jpnn.com - JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memberikan sejumlah stimulus kepada perbankan, menyikapi pertumbuhan kredit yang tak kunjung terkerek.
Salah satunya relaksasi loan to value (LTV) dan finance to value (FTV) untuk kredit rumah tapak, rumah susun, dan rumah toko.
BACA JUGA: Pengoperasian Terminal 3 Diundur, Dirut AP II Minta Maaf
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, relaksasi LTV dilakukan dengan menurunkan uang muka calon debitor kredit kepemilikan rumah (KPR) dari 20 persen menjadi rata-rata 15 persen. ’’Sesuai tipe dan jenis rumah yang diambil,’’ ujarnya.
Khusus untuk calon nasabah bank syariah, BI juga melonggarkan batas maksimal pembiayaan dari awalnya 85 persen menjadi 90 persen. ’’Demikian pula untuk loan kedua dan ketiga,’’ terang Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara.
BACA JUGA: Politikus PKB Dorong APBNP Banyak Ke Daerah
Ketentuan tentang nilai uang muka rumah dan batas pemberian kredit mulai diberlakukan 1 Agustus 2016. BI kemarin juga melonggarkan aturan kredit melalui mekanisme inden dengan pengaturan pencairan kredit bertahap sesuai progres pembangunan rumah tapak, rumah susun, dan ruko atau rukan.
Dengan demikian, bank bisa sewaktu-waktu mencairkan kredit tanpa menunggu pembangunan rumah tuntas 100 persen.
BACA JUGA: Pengoperasian Terminal 3 Diundur, Dirut AP II: Kami Terus Berkoordinasi
Selama ini, pengembang harus menalangi dulu biaya penyelesaian proyek perumahan sebelum kredit bank cair setelah rumah siap serah terima kepada pembeli.
Tirta mengakui, relaksasi kebijakan makroprudensial ditujukan untuk memacu penyaluran kredit yang masih menurun. Hingga April, pertumbuhan kredit hanya mencapai 8 persen dan dalam tren menurun.
Menurut Tirta, kebijakan BI menurunkan suku bunga sebenarnya cukup efektif. Penurunan suku bunga deposito kini hampir ekuivalen dengan BI rate, yakni 72 basis points (bps). Demikian pula suku bunga kredit yang hingga Mei tercatat menurun 33 bps.
Penurunan suku bunga kredit, diakui Tirta, tidak sebesar penurunan suku bunga deposito. Namun, hal tersebut disebabkan bank membutuhkan jeda waktu untuk menurunkan suku bunga kredit setelah menurunkan suku bunga simpanan deposito.
Selain insentif kepada nasabah, BI mendorong bank membuka keran kredit lebih besar dengan menaikkan batas bawah loan to financing ratio terkait giro wajib minimum (GWM-LFR) dari 78 persen menjadi 80 persen. Batas atasnya dinyatakan tetap 92 persen. Ketentuan tersebut juga berlaku mulai Agustus 2016.
Melalui relaksasi kebijakan LTV dan GWM-LFR, BI berharap permintaan kredit properti meningkat. Sebab, kenaikan permintaan di sektor properti berkaitan dengan lebih dari 50 industri lain.
BI juga berharap relaksasi kebijakan di sektor properti mendongkrak sektor lain, terutama konstruksi, industri, pertambangan, hingga sektor jasa. Dengan demikian, pemulihan kondisi ekonomi domestik lebih cepat terasa.
Melalui pemangkasan uang muka rumah, BI memproyeksi pertumbuhan kredit berkisar 10–12 persen tahun ini.
Relaksasi kebijakan diharapkan tetap didasarkan pada prinsip kehati-hatian. Karena itu, BI membatasi relaksasi tersebut hanya berlaku bagi bank dengan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) gross dan NPL total kurang dari 5 persen.
Juda mengatakan, mayoritas perbankan bisa menikmati pelonggaran aturan LTV karena agregat NPL berada di level 2,9 persen. ’’Memang ada bank-bank yang NPL-nya di atas 5 persen. Namun, mayoritas masih di bawah 5 persen,’’ katanya.
Pelonggaran kebijakan LTV diharapkan mendukung perbankan untuk melanjutkan penurunan suku bunga kredit dan suku bunga deposito. Dengan demikian, permintaan kredit perbankan diharapkan meningkat.
’’Dampak relaksasi kebijakan makroprudensial ini diperkirakan baru terasa pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini,’’ tutur Juda. (dee/c19/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengoperasian Terminal 3 Bandara Soetta Diundur
Redaktur : Tim Redaksi