jpnn.com - HILLARY Clinton terlalu tua. Dalam pengertian dari sudut pergantian generasi. Diragukan apakah dia memahami perubahan zaman.
Ted Cruz terlalu lokal. Dalam pengertian hanya lebih disukai orang daerahnya: Texas. Diragukan bisa memahami persoalan nasional.
BACA JUGA: Penari Langit di Lokasi Steak Tujuh Ons
Bernie Sanders terlalu ekstrem kiri. Diragukan bisa mengakomodasikan pertumbuhan ekonomi. Yang untuk Amerika selalu dimotori swasta.
Donald Trump terlalu ekstrem kanan. Diragukan bisa membina keutuhan bangsa. Trump dinilai akan membuat rakyat terkotak-kotak. Terbelah-belah. Memicu konflik.
BACA JUGA: Nuklir Takut Radiasi, Panas Bumi Takut Spa
Itulah inti opini publik di Amerika saat ini. Yang saya simpulkan selama dua minggu terakhir keliling sembilan negara bagian di AS.
Gambaran seperti itu sangat berbeda dengan awal kemunculan Obama. Atau Bill Clinton. Atau Ronald Reagan. Sosok-sosok yang begitu kuat.
BACA JUGA: Ketika Naga Lagi Menggigit Samurai
Perjalanan sebuah negara kadang memang harus begitu. Ada saatnya sulit mencari pemimpin yang ideal: Yang mampu belum tentu populer. Yang populer belum tentu mampu.
Di kubu Partai Republik, bahkan lebih sulit lagi: Yang populer tidak dikehendaki (oleh partai). Yang dikehendaki tidak populer.
Donald Trump sangat tidak dikehendaki partainya. Tapi, justru dia yang sering memenangi pemilihan awal. Terutama di negara-negara bagian di selatan. Posisi partai menjadi sulit. Maka di sisa pemilihan ini, partai mengusahakan agar Trump tidak menang terus. Kalau toh menang, jangan sampai lebih dari 50 persen.
Gerakan ’’asal bukan Trump’’ itu berhasil. Di Negara Bagian Wisconsin, Trump kalah. Hari ini (19 April) pemilihan awal dilakukan di ’’gudang suara’’ terbesar kedua setelah California: New York. Kalau sampai Trump kalah lagi di New York, emosinya bisa lebih tinggi dari gedung pencakar langit miliknya: Trump Tower yang 68 lantai itu.
Sudah beberapa minggu ini Trump uring-uringan. Yakni, sejak tersiar ide ini: Kalau tidak menang 50 persen + 1, Trump tidak akan otomatis jadi calon presiden Partai Republik. Calon presiden akan ditentukan oleh konfensi partai. Bisa dia, bisa penenang kedua, bahkan bisa dari luar arena. Begitulah bunyi anggaran dasar partai.
Kalau sampai itu terjadi, Trump merasa dirampok. Dikerjain. Disakiti. Mungkin mirip perasaan Megawati saat partainya menang Pemilu (1999), tapi tidak bisa jadi presiden.
Partai Republik benar-benar sulit. Kalau mencapreskan Trump, pasti akan kalah. Begitulah hasil semua survei. Bahkan lebih dari itu. Dalam pemilu legislatif dua tahun kemudian, caleg-caleg Republik akan bertumbangan. Bisa jadi DPR yang selama ini dikuasai Republik akan jatuh ke Demokrat. Republik kehilangan dua posisi: presiden dan DPR.
Maka mulailah muncul calon alternatif: Paul Ryan. Populer sekali. Juga ganteng sekali. Seperti bintang film. Jabatannya sekarang: ketua DPR. Dia mantan gubernur Wisconsin yang sukses. Dialah yang dianggap mampu menandingi Hillary Clinton dalam pilpres November mendatang.
Nama Paul Ryan langsung melejit. Tapi, itu menyiksa batinnya.
Minggu lalu dia mengadakan konferensi pers: menolak keinginan itu. Tidak akan mau dan tidak akan pernah mau. Bukan pura-pura tidak mau. Inilah prinsip moral demokrasinya: Calon presiden haruslah mereka yang memang sejak awal mendaftarkan diri sebagai calon presiden.
Tapi, aktivis partai benar-benar muak dengan Trump. Di mata mereka, Trump ibarat lokomotif bobrok. Seraya tidak bisa mengandalkan pemenang kedua: Ted Cruz.
Mulailah kini dicari-cari. Siapa yang Republik. Siapa yang bisa mengalahkan Hillary. Siapa yang bisa menjadi pemimpin negara.
’’Cari militer saja!’’ tulis David Ignatius, penulis sindikat kolumnis terkemuka.
Maka dia munculkan empat nama. Jenderal pensiunan yang pantas untuk itu.
Mungkin usul itu akan ditolak. Atau diterima. Tapi, usul tersebut menggambarkan sulitnya cari pemimpin dari lingkungan Partai Republik. Hasil pemilu awal di New York 19 April hari ini benar-benar ditunggu. Untuk menentukan arah berikutnya.
Sebetulnya, menurut kalangan Partai Republik, begitu banyak titik lemah yang bisa diserangkan pada Hillary. Terutama soal usia, dalam pengertian pemahaman terhadap perubahan perilaku pemilih tadi. Soal ini diulas dengan kritis oleh Grover Norquist. Dia adalah presiden LSM gerakan reformasi pajak. Juga direktur perkumpulan pemilik senjata. Dan aktivis hak pengasuhan anak.
Inilah, tulisnya, zaman yang benar-benar baru. Ketika taksi Uber tiba-tiba muncul.
Inilah zaman ketika sistem sekolah jenis baru menggejala dengan cepat. Disebut sistem charter school. Kini sudah 3 juta murid yang memilih bersekolah jenis ini. Dan terbukti lebih unggul.
Inilah zaman ketika homeschooling tiba-tiba meluas. Sudah diakui di 52 negara bagian. Dengan jumlah murid sudah mencapai 2 juta. Alias sudah ada 4 pct. Mereka memilih sekolah di rumah sendiri.
Inilah zaman ketika buruh pengebor minyak menjadi buruh fracking. Dari drilling ke fracking. Sebuah teknik baru untuk mendapatkan sumber minyak. Atau gas. Sebuah penemuan yang ternyata mampu menyerap tenaga kerja jauh lebih besar.
Inilah zaman ketika penduduk merasa kian tidak aman. Oleh terorisme. Lalu keinginan memiliki senjata pribadi lebih besar. Sekarang saja mencapai 13 juta orang.
Inilah zaman ketika perokok dengan cepat pindah ke rokok elektronik. Dengan jumlah pengisap sudah mencapai 10 juta orang.
’’Apakah Hillary mampu memahami zaman baru itu?’’ tulis Norquist.
Hillary, kata seorang wartawan senior di sana, memang diakui cerdas sekali. Termasuk pandai dalam berargumen. Tapi, apakah dia memahami gejala baru di masyarakat itu?
Maka mungkin nanti ada kampanye negatif. Yang telak. Dan sangat pribadi. Untuk menggambarkan secara salah kepintaran Hillary dalam berdebat. Misalnya begini: Hillary memang punya mulut besar, tapi terbukti masih kalah dari mulut Lewinsky. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Profesor Jangkung Pembina Ahli Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi