Mayoritas Pelaku Terorisme Kaum Muda, Basarah Sebut Jurus Penting Menangkalnya

Kamis, 28 Oktober 2021 – 13:16 WIB
Ilustrasi - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah. Foto: Ricardo/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menanggapi fakta yang menyebut mayoritas pelaku terorisme merupakan kaum muda.

Menghadapi kondisi ini, Basarah menilai pentingnya generasi muda memaknai nilai-nilai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Menurut Basarah, Sumpah Pemuda yang diikrarkan 93 tahun lalu bisa dijadikan refleksi dan proyeksi perjalanan bangsa ke depan, termasuk bagaimana memerangi radikalisme di kalangan pemuda yang menunjukkan tren meningkat.

BACA JUGA: Generasi Milenial Setuju atau Tidak Dengan Pernyataan Mahfud MD ini?

"Saat Sumpah Pemuda diikrarkan, para pendiri bangsa memperlihatkan bagaimana mereka mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan."

"Mereka sepakat menanggalkan primodialisme dengan menerima serta menghargai perbedaan demi masa depan bangsa."

BACA JUGA: Berita Dukacita: Wakil Bupati Meninggal Dunia Setelah Terjatuh di Rumahnya

"Dalam daftar peserta kongres bisa dilihat mereka berasal dari beragam suku dan agama, termasuk keturunan Tionghoa dan Arab ada dalam daftar," ujar Ahmad Basarah di Jakarta, Kamis (28/10).

Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini juga menyebut tempat yang digunakan sebagai lokasi deklarasi Sumpah Pemuda ketika itu, merupakan rumah milik peranakan Tionghoa, Sie Kong Liong.

BACA JUGA: Bahaya Makin Mendekat, Terjadi Lonjakan Kasus COVID-19 tak Biasa di Singapura

Beralamat di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta.

Rumah tersebut kini dijadikan Museum Sumpah Pemuda.

Ini artinya, sejak awal fondasi bangsa Indonesia dibangun di atas kebinekaan.

"Semestinya pesan kebangsaan ini yang harus diteladani terus-menerus. Generasi muda bangsa sebagai generasi penerus harus terus menjaga dan merawat pesan kebangsaan itu," ucapnya.

Basarah juga menyebut para pendiri bangsa rata-rata berusia muda saat tampil berjuang.

Mereka rata-rata cerdas melihat masa depan Indonesia.

Para pendiri bangsa juga sengaja memilih Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bukan Bahasa Jawa yang saat itu digunakan oleh mayoritas penduduk.

Tujuannya, agar suku-suku lain yang juga relatif besar seperti Sunda tidak cemburu pada suku Jawa.

"Bahasa Melayu saat itu juga menjadi bahasa Lingua Franca atau bahasa penghubung di antara etnis, bangsa, dan latar belakang sosial yang beragam di kepulauan Nusantara."

"Kesamaan lingua franca ini yang juga mempersatukan keragaman etnis di negeri kita yang kemudian menjadi Republik Indonesia," katanya.

Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang ini mengaku prihatin menyaksikan tren pemuda yang rentan terpapar ideologi transnasional.

Resistensi terhadap nasionalisme itu muncul akibat faktor kemajuan teknologi internet yang membuat dunia jadi makin terbuka dan global.

Selain itu, juga disebabkan minimnya pemahaman pada sejarah bangsa.

"Akibatnya, mereka menoleh pada ideologi lain sebagai alternatif, termasuk ideologi transnasional yang mengusung konsep negara khilafah," kata pendiri sekaligus Sekretaris Dewan Penasihat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) itu.

Doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini lebih lanjut mengatakan para pemuda sebelum kemerdekaan merupakan tulang punggung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Karena itu, tugas pemuda sekarang adalah mewarisi api sumpah pemuda, tidak menyia-nyiakan pengorbanan para pejuang dan syuhada bangsa."

"Mereka harus kukuh menjaga NKRI dari ancaman ideologi transnasionalisme, termasuk paham khilafah,” kata Basarah.

Untuk diketahui, terjadi 553 serangan teror di seluruh wilayah Indonesia sepanjang 2000–2020.

Ketika dirata-ratakan, maka terjadi dua kali aksi teror setiap bulan dalam 20 tahun terakhir.

Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Februari 2017 memperlihatkan lebih dari 52 persen narapidana kasus terorisme yang menghuni lembaga pemasyarakatan merupakan generasi muda berusia 17-34 tahun.

BNPT juga meyebut radikalisme sudah masuk ke dunia pendidikan termasuk kampus.

Hal ini sejalan dengan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2018.

Disebut, 50,87 persen responden dari total 2.237 sampel guru (1.811 guru sekolah dan 426 guru madrasah) mempunyai opini radikal dan intoleran.

Survei yang digelar mengangkat tema 'Sikap Keberagamaan Guru Sekolah/Madrasah di Indonesia'.(**/JPNN)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler