Mayasari Tempe

Oleh: Dahlan Iskan

Jumat, 13 Desember 2024 – 07:23 WIB
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - "Saya harus bertemu Anda," ujar Mayasari.

"Saya di Chicago. Anda, kan, di Indiana," jawab saya.

BACA JUGA: Cantik Cerdas

Mayasari bersama suaminya.

"Saya bisa naik mobil ke Chicago, sekalian cari wajan," katanya.

BACA JUGA: Tolak Bom

Itu saat saya di Chicago bulan lalu. Berarti dia harus mengemudi sejauh 3,5 jam.

Kalau dia sambil cari wajan berarti bertemunya harus di China Town. Chicago bagian selatan.

BACA JUGA: CREW Beras

Buru-buru saya beri kabar Jamal Jufree Ahmad. Yang juga lagi di Chicago. Sekalian saja ikut makan siang di China Town.

Jamal lagi menemani istri yang menempuh S-3 di University of Chicago. Itu kampusnya Cak Prof Nurcholish Madjid, si pemilik gagasan pembaharuan pemikiran Islam dulu.

Juga kampusnya Prof Mun'im Sirry, ahli sejarah Al-Qur'an asal Madura, yang kini mengajar di universitas Katolik, University of Notre Dame, Indiana, USA.

Istri Jamal, Lien Iffah N. Fina, mengambil studi Islam di situ, khususnya Al-Qur'an. Disertasinya nanti tentang revitalisasi tadabur Qur'an.

Jamal dan Lien sama-sama alumnus SMA Pondok Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Jamal kakak kelas dua tahun. Lalu sama-sama masuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta –dan kini S-3 studi Islam di Chicago.

Di China Town kami baku dapa. Namun, di rumah makan ini kami tidak bisa omong serius. Penuh sesak.

Saya datang bersama Stevanus dan istri. Jamal dengan istri. Maya ternyata juga dengan suami: bule asli Indiana.

"Dia seorang petani," ujar Maya memperkenalkan suami.

"Petani Amerika itu," kata saya, "mampu membeli mesin panen yang harganya sama dengan 10 Mercy."

Semua tertawa.

Saya ingat humor petani di pedalaman Amerika. Suatu saat Mercy milik orang kota terperosok di parit pedalaman. Seorang petani ingin menolong dengan cara mengangkat pakai traktornya.

Si pemilik Mercy waswas mobilnya terluka. "Ini Mercy. Mahal," ujar pemiliknya.

"Harga traktor saya ini bisa untuk beli lima Mercy," sahut si petani.

Mayasari lahir di Bogor. Ayahnya Sunda. Polisi. Ibunya Sangihe, utara Manado, dekat Mindanao, Filipina.

Sang ayah pernah jadi kapolres Bogor. Pernah juga jadi atase kedutaan Indonesia di banyak negara.

Maya kecil diajak bapaknya ikut tugas di beberapa negara Eropa. Maya ke Amerika untuk kuliah: di Purdue University, tidak jauh dari Notre Dame.

Dia ambil computer science. Begitu lulus, Maya dapat pekerjaan di pabrik komponen mobil. Di Indiana.

Di pabrik itulah Maya bertemu calon suaminya. Jatuh cinta. Si bule-lah, kata Maya, yang mengincar dirinya.

"Lalu saya tes. Ternyata lulus. Ya sudah. Kawin," ujar Maya lantas tertawa ngakak.

Si bule hanya senyum-senyum. Dia lebih pendiam daripada Maya.

Tes pertama: Maya masak cakar ayam. Apakah dia bisa memakannya. Di Amerika cakar ayam untuk makanan anjing.

Tes kedua: cakar ayam itu dimasak pedas sekali. Orang Amerika tidak suka pedas.

"Ternyata dua-duanya lolos. Berarti cocok," seloroh Maya si jago masak.

Setelah kawin, mereka sama-sama berhenti dari perusahaan mobil, padahal posisi Maya sudah sangat mapan. Sudah sering ditugaskan ke luar negeri pakai private jet.

Mereka banting setir: buka restoran Indonesia di kampung halaman suami. Kampung itu jauh di pedalaman. Di antara kota Indianapolis dan Cincinnati.

Boleh dikata Maya adalah perintis perubahan selera makan di kampung itu. Dari makanan Amerika ke Indonesia. Sukses.

Mi gorengnyi sangat disukai. Juga rendangnya. Pun nasi goreng.

Dari mana dapat mi? Bikin sendiri?

Tidak. Mi goreng itu sebenarnya Indomie. Lalu diberi topping tempe goreng.

Dari mana dapat kelapa untuk santan buat rendang?

"Inilah problem kita...."

"Nggak usah dilanjutkan. Saya sudah tahu,” kata saya. "Dari Thailand, kan?"

Nama resto itu: Mayasari.

Menu andalan lainnya ialah tempe. Sekitar 30 menu masakan Indonesia ditawarkan di resto Mayasari.

Juru masaknya tiga orang. Anak muda semua. Bule semua. Indiana memang negara bagian yang kulit putihnya dominan sekali.

Mayalah yang mengajari tiga anak muda itu masak menu Indonesia. Bisa. "Kan bumbu rendangnya sudah saya buatkan," kata Maya.

Tempe adalah kesukaan Maya. Sejak masih di Bogor. "Tempe Bogor," katanya, "adalah tempe terenak di Indonesia".

Itu karena air Bogor sangat cocok untuk membuat tempe.

Setelah menu tempenya digemari, Maya terpikir untuk memproduksi tempe sendiri. Sang suami mendukung ide itu. Didirikanlah pabrik tempe.

Sang suami yang bertugas membuat alat yang bisa menghasilkan air sama baiknya dengan air di Bogor.

Mudah. Bagi sang suami. Air dari keran dimasukkan proses penyaringan secara khusus. Pakai membran. Dihasilkanlah air dengan pH di bawah lima.

Air keran di Amerika adalah air yang bisa diminum. pH-nya sekitar 8 sampai 9. Itu tidak bisa untuk membuat tempe –tempenya akan terasa pahit.

"Tempe kami sudah dijual di tiga negara bagian," ujar Maya.

Tahun lalu Maya berunding dengan suami: bagaimana agar bisa menanam kedelai khusus untuk tempe.

Tidak sulit. Sang suami sudah pengalaman menanam kedelai ratusan hektare di sawah miliknya sendiri. Tiap tahun. Hanya saja dia belum pernah menanam kedelai yang bisa untuk tempe.

Tahun lalu sang suami mencoba seluas 15 hektare. Berhasil. Tahun ini dilipat duakan. Sampai berapa pun.

Luasan sawah milik sang suami cukup untuk menopang ambisi itu. Luas sawahnya sama dengan luas sawah milik petani Indonesia –kalau 2.000 petani dijadikan satu.

Sawah milik satu petani suami Mayasari ini hampir 1.000 hektare. Tanahnya cocok untuk kedelai. Diselang-seling waktunya dengan jagung

Untuk memanen kedelai 15 hektare itu hanya perlu tiga orang. Pakai mesin besar. Batang-batang kedelai dibabat. Batang dan isinya masuk mesin di alat itu. Diproses di dalam mesin. Keluar dari mesin sudah berbentuk kedelai.

Lien yang sedang mendalami tadabur Qur'an ikut mendengar cerita itu. Kapan Lien menyelesaikan disertasi tentang tadabur Quran?

Kami harus pindah dari resto yang padat itu. Cari kafe. Mengobrol dilanjutkan ke kafe. Lebih serius.

Kami bicara soal apa yang bisa disumbangkan dari studi tadabur untuk kemanusiaan masa depan. Juga tentang apakah akhlak yang baik itu bisa dimonopoli satu agama.

Lien masih lama di Chicago. Beasiswanya memang sembilan tahun. Saya kembali ternganga. Sembilan tahun. Baru dapat gelar doktor. Bukan 18 bulan.

Untungnya sang suami bisa dapat pekerjaan di Chicago. Secara legal. Dapat izin kerja.

Ternyata suami-istri ini juga kangen tempe. Jamal beberapa kali membuat tempe. Pakai air keran.

"Menurut saya sih enak, tapi, kan, tidak ada pembandingnya," ujar Jamal.

Kini dia punya pembanding. Maya memberinya tempe hasil dari pabriknya yang di Indiana.

Oleh-oleh tempe itu tidak hanya untuk Lien. Saya juga diberi oleh-oleh keripik tempe.

Satu pak –ukuran tiga kali Indomie. "Untuk dimakan di pesawat," katanya. "Seenak tempe Bogor."

Satu bungkus itu, di Amerika, dijual dengan harga USD 5.

Di pesawat saya kepikiran: saya makan sampai habis atau saya sisakan untuk perusuh Disway yang akan kumpul di Surabaya?(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Maulana Kabbani


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi, M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler