jpnn.com, JAKARTA - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong pemerintah segera merevisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 Tahun 2018, tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Masuknya Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) ke dalam daftar obat rujukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai tidak hanya bisa menekan impor bahan baku obat, namun juga meningkatkan kesejahteraan petani tanaman herbal.
BACA JUGA: Elly Sugigi Menikah Lagi, Pernyataan Putrinya Bikin Heboh
Anggota Komisi IX DPR Anggia Erma Rini menuturkan, sejak pandemi COVID-19 hasil panen jahe merah kelompok-kelompok petani di daerah pemilihannya laris terjual.
"Di Blitar sedang banyak kelompok tani menanam jahe merah. Karena ada perusahaan farmasi yang membutuhkan. Kalau permintaannya membludak, pasti secara ekonomi petani sangat terbantu," kata Anggia dalam webinar Dialog Nasional Efek Covid-19 Urgensi Ketahanan Sektor Kesehatan yang diselenggarakan Kompas TV secara daring, Senin (21/12).
BACA JUGA: Antisipasi Libur Akhir Tahun, Kemenkes Serukan Penggunaan Layanan Kesehatan Secara Digital
Menurutnya, Indonesia memiliki kekayaan hasil bumi yang bisa dijadikan bahan baku obat untuk memperkuat daya tahan tubuh sekaligus mengobati penyakit.
"Kita tahu Indonesia ini kaya. Tetapi kenapa empon-empon, jahe, temulawak dan lain sebagainya yang asli Indonesia justru kalah populer dibanding ginseng dari Korea? Kalau minim riset untuk dijadikan obat, kenapa tidak dilakukan dari dulu?," tegasnya.
BACA JUGA: Strategi BPJS Kesehatan Meningkatkan Pembayaran Iuran JKN-KIS
Anggia menilai selama pemerintah memiliki kemauan politik yang kuat, maka seharusnya semua kendala regulasi yang menghambat produksi OMAI secara masif bisa direvisi.
"Tugas negara adalah memberikan persetujuan. Sebenarnya kalau mau obat fitofarmaka sejajar dengan obat kimia, maka boleh dong Permenkes Nomor 54 direvisi. Kalau revisi Permenkes kan tinggal ngobrol, duduk bersama, dikaji. Asal ada kemauan yang kuat pasti bisa," kata Anggia.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan kesiapannya untuk merevisi Permenkes Nomor 54 Tahun 2018.
Selama ini, beleid tersebut dinilai menghambat pengembangan dan pemanfaatan OMAI karena obat-obatan berbahan dasar herbal tidak masuk dalam daftar JKN. Akibatnya, BPJS Kesehatan tidak mengcover biaya pemberian obat tersebut oleh dokter kepada pasien.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kemenkes, Oscar Primadi menyatakan untuk bisa masuk dalam daftar obat JKN, maka instansinya perlu memastikan persoalan mutu, manfaat obat, kualitas, serta faktor keamanan dari OMAI yang diusulkan.
"Bukan tidak mungkin dilakukan perubahan sesuai perkembangan selama itu berpihak pada kepentingan publik. Karena ini kan demi kesehatan masyarakat," ujar Oscar dalam webinar yang sama.
Kemenkes bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menurutnya akan melakukan evaluasi sebelum menerbitkan izin edar suatu produk OMAI, sampai memasukkannya ke dalam JKN.
"Nanti payung besarnya adalah JKN, kami perlu melakukan pembahasan Formularium Nasional tersendiri mengenai Fitofarmaka ini. Perlu duduk bersama karena untuk relaksasi harus dilakukan sesuai international practice dari WHO," jelas Oscar.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Septian Hario Seto menyatakan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, telah memberikan arahan kepada jajarannya untuk mendorong relaksasi daftar obat JKN agar OMAI bisa masuk ke dalamnya dan digunakan oleh dunia medis di Indonesia.
Dia sekaligus mengapresiasi langkah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang telah lebih dulu menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Farmasi.
Dengan aturan TKDN produk farmasi yang baru, Kemenperin dinilai telah mendorong kemandirian industri obat nasional dengan bahan baku herbal dari dalam negeri.
"Harus kompak memasukkan TKDN sebagai komponen utama, dan bahan bakunya ada di domestik. Namun, kami juga ingin pemain farmasi domestik bisa memberikan harga obat yang kompetitif. Jangan karena sudah diakomodir masuk dalam TKDN, lalu harganya dibuat tinggi," tegas Seto.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin, Muhammad Khayam menegaskan komitmen instansinya dalam meningkatkan kemandirian industri obat nasional yang selama ini sangat bergantung pada bahan baku impor.
Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tersebut, Khayam menjelaskan perubahan penghitungan TKDN produk farmasi yang mempermudah produsen OMAI di dalam negeri.
"Sesuai aturan baru, menghitung TKDN obat tidak lagi memakai metode cost based, melainkan dengan metode processed based," jelas Khayam.
Berdasarkan data BPOM pada 2020, terdapat 129 Industri Obat Tradisional, namun hanya 22 perusahaan yang memproduksi obat herbal terstandar (OHT).
Adapun lima perusahaan di antaranya telah mengembangkan fitofarmaka.
Selebihnya, tergolong dalam Industri Ekstrak Bahan Alam. Saat ini yang telah terdaftar di BPOM sekitar 11 ribu produk jamu, tetapi yang merupakan produk OMAI sejumlah 23 produk fitofarmaka dan 69 OHT.(chi/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Yessy