Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Khairil Anwar Notodiputro mengatakan, anggapan jika pengeprasan mapel ini berdampak pada PHK guru SD itu tidak benar. "Termasuk tudingan jika nanti banyak guru SD yang kehilangan jam mengajar, itu juga salah," kata dia.
Khairil menuturkan, pengeprasan mapel ini tidak berdampak apa-apa kepada guru SD karena sistem yang digunakan adalah guru kelas. Bukan guru bidang studi, seperti di jenjang SMP atau SMA/sederajat. Dengan posisi guru SD yang menjadi guru kelas, berapapun jumlah mapel yang diajarkan, kewajiban jam mengajarnya tetap sama saja. Meskipun secara teknis pelaksanaannya nanti, jumlah mapel yang mereka ajarkan berkurang.
Menurut pejabat asal pulau Madura itu, guru SD tidak perlu lagi cemas atau bahkan menolak rencana pemerintah memangkas jumlah mapel SD. Termasuk diantaranya melebur mapel IPA dan IPS menjadi satu mapel yaitu Ilmu Pengetahuan Umum (IPU). Menurutnya, rencana penyederhanaan mata pelajaran ini cukup relevan dengan kemampuan belajar siswa jenjang SD.
Dia mengatakan jika kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang berjalan saat ini sudah tidak relevan lagi. Sehingga menuntut ada revisi atau pengembangan kurikulum baru.
Khairil mengatakan pengurangan jumlah mapel di jenjang SD ini juga untuk memfokuskan upaya pemerintah untuk membentuk karakter bangsa sejak dini. Siswa SD belum waktunya untuk mengikuti pelajaran yang menyajikan sistem perhitungan rumit.
Himbauan supaya guru SD tidak mencemaskan pengeprasan jam belajar juga disampaikan oleh Plt Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dirjen Dikdas) Kemendikbud Suyanto. Dia mengatakan, para guru SD tidak perlu khawatir karena pemerintah sedang menyiapkan rencana baru untuk menambah jam belajar.
"Jadi mapelnya berkurang, tetapi jam belajarnya di tambah. Enak kan," katanya. Penambahan jam belajar yang rencananya diberlakukan mulai tingkat SD, hingga SMA ini perlu mendapatkan perhatian positif para guru.
Sebab dengan penambahan jam belajar ini, kasus banyak guru yang jam mengajarnya kurang kurang bisa teratasi. Penambahan jam belajar ini juga berdampkan pada semakin besarnya peluang guru-guru mengikuti program sertifikasi guru. Dimana salah satu syarat mengikuti program ini adalah, guru wajib mengajar selama 24 jam per minggu.
Sebagaimana sudah diatur dalam Permendiknas (istilah dulu) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, jumlah jam belajar di jenjang SD saat ini beragama. Untuk kelas 1 jam belajarnya adalah 26 jam belajar per minggu. Dengan catatan satu jam belajar berdurasi 35 menit.
Sedangkan untuk kelas 2 jam belajarnya adalah 27 jam belajar per minggu. Sementara untuk kelas 3 jam belajarnya 28 jam belajar per minggu. Khusus untuk kelas 4, 5, dan 6 jam belajarnya 32 jam belajar per minggu.
Jumlah jam belajar kelas 4, 5, dan 6 SD tadi sama dengan jumlah jam belajar di SMP. Sedangkan jam belajar untuk siswa SMA adalah 38 jam belajar per pekan.
Kemendikbud sedang mengkaji sejumlah opsi sistem baru terkait jam belajar tadi. Rencananya, untuk kelas 1, 2, dan 3 SD jam belajar akan ditambah menjadi 30 jam belajar per pekan. Sementara untuk kelas 4, 5, dan 6 SD, siswa SMP, dan SMA tetap.
Opsi berikutnya adalah, jumlah jam belajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah dipukul sama rata. Yaitu para siswa baru bisa pulang antara pukul 4 sore hingga 5 sore. Sistem ini merujuk pada sekolah-sekolah yang menerapkan model full day.
Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, khusus untuk siswa SMA, pemberlakuan jam belajar yang sampai sore hari ini bisa berdampak positif. Diantaranya adalah, menekan potensi tawuran pelajar. Seperti diketahui, tawuran pelajar sering terjadi pada siang hari setelah mereka pulang sekolah.
Tetapi jika nanti mereka pulang menjelang malam, kajian dari aspek psikologi mereka akan segera pingin cepat sampai di rumah dan beristirahat. Ini terjadi karena tenaga dan kosentrasi mereka sudah cukup dikuras dalam pembelajaran sejak pagi hingga sore hari. Aksi tawuran yang merebak baru-baru ini menurut Nuh terjadi diantaranya karena siswa kelebihan tenaga, lalu mereka keliru menyalurkannya. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pendidikan Pancasila tak Cukup Disisipkan
Redaktur : Tim Redaksi