"Masa depan pemberantasan korupsi suram. Indikasinya antara lain terjadinya perseteruan antara KPK dengan Polri dua tahun terakhir," kata Yenti Garnasih, dalam Dialog Pilar Negara, bertema "Masa Depan Pemberantasan Korupsi Indonesia" di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (15/10).
Selain perseteruan KPK dan Polri, Yenti juga menilai kinerja polisi, kejaksaan dan hakim juga menjadi indikator penyebab suramnya masa depan pemberantasan korupsi. "Polri dan Kejaksaan Agung banyak menangani perkara korupsi besar mencapai Rp 500 miliar. Tapi proses penanganan hukumnya sangat tertutup hingga publik tidak mengetahui apa yang terjadi dengan proses hukum perkara korupsi," kata Ganarsih.
Bahkan, lanjutnya, saat ini sudah terbangun opini bahwa KPK adalah institusi pemberantas korupsi yang handal hingga semua tersangka bisa didakwa dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Padahal, sebutnya, surat dakwaan terhadap terdakwa sering banyak kelemahan.
Tapi karena perkaranya ditangani KPK, maka hakim sekalipun penuh dengan keraguan memberi hukuman kepada terdakwa. "Saya tahu, banyak kelemahan dari tuntutan Jaksa KPK yang bersumber dari lemahnya penyidikan. Tapi karena perkara ini ditangani KPK, majelis hakim takut untuk membebaskannya hingga memberikan hukum minimalis," ungkap Yenti.
Dosen di Universitas Trisakti itu juga mengritisi perlakuan aparat negara terhadap terpidana koruptor selama menjalani hukuman. "Faktanya, napi koruptor diberlakukan khusus bahkan bisa bermewah-mewah dalam penjara dan setelah menjalani masa hukuman, masyarakat bahkan mengelu-elukan para koruptor," tegasnya.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yusril: Kasus Misbakhun Tak Terkait Korupsi
Redaktur : Tim Redaksi