Margiono, Selalu Ada Jalan

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 02 Februari 2022 – 18:10 WIB
Margiono. Foto: Dok PWI.

jpnn.com - Bagi orang Jawa, setiap ada kesulitan pasti ada jalan. Karena itu, pada 1959 seorang ibu di Desa Campurdarat, Tuluangagung, Jawa Timur, memberi nama ‘’Margiono’’ kepada anaknya yang baru lahir.

Margi artinya jalan, ono artinya ada. Selalu ada jalan.

BACA JUGA: Margiono Meninggal Dunia, Ketua PWI Mengenang Sosok Almarhum

Nomo kinaryo jopo. Nama mempunyai kekuatan doa dan harapan.

Nomo atau nama, bukan sekadar identitas, tetapi membawa harapan dan doa. Kalau seorang anak tidak kuat menyangga namanya, dia bisa sakit-sakitan. Begitu keyakinan mistisisme Jawa.

BACA JUGA: Berita Duka, Mantan Ketua Umum PWI Pusat Margiono Meninggal Dunia

Jopo, bagi orang Jawa, bukan sekadar doa dan harapan, tetapi juga ada kekuatan spiritual dalam bentuk rapalan.

Maka, memberi nama seorang anak adalah upaya memberi identitas dan menggantungkan harapan, agar sang anak bisa menemukan jalan dalam hidup.

BACA JUGA: Semoga HPN 2022 di Sultra Temukan Jalan Terbaik untuk Pers

Si Margiono kecil tumbuh menjadi manusia yang selalu menemukan jalan untuk mengatasi berbagai kesulitan, dan selalu ada jalan untuk meraih berbagai keinginannya.

Dari desanya yang terpencil Margiono terbang tinggi menjadi salah satu tokoh pers nasional yang mengukir sejarah.

Latar belakang budaya Tulungagung menjadi identitas personal Margiono. Tulungagung adalah wilayah Jawa Timur dengan budaya mataraman yang lebih kental dengan pengaruh Jawa Tengah.

Masyarakat Tulungagung lekat dengan budaya Jawa abangan dengan berbagai variannya.

Sabung ayam menjadi salah satu tradisi khas Tulungagung.

Dalam tradisi Jawa, adu jago identik dengan taruhan yang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari tradisi itu.

Judi sabung ayam menjadi bagian dari tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun di Tulungagung.

Praktik perjudian kecil seperti judi kopyok atau judi kolas yang berhadiah telor asin, menjadi tradisi yang dijumpai di berbagai keramaian, seperti di pesta perkawinan atau pesta desa sedekah bumi setelah panenan.

Wayang menjadi pertunjukan yang paling populer di kalangan masyarakat. Pada setiap perhelatan biasanya warga menanggap wayang. Judi kecil-kecilan menjadi bagian dari perhelatan.

Sabung ayam dan judi kopyok melahirkan kelas elite sosial yang disebut sebagai ‘’botoh’’, sebutan botoh diberikan kepada orang-orang membawa ayam ke arena sabung dan bertindak semacam pelatih dalam pertandingan tinju.

Para botoh menjadi kelas elite sebagai pemilik ayam-ayam aduan yang jagoan. Para botoh juga sekaligus bertindak sebagai petaruh yang menjagokan ayamnya di setiap arena sabung.

Para botoh ini menjadi tokoh yang disegani dan berpengaruh di masyarakat, dan kemudian berkembang menjadi opinion leader atau opinion maker. Para botoh ini kemudian menjadi broker politik yang kuat karena jaringannya yang mengakar.

Wayang merupakan pertunjukan favorit di kalangan masyarakat Tulungagung. Karena itu para dalang mendapatkan posisi sosial yang tinggi dan dihormati.

Dalang-dalang yang terkenal mempunyai status sosial yang elite di kalangan masyarakat.

Margiono mempelajari pedalangan dan menjadi dalang, meskipun tidak profesional.

Sebagaimana masyarakat pedalaman Jawa pada umumnya, warga pedesaan Tulungagung kental dengan praktik spritualisme Jawa.

Islam adalah agama mayoritas yang dianut warga dengan tetap menjalankan ritual mistisisme Jawa dan praktik-praktik kejawen peninggalan Hindu, sehingga melahirkan varian Islam.

Latar belakang budaya itu menjadi identitas Margiono yang kuat. Dengan latar belakang budaya itu Margiono mulai menyusuri kariernya.

Teman-temannya menyebut Margiono dengan panggilan ‘’Emge’’ dari inisial namanya ‘’m-g’’.

Inisial itu dipakainya ketika mengawali kariernya sebagai wartawan Jawa Pos di awal 1980-an. Nama itu kemudian melekat kepada Margiono dan membawa berkah dalam karier jurnalistiknya yang panjang.

Margiono adalah generasi rekrutmen pertama Jawa Pos setelah diambil alih Tempo dan dipimpin oleh Dahlan Iskan. Selepas belajar ilmu pendampingan sosial di perguruan tinggi Margiono diterima di Jawa Pos bersama-sama dengan Solihin Hidayat dan Mohammad Siradj. Trio ini kemudian berkembang menjadi calon-calon pimpinan Jawa Pos di masa depan.

Pada masa itu Jawa Pos masih berkantor di sebuah bangunan tua di Jalan Kembang Jepun, sebuah kawasan pecinan di Surabaya Utara. Margiono dan kawan-kawan disebut sebagai generasi Kembang Jepun yang menjadi pionir awal kemajuan Jawa Pos.

Margiono adalah salah satu saksi dan pelaku sejarah perkembangan Jawa Pos yang fenomenal. Dari sebuah gedung tua persis di seberang Jembatan Merah yang bersejarah, Jawa Pos berkembang menjadi konglomerasi media yang menjalar ke seluruh antero Indonesia.

Secara umum periodesasi konglomerasi Jawa Pos bisa dibagi menjadi tiga. Periode Kembang Jepun, Karah Agung, dan Graha Pena.

Kembang Jepun adalah periode awal Jawa Pos ketika masih berada pada fase ‘’komodifikasi awal’’. Ketika itu core bisnis Jawa Pos adalah melakukan komodifikasi dengan ‘’menjual berita’’.

Komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar.

Berita adalah sesuatu yang punya nilai guna dan bisa didapat secara percuma.

Namun, kemudian oleh media, berita dijadikan komoditi yang mempunyai nilai tukar di pasar, yang bisa dijual kepada pembaca maupun pemasang iklan.

Periode Karah Agung mulai 1990 menjadi titik perkembangan konglomerasi Jawa Pos. Pada masa itu Jawa Pos hijrah dari Kembang Jepun ke Karah Agung.

Jawa Pos mulai memasuki fase ‘’spasialisasi’’ dengan melakukan ekspansi ke berbagai daerah di Indonesia, seiring dengan munculnya teknologi cetak jarak jauh.

Spasialiasi adalah fase ketika ruang dan waktu sudah bisa ditembus melalui teknologi. Saat itu Jawa Pos mengembangkan konglomerasi ke berbagai wilayah dengan melakukan kerja sama dengan berbagai media lokal.

Fase ini berlangsung sampai dengan 1998, ketika terjadi reformasi politik yang membawa kebebasan bagi media untuk berkembang seluas-luasnya.

Kebebasan pers itu muncul bersamaan dengan fase Graha Pena. Ketika itu Jawa Pos membangun office building 21 lantai dan menjadi salah satu lanskap Kota Surabaya. Jawa Pos menjadikan Graha Pena sebagai head quarter untuk mengembangkan konglomerasi ke seluruh Indonesia.

Itulah fase ‘’strukturasi’’ fase kematangan bagi Jawa Pos. Dalam sepuluh tahun sejak era Graha Pena Jawa Pos menjadi kekuatan konglomerasi media nasional terbesar.

Pada periode itulah Jawa Pos memasuki fase strukturasi karena pengaruh politiknya sudah menasional. Pada periode itulah Dahlan Iskan menjadi direktur utama PLN (Perusahaan Listrik Negara) pada 2009 dan kemudian menjadi menteri BUMN pada 2011.

Strukturasi adalah proses interaksi antara struktur dan agen dengan kekuasaan. Jawa Pos adalah struktur dan Dahlan Iskan adalah agen. Struktur dan agen ini kemudian berinteraksi dengan kekuatan politik dan menemukan hubungan yang saling menguntungkan dan membutuhkan.

Margiono menjadi bagian penting dari semua proses itu.

Pada masa awal reformasi Margiono ditugaskan untuk mengembangkan Jawa Pos ke Jakarta. Ketika itu Jawa Pos menjalin kerja sama dengan Harian Merdeka. Kerja sama itu tidak berjalan mulus dan kongsi pecah.

Margiono kemudian mendirikan ‘’Rakyat Merdeka’’.

Di bawah Margiono Rakyat Merdeka berkembang menjadi koran politik yang sangar. Jurnalisme yang diterapkan Margiono adalah anti-mainstream yang mengagetkan dengan judul-judul headline banner yang menyalak.

Margiono berani membuat judul headline banner ‘’Mulut Mega Bau Solar’’.

Namun, Margiono tidak kehilangan humornya ketika membuat judul headline ‘’Si Bagir Anak Nakal’’ yang mengkritik ketua Mahkamah Agung Bagir Manan.

Di bawah Margiono Rakyat Merdeka menjadi konglomerat tersendiri dengan beberapa media yang menjadi anaknya. Margiono melahirkan koran-koran seperti ‘’Lampu Merah’’.

Mereka yang skeptik menyebut koran-koran Margiono kuning dan murahan.

Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa Margiono memahami filosofi post-modernisme dan menerapkannya dalam praktik jurnalisme.

Dengan reputasi itu Margiono menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat selama dua periode 2008-2018.

Banyak terobosan yang dilakukan Margiono. Ia menmberikan penghargaan Press Card Number One kepada jurnalis-jurnalis senior. Di masa Margiono perhelatan Hari Pers Nasional menjadi ajang bergengsi.

Di akhir masa jabatannya sebagai ketua PWI Margiono tergoda untuk masuk ke dunia politik praktis. Ia pulang kampung dan mengikuti pemilihan bupati Tulungagung pada 2018.

Margiono bisa meyakinkan seluruh parpol untuk mendukungnya melawan petahana Syahri Mulyo yang hanya didukung PDIP.

Syahri Mulyo kena operasi tangkap tangan atau OTT KPK pada saat-saat terakhir, tetapi Margiono tetap tidak bisa memenangi perhelatan politik itu. Kekuatan jaringan ‘’botoh’’ di Tulungagung masih sulit ditembus Margiono.

Margiono memang selalu menemukan jalan dengan cara apa pun. Namun, rupanya politik bukan jalan yang cocok untuk dia.

Ia kembali ke Jakarta dan menekuni bisnisnya sampai bisa membangun office building ‘’Intermark’’ yang megah di Tangerang Selatan.

Margiono akhirnya pergi meninggalkan jalan panjang dan berliku, untuk menemukan jalan yang sesungguhnya. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler