JAKARTA - Kritik DPR terhadap proyek pengadaan kartu Indonesian Automatic Fingerfrint Identification System (Inafis) semakin luas. Kalangan parlemen menganggap kartu Inafis itu berpotensi tumpang tindih dengan e-KTP.
Sebagai instrumen yang mampu mengidentifikasi setiap individu warga negara, e-KTP sebenarnya sudah cukup ideal. Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan, e-KTP seharusnya sudah bisa mencakup semua kepentingan yang terkait dengan identifikasi warga negara. "Mulai masalah pajak atau NPWP, identitas lengkap warga negara, sampai kepentingan pemilu. Apa saja bisa memanfaatkan e-KTP," katanya kemarin (24/4).
Dalam pelaksanaannya, biaya pembuatan kartu Inafis Rp 35 ribu dibebankan kepada masyarakat. Persoalannya, Inafis akan diwajibkan menjadi salah satu kelengkapan setiap warga negara saat berurusan dengan kepolisian. Misalnya, pembuatan SIM atau SKCK.
Marzuki berharap, saat rapat kerja komisi dengan Kapolri, persoalan Inafis akan diklarifikasi. Raker bakal diadakan setelah masa sidang DPR dimulai lagi. "Mungkin mereka (Polri) belum tahu manfaat e-KTP," sindirnya.
Karena itu, Marzuki meminta Mendagri berkoordinasi dengan berbagai instansi untuk mengoptimalkan penggunaan e-KTP. "Dengan kantor imigrasi untuk paspor, Ditjen Pajak untuk perpajakan, dengan BPN terkait kepemilikan tanah, dan kepolisian untuk data yang dikelola kepolisian," bebernya. "Di mana-mana di seluruh dunia, data pribadi anggota masyarakat dikelola dalam satu atap," imbuhnya.
Marzuki menegaskan, program e-KTP telah menghabiskan anggaran yang sangat besar, yakni sampai Rp 6 triliun. Karena itu, e-KTP harus bisa dimanfaatkan secara optimal.
Di tempat terpisah, Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Uchok Sky Khadafi mengungkapkan, anggaran Inafis diperkirakan mencapai Rp 46,1 miliar. Sementara itu, alokasi anggaran yang ditenderkan atau harga perkiraan sementara diumumkan Rp 45,2 miliar. "Jumlah sebesar itu untuk tiga item," ujarnya di Jakarta.
Di antara tiga item tersebut, pengadaan peralatan penerbitan Inafis card menyedot anggaran terbesar. Angkanya mencapai Rp 41,9 miliar. Sisa alokasi anggaran diperuntukkan bagi pengadaan barang habis pakai bahan pendukung penerbitan Inafis Rp 1,2 miliar dan jasa sewa jaringan V-SAT IP Inafis Mobile Rp 2 miliar.
Uchok menilai, dari alokasi anggaran itu, program Inafis hanyalah program proyek pejabat polisi untuk tambahan penghasilan. Program tersebut hanya digunakan untuk menghabiskan uang pajak rakyat. "Jelas, program ini bukan kebutuhan masyarakat. Apalagi, setelah Inafis diterapkan, publik harus membeli," kritik Uchok.
Dengan menjual kartu Inafis, dia mempertanyakan apakah Polri sudah menjadi institusi bisnis. Dia mendesak komisi III segera menindaklanjuti keluhan atas keberadaan Inafis. "Saya harap komisi III menghentikan program Inafis karena hanya menghambur-hamburkan uang pajak rakyat," tegasnya.
Senada dengan Uchok, anggota Komisi II DPR Nurul Arifin tidak bersepakat atas adanya Inafis. Menurut dia, program e-KTP yang diluncurkan Kementerian Dalam Negeri sudah mengakomodasi semua kebutuhan terkait dengan data kependudukan. "Kalau diluncurkan Polri, itu kepentingan bisnis semata," ungkapnya.
Nurul menyatakan, kartu Inafis kabarnya akan digunakan untuk menyimpan catatan kriminal. Dalam hal ini, dia mempertanyakan kuantitas warga yang memiliki catatan kriminal. Tidak ada sesuatu yang membanggakan bagi seseorang yang membawa kartu identitas dengan catatan kriminal. "Catatan kriminal itu hanya di database kepolisian," ujar politikus Partai Golongan Karya tersebut.
Jika Inafis juga menyimpan data rekening, Nurul mempertanyakan urgensi mengetahui hak debit-mendebit warga yang tidak memiliki catatan kriminal. "Misalnya, orang ditilang, berapa kali sih? Alasannya sangat mengada-ada," kritiknya. (pri/bay/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pimpinan KPK Dicurigai Barter Kepentingan
Redaktur : Tim Redaksi