Marak Kasus Pailit Bikin Rugi Pengembang Properti dan Konsumen

Jumat, 18 September 2020 – 16:40 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soroti pengembang nakal. Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia Erwin Kallo menyoroti maraknya kasus kepailitan yang menimpa sejumlah perusahaan pengembang properti nasional.

Pasalnya permasalahan tersebut menambah persoalan baru di kala pandemi.

BACA JUGA: Sektor Properti Jadi Penggerak Perekonomian Nasional di Kala Pandemi

Industri properti yang tengah berjuang untuk kembali bangkit akibat anjloknya penjualan terpaksa harus menghadapi persoalan serius yang dipicu oleh terjadinya kasus kepailitan.

"Perlindungan terhadap konsumen dan developer properti perlu menjadi prioritas karena acap kali kasus pailit justru  ditunggangi oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan tertentu," ujar Erwin dalam diskusi secara virtual, Jumat (18/9)

BACA JUGA: Tak Tahu Sakit apa, Donita: kok Kayak Covid-19, mau Mati Rasanya

Pada kenyataannya, menurut Erwin, konsumen properti adalah pihak yang paling dirugikan jika terjadi kasus pailit. Hal ini karena konsumen bukan kreditur preferen sehingga pengembalian dana dilaksanakan paling akhir, jika semua pihak telah terbayarkan.

“Justru itu, konsumen mau tidak mau harus mencegah terjadi pailit dalam rapat kreditur dengan menggunakan hak suara,” kata Erwin.

BACA JUGA: Ada Promo Menarik Buat Milenial di Ajang Indonesia Properti Virtual Expo

Dia menegaskan, yang paling untung dalam kasus pailit adalah oknum, para distressed investor dan tentu saja kurator. Karena kurator langsung mendapatkan bagian 7 persen di depan, apapun hasil akhir kepailitannya.

Dengan kondisi tersebut, Erwin sepakat revisi UU Kepailitan dan PKPU wajib diakselerasi oleh Pemerintah dan DPR, revisi UU Kepailitan dan PKPU diharapkan mampu menjaga dan melindungi industri properti termasuk konsumen dan developer dari ulah para oknum.

Sementara praktisi hukum dari Hermawan Juniarto & Partners Cornel B Juniarto menilai undang-undang maupun peraturan tentang kepailitan ibarat pisau bermata dua.

Dia mencontohkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

"Keduanya secara prinsip merupakan payung hukum bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan yang mengatur tata cara atau mekanisme penyelesaian kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian atau transaksi," jelasnya.

Namun sayangnya, sebagai pijakan hukum, UU Kepailitan dan PKPU telah mengalami beragam ujian, khususnya berkaitan dengan tingkat efektifitasnya sebagai sumber hukum dalam penyelesaian kewajiban antara kreditur dan debitur di masyarakat.

Secara sederhana, kepailitan dikenal sebagai sarana yang bisa digunakan oleh para kreditur untuk 'memaksa' debitur menyelesaikan kewajibannya.

Sementara sebaliknya PKPU merupakan sarana yang dapat digunakan bagi debitur untuk menyelamatkan usahanya dari ancaman kebangkrutan.

“Namun kenyataannya, dalam beberapa kasus, UU kepailitan dan PKPU justru digunakan debitur sebagai sarana untuk menghindari pemenuhan kewajbannya terhadap para kreditur,” tegas Cornel.(chi/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler