jpnn.com, JAKARTA - Ketimpangan pembangunan antarwilayah merupakan masalah klasik di Indonesia, dalam 20 tahun terakhir ini.
Meski begitu, pemerintah telah menyusun pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
BACA JUGA: Dorong Pemerintah Prioritaskan Pemberantasan Narkoba
Salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan otonomi daerah yang diyakini berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar mengatakan, program pembangunan ekonomi antarwilayah di Indonesia yang berjalan sejauh ini masih bertumpu di wilayah Pulau Jawa.
BACA JUGA: Pemimpin Harus Memberi Contoh, Seperti Gus Dur
Hal itu terbukti dari tingkat kontribusi pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa yang mencapai 58 persen.
“Sedangkan pembangunan di luar Jawa masih relatif kecil, maka wajar jika tingkat pertumbuhan ekonominya masih berada dikisaran dua persen sampai 7,4 persen.
BACA JUGA: Legislator PKB Harus Mewarisi Keteladanan Gus Dur
Belum lagi tingkat pengangguran yang masih cukup tinggi dibanding Pulau Jawa. Kondisi itu juga membuat indeks rasio gini Indonesia semakin menganga yakni mencapai angka 0,42," ungkap Marwan dalam Focus Group Disucussion di kantor LPP DPP PKB, Jakarta, Kamis (30/3), .
Menurutnya, ketimpangan pembangunan antarwilayah terjadi karena pemerintah kurang memperhatikan tercapainya pemerataan hasil pembangunan di seluruh daerah.
Alhasil, ada kecenderungan kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antarwilayah di Indonesia.
"Akhirnya menimbulkan gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi dan terendah yang berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak merata di seluruh wilayah," tambah ketua Lembaga Pemenangan Pemilu (LPP) DPP PKB itu.
Marwan menjelaskan, faktor lain yang menyebabkan ketimpangan antarwilayah adalah masih minimnya infrastruktur di daerah.
Hal itu mengakibatkan mobilitas barang dan jasa seperti kegiatan perdagangan dan penyerapan tenaga kerja antardaerah terhambat.
"Aktivitas perdagangan yang lambat sangat memengaruhi harga barang karena melihat demand yang begitu tinggi dari pada supply. Di sisi lain, masyarakat yang memiliki keterampilan tertentu kesulitan mengakses daerah lain yang membutuhkan jasanya karena minimnya infrastruktur itu tadi. Ini menyebabkan semakin memperpanjang panceklik mereka untuk memiliki pendapatan," urainya.
Marwan menyarankan pemerintah segera merealisasikan rencana pembangunan daerah yang sudah dipetakan di dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).
"Kebutuhan infrastruktur yang mendesak yang jelas daerah yang berada di kawasan tertinggal dan perbatasan. Di sana banyak wilayah potensial seperti NTB, Papua, Kalimantan, tapi tidak terserap karena kendala mobilitas," terangnya.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kompetensi masyarakat di wilayah tersebut.
Dengan begitu, warga setempat mampu bersaing dengan masyarakat di daerah lain yang lebih berkembang.
"Perlu dicanangkan target peningkatan masa pendidikan di daerah-daerah tertinggal dan terpencil, pengentasan buta aksara dan pengembangan keterampilan bagi masyarakat yang tidak mampu melanjutkan pendidikan lebih lanjut untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja baik di daerahnya sendiri maupun di daerah lain," kata Marwan. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PKB Dukung Anies atau Ahok Nih...
Redaktur & Reporter : Ragil