi di sana. Tak diduga, istri dan anak-anaknya langsung setuju.

Malam itu juga Budi menyebar e-mail yang berisi rencananya terbang ke Timor. Dia membuka kesempatan kepada rekan-rekan sejawat yang ingin membantu para pengungsi di sana. 

”Waktu itu saya pasang target bawa barang 250 kilogram dan uang 10 ribu dolar dari keluarga saya,” terangnya.

Paginya, ponsel Budi terus berdering. Rekan-rekannya ternyata menyambut positif ajakan Budi. Mereka ikut berpartisipasi. Ada yang menyumbang barang. Ada juga uang tunai. Jika ditotal, uangnya mencapai 67 ribu dolar, sedangkan barangnya membengkak menjadi 1 ton. 

Tapi, persoalan baru muncul. Budi kesulitan untuk mengangkut barang sebanyak itu dari Jakarta ke Kupang. Seorang teman lalu menyuruh dia mengontak seseorang. 

”Saya tidak kenal dia. Ternyata, dia adalah station manager Singapore Airlines di Changi. Saya lalu memperkenalkan diri sebagai Kapten Budi Soehardi agar bisa mendapat diskon kargo,” kenang Budi, lantas tertawa.

Lagi-lagi, tanpa diduga, Budi mendapat kemudahan. Dia bisa membawa barang-barang bantuan itu via pesawat kargo Singapore Airlines. Bahkan, yang mengejutkan, ketika dia akan membayar biayanya, petugas mengatakan bahwa semua gratis. 

”Ketika saya tanya berapa, petugas konter bilang done. Katanya done untuk charity. Saya tidak perlu membayar sepeser pun,” cerita mantan pilot Garuda Indonesia (1976–1989), Korean Air (1989–1998), dan Singapore Airlines (1998–2015) itu.

Sebelum berangkat, Budi dan istri menambah barang yang akan dibawa ke Kupang. Jumlahnya sangat banyak. Sampai rumahnya di kawasan Kalideres tidak mampu menampung. 

”Mungkin jika ditotal, beratnya sampai 9 ton. Ini juga makin membuat saya pusing memikirkan cara membawanya ke NTT,” ujarnya.

Keajaiban kembali menghampiri Budi. Saat sedang kalut dengan masalahnya, Budi menemukan nomor telepon temannya yang sudah lama hilang kontak. Dia teman pilot semasih di Garuda.

”Teman saya itu menyuruh saya menghubungi seorang kapten kapal Pelni yang mungkin bisa membantu saya,” kata pria asal Jogjakarta tersebut.

Budi pun langsung menghubungi kapten kapal itu dan mengungkapkan maksudnya. Awalnya sang kapten agak menjaga jarak. Namun, setelah mendengar nama keluarga Peggy, dia langsung ramah.

Sang kapten malah meminta Budi memanggilnya om karena ternyata dia adalah teman kecil mertua Budi. ”Saya benar-benar dimudahkan,” ucap Budi penuh syukur.

Sesampai di kamp pengungsi di Atambua, Budi dan keluarga makin tidak tega melihat kondisi para pengungsi yang ternyata lebih merana daripada yang digambarkan di televisi. Para pengungsi sudah tidak peduli apa yang mereka makan. 

”Makanan mereka dikerumuni semut pun masih tetap mereka makan. Bayi-bayi juga tidak terurus. Beberapa malah dibiarkan begitu saja karena penuh luka,” cerita Budi.

Setelah kunjungan pertamanya itu, di sela-sela kesibukannya bekerja, Budi dan Peggy masih bisa berkunjung ke Timor untuk membantu para pengungsi. Tidak seperti kedatangan pertama, kedatangan Budi selanjutnya tak membawa barang-barang bantuan. 

”Kami belajar dari pengalaman sebelumnya. Kami bawa uang saja. Belanja di Kupang sudah cukup,” ujar peraih CNN Heroes 2009 tersebut.

Dari kunjungan demi kunjungan itu, terbetiklah niat Budi dan istri untuk mengentaskan anak-anak para pengungsi tersebut. Mereka lalu punya ide untuk membawa anak-anak itu ke Kupang. Awalnya mereka mengontrak sebuah rumah seharga Rp 500 ribu sebulan. 

”Kami bermaksud merawat mereka. Dari rumah kontrakan itulah kami mulai merintis untuk mendirikan panti asuhan ini,” kata Budi.

Budi lalu mempekerjakan beberapa perempuan untuk merawat empat bayi yang berhasil mereka selamatkan dari tempat pengungsian. 

Budi menjelaskan, kondisi bayi-bayi yang ditinggalkan orang tuanya itu sangat memprihatinkan. Tubuhnya penuh luka. 

Bayi-bayi tersebut disembunyikan para pengurus tempat pengungsian agar tidak terlihat tamu yang mengunjungi kamp.

”Setelah ada rumah kontrakan itu, istri saya sering bolak-balik ke Kupang. Dalam sebulan bisa sampai lima kali. Dia yang ngurus panti asuhan ini,” terang pria 60 tahun tersebut.

Ternyata, niat baik Budi dan Peggy sempat menjadi bahan pergunjingan masyarakat setempat. Keduanya sempat disangka sebagai anggota sindikat penjualan bayi. 

Masyarakat menuding mereka mengumpulkan bayi di rumah kontrakan itu untuk kemudian dijual ke luar Timor. 

Namun, Budi dan Peggy tidak menyerah pada tudingan miring tersebut. ”Saya dan istri terus menjalankan panti asuhan itu tanpa memikirkan omongan orang,” ucapnya.

Apalagi, dari hari ke hari jumlah anak yang dititipkan ke panti terus bertambah. Dalam waktu singkat, jumlah anak yang diasuh panti menjadi 16. 

Budi pun mulai kepikiran tempat penampungan mereka yang kian sesak. Maka, dia lalu berembuk dengan istri untuk mendirikan panti asuhan yang permanen.

Singkat cerita, Budi akhirnya bisa membangun panti asuhan di Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kupang. Lahan yang dipakai adalah tanah yang dia beli pada 1990-an. 

Setelah gedung selesai dibangun, Budi makin serius menjalankan pantinya itu. Tak heran bila anak asuhnya terus bertambah. Kini jumlahnya mencapai sekitar 150 orang. 

Sebagai pilot senior di maskapai internasional, kala itu Budi tidak kesulitan untuk menghidupi PA Roslin. 

Setiap bulan dia menyisihkan sebagian gajinya untuk mengembangkan Roslin. Mulai menambah bangunan, membuat bangunan baru, hingga mendirikan sekolah sendiri. 

Tapi, setahun lalu Budi pensiun. Meski begitu, dia mengaku masih bisa hidup dan menghidupi panti asuhannya yang makin besar. 

”Ini keajaiban lagi. Ada saja yang datang membantu. Seperti sekarang ini. Kami baru saja mendapat sumbangan laptop dari Angkasa Pura,” bebernya.

Budi percaya apa yang dilakukannya bersama sang istri merupakan sesuatu yang baik sehingga keajaiban pun terus hadir. 

”Kami mengurus anak-anak Tuhan. Tentu Tuhan ingin memberi kami juga. Dan inilah hasil pemberiannya. Datang dari mana saja yang tidak diduga-duga,” kata Budi.

Saat ini beberapa anak PA Roslin sudah menyelesaikan sekolah. Bahkan hingga perguruan tinggi. Ada yang sedang menunggu sumpah dokter. Ada yang menunggu wisuda setelah lulus dari kuliah ilmu komputer. 

Ada juga beberapa anak Roslin yang dikirim ke Jakarta untuk mendapatkan pendidikan lebih baik. Anak-anak itu tidak kalah berprestasi dibanding mahasiswa lain di kampus mereka. (*/c9/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Biasa Kayuh Sepeda ke Sekolah 5 Km dan Cari Kayu Bakar Bantu Keluarga


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler