Masyarakat Sipil Internasional Soroti Tingginya Angka Ketimpangan

Minggu, 27 September 2015 – 09:38 WIB
FOTO: Dok.Infid

jpnn.com - NEW YORK - Tingginya angka ketimpangan di berbagai negara mendapat sorotan masyarakat internasional menjelang adopsi pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs) tahun 2030.

Catatan lembaga Oxfam Internasional terjadi pemusatan kekayaan di dunia. Kelompok orang kaya yang berjumlah 1 persen dari sekitar 8,5 miliar jumlah penduduk dunia menguasai 50 persen sumber daya alam.

BACA JUGA: PBB Sepakati Dana Awal Untuk Mencegah Kematian Perempuan, Anak dan Remaja

Tingginya angka ketimpangan ini mendapat perhatian besar dalam diskusi di luar agenda utama Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bertema Goal 10 SDGs Reducing Inequality: Desirable but is it Feasible? yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan lembaga masyarakat sipil internasional di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) pada Dewan Pewakilan Bangsa-Bangsa di New York, 24 September 2015 pukul 15.00 waktu New York, Jumat 25 Sepember 2015 dini hari waktu Indonesia Barat.

Diskusi ini menghadirkan 11 pembicara dan dihadiri lebih dari 60 orang perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil internasional dari berbagai negara. Hal itu dilakukan menjelang PBB mengadopsi SDGs yang terdiri dari 17 target dan 169 sasaran dalam Sidang ke-70 yang berlangsung 25-27 September 2015.  

BACA JUGA: Tiga WNI Karyawan Perusahaan Bin Ladin Tewas dalam Tragedi Mina

Dalam diskusi ini terungkap ketimpangan menjadi masalah bersama yang terjadi di banyak negara. 

Sugeng Bahagiyo, Direktur INFID Indonesia, dalam pemaparannya, mengatakan meski jumlah penduduk sangat miskin berkurang, tapi ketimpangan masih tinggi karena ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi.

BACA JUGA: TERBARU! 19 Jamaah Haji Indonesia Meninggal

“Pendapatan masyarakat sangat miskin tumbuh tapi tidak tidak cukup besar,” kata Sugeng Bahagiyo dalam keterangan tertulis diterima JPNN.com.

Bentuk ketimpangan juga tampak dalam angka harapan hidup. Di Indonesia, angka harapan hidup orang kaya hingga 70,8 tahun, sedangkan orang miskin hanya 53 tahun. Perbedaannya sekitar 16 tahun. Sedangkan di Afrika Selatan, perbedaan angka harapan hidup 19 tahun, India (21 tahun), dan Brazil hampir 26 tahun.

Amitha Behar dari Wada Na Todo Abhiyan, organsisasi yang konsen pada masalah kemiskinan di India, mengatakan penyebab ketimpangan juga dipicu penyediaan layanan dasar masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan hajat hidup masyarakat yang seharusnya dikelola negara diserahkan pada pihak swasta.

“Kondisi kesehatan masyarakat di India mengkhawatirkan karena layanan kesehatan telah diprivatisasi,” kata Amitha Behar.

Menurutnya, posisi negara yang seharusnya menjadi regulator dalam penyediaan layanan dasar menjadi semacam predator karena, “Kekuasaan diberikan kepada pihak swasta.”  

Sedangkan Gonzalo Berron, dari Brazilian Network for Peoples Integration Representative (REPBRIP) globalisasi dan kapitalisme memberi sumbangan besar pada ketimpangan.

Perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) yang tidak menguntungkan bagi negara di negara yang tidak memiliki sumber daya alam dan manusia memadai. Kondisi ini menyebabkan angka ketimpangan di berbagai negara terus meningkat.

Deborah S. Rogers Direktur Initiative for Equality (Amerika) dan Peneliti dari Universitas Standford Amerika Serikat menduga ketimpangan adalah masalah sistemik yang sengaja diciptakan penguasa ekonomi. Karena pertumbuhan ekonomi seharusnya mendekatkan pendapatan negara miskin ke negara kaya.

“Tapi tidak demikian karena negara kaya sangat mempengaruhi kondisi ekonomi,” katanya. 

Karena itu, dia mendorong salah satunya dengan membatasi kerja sama ekonomi atau praktik investasi asing (foreign direct investment/ FDI) yang tidak sehat.

Mengatasi ketimpangan antarnegara membutuhkan usaha dan kerja sama kuat dari pemerintah, masyarakat sipil dan sektor bisnis agar amanat tujuan Nomor 10 SDGs yaitu mengurangi ketimpangan bisa tercapai di tahun 2030.

“Kerja sama itu perlu mempertimbangkan aspek keterbukaan data yang akurat serta perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia,” ujar Sugeng menambahkan.(fri/jpnn)  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Alasan Anak Durhaka Menaruh Ibunya di Bagasi Mobil


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler