Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya (kini Propinsi Papua dan Papua Barat) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kekerasan berkepanjangan dan pelanggaran HAM di sana mendorong gugatan ini. Integrasi Papua Disoal di MK: Uji materi UU No.12/1969 dilakukan karena masyarakat Papua Barat menilai plebisit puluhan tahun lalu diduga mengandung pelanggaran hak asasi manusia Uji materi ini diharapkan bisa meninjau fakta mengenai pelaksanaan Pepera yang disebut masyarakat setempat penuh dengan rekayasa Pemerintah tunggu perkembangan persidangan sebelum memberi tanggapan
BACA JUGA: Zahrotur Riyad, Dokter Gigi yang Gigih Mengatasi Kehamilan Remaja di Pulau Kecil
Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua mengatakan pengajuan peninjauan kembali (PK) UU itu dimaksudkan untuk meluruskan sejarah integrasi yang tercetus dalam Kongres Papua Kedua tahun 2000.
Koalasi yang terdiri atas 15 pengacara ini mewakili Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (KINGMI) dan Solidaritas Perempuan Papua, yang merupakan pemohon uji materi UU No.12/1969.
BACA JUGA: Zahrotur Riyad, Sosok Muslim Pejuang Pendidikan Seksual Anak Pulau
MK telah menggelar sidang pendahuluan pada 30 April 2019, dan meminta para pemohon untuk memperbaiki berkas permohonan uji materi yang mereka ajukan. Photo: Yan Christian Warinussy, koordinator Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua, menyatakan pihaknya ingin meluruskan sejarah integrasi Papua ke NKRI. (Istimewa)
BACA JUGA: PBB Terbitkan Kerangka Kerja Atasi Limbah Plastik Global
Koordinator Koalisi Yan Warinussy yang dihubungi ABC menjelaskan upaya pelurusan sejarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 muncul karena masyarakat setempat menilai plebisit saat itu tidak dilakukan sesuai hukum internasional dan diduga terjadi pelanggaran HAM.
"Presidium Dewan Papua yang waktu itu melaksanakan kongres bersama-sama dengan Dewan Adat Papua. Mereka mulai berunding bahwa kelihatannya masalah ini perlu diselesaikan secara hukum," katanya kepada jurnalis ABC Nurina Savitri.
"Nah di situ memang dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi RI mempunyai kewenangan dalam hal ini," ujarnya.
Yan menekankan, uji materi UU ini diharapkan bisa meninjau fakta mengenai pelaksanaan Pepera. Selama ini banyak warga yang menganggap Pepera penuh rekayasa dan tak sesuai dengan Perjanjian New York 1962 yang menjadi landasan pelaksanaan Pepera itu sendiri.
Dia memaparkan, pemohonan ke MK ini membidik poin konsiderans dan penjelasan umum yang terdapat di bagian pertimbangan dan penjelasan dari UU No.12/1969. Yaitu paragraf ke-7 dan ke-8.
Dikatakan, jika nantinya MK memutuskan penyelenggaran Pepera bertentangan dengan Pasal 28 (i) dari UUD 1945, dan karenanya frasa-frasa itu dinyatakan tidak berlaku, permasalahan pun juga belum usai.
"Artinya frasa itu dicabut, tidak menjadi kekuatan hukum yang mengikat. Langkah berikutnya 'kan tidak bisa serta-merta, orang berpikir bahwa dengan itu akan merdeka. Tidak juga," tutur Yan Warinussy.
Tugas berikutnya, katanya, menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk menjawab kekosongan hukum akibat pencabutan frasa dalam UU tersebut.
Permasalahan yang selama ini terjadi di Papua Barat, kata Yan, seringkali diselesaikan dengan pendekatan keamanan dan kekerasan.
Untuk menyelesaikannya, dibutuhkan lebih dari sekadar cara lama yang terus berulang. Pengajuan uji materi sebagai langkah hukum diharapkan menjadi cara baru.
"Banyak langkah yang sudah dilakukan selama ini. Angkat senjata, itu korbannya banyak dan konflik tak pernah selesai. Menulis laporan, sudah banyak. Banyak wartawan dalam maupun luar negeri, penulis dan peneliti, semua sudah menulis laporan dan buku," katanya.
"Turun ke jalan juga sudah, begitu pula diplomasi. Tapi langkah hukum yang justru belum pernah dilakukan," ujarnya.
"Padahal ini persoalan hukum. Karena itu kita bawa ke MK. Menurut pandangan kami, MK tidak boleh berkelit dari hal ini sehingga persoalan ini bisa dibuka," kata Yan. 7-8 kali Jokowi ke Papua Photo: Papua masuk ke dalam bagian NKRI setelah digelarnya Pepera di tahun 1969. (ABC News: Jarrod Fankhauser)
Ketua KINGMI Benny Giay secara terpisah menjelaskan upaya hukum melalui MK merupakan cara masyarakat Papua mempertanyakan kekerasan yang terjadi, yang menurutnya, dilakukan oleh negara.
Negara, anggap Benny, tidak hadir pada saat masyarakat terus-menerus mengalami kekerasan dalam pendekatan keamanan.
Meski kejadian Pepera berlangsung puluhan tahun lalu, Benny memandang metode penyelesaian konflik bisa dikatakan tidak mengalami perubahan.
"Sepertinya dalam 5 tahun Pemerintahan Jokowi, ada 7 kali atau 8 kali Presiden Jokowi ke Papua, tapi itu hubungannya ke pembangunan, infrastruktur jalan, kereta api, tapi seperti membiarkan TNI/Polri itu bermain bebas," ujar Benny kepada ABC pekan lalu.
Dia meyakini generasi saat ini pro demokrasi yang memperjuangkan ruang demokrasi berpolitik, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan pada rezim Orde Baru.
Namun di sisi lain, kata Benny, persoalan di wilayahnya dan Papua secara keseluruhan tetap sama.
"Jadi ada persoalan yang memberi ruang kepada militer dan pihak keamanan bermain. Ada hal-hal yang saya kira di Jakarta itu memberi ruang kepada tentara untuk bermain," katanya.
"Masyarakat Indonesia ini 'kan sudah digiring opininya oleh tentara tentang keamanan di Papua," tambah Benny dari Gereja Kemah Injil Indonesia. Sikap Pemerintah RI Photo: Rakyat Papua mengklaim telah menjadi korban pelanggaran HAM selama berpuluh-puluh tahun. (Flickr: Matt Brown/ mural by Dale Grimshaw)
Terkait pengajuan uji materi UU No.12/1969 ke MK, Pemerintah RI melalui Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan mereka telah mendengar adanya gugatan tersebut.
Namun Tenaga Ahli Deputi V (Bidang Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM) Kantor Staf Presiden, Theo Litaay, menyebut Pemerintah belum mendapatkan informasi secara resmi.
"Kami diberitahu juga oleh mereka secara informal bahwa sudah mengajukan. Pada waktu sudah mengajukan. Cuma di MK itu 'kan ada hukum acaranya, jadi kita ikuti proses itu saja," ujarnya saat ditemui ABC pekan lalu.
Theo menjelaskan Pemerintah belum bisa merespon secara jelas karena mereka belum menerima berkas uji materi UU ini.
Dia mengatakan setiap warga negara Indonesia berhak mengajukan gugatan ke MK bila melihat adanya produk UU yang dirasakan tak sesuai dengan UUD 1945.
"Ini suatu hal yang positif sebenarnya, yaitu bahwa ketidakpuasan terhadap aturan itu diselesaikan melalui jalur hukum," sebut Theo.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.
Simak Juga Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wakil Perdana Menteri Australia Bela Caleg Yang Unggah Video Anti-Islam