Mega

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 14 Agustus 2021 – 08:59 WIB
Megawati Soekarnoputri. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Beberapa waktu terakhir ini Megawati Soekarnoputri sangat vokal dan banyak memberi komentar terhadap berbagai perkembangan aktual.

Ia mengkritik Presiden Joko Widodo karena dianggap tidak memimpin langsung penanganan pandemi Covid-19.

BACA JUGA: Kalau Bu Mega Bilang Puan Sama Anies, Pemilih PDIP Bakal Dukung

Dia juga menyarankan Jokowi banyak melakukan blusukan, supaya bisa menangkap aspirasi rakyat dalam menyelesaikan krisis pandemi.

Mega juga berkomentar lagi mengenai Sumatera Barat yang dianggapnya sekarang berubah tidak seperti dulu. Kalau dulu banyak tokoh hebat dari Sumbar, seperti Mohammad Hatta. Sekarang, kata Mega, sudah tidak ada tokoh hebat lagi dari Sumbar.

BACA JUGA: Bu Mega dan Pak Jokowi, Dengarlah Pesan Juliari Ini

Mega juga disorot karena BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) dianggap terjangkit islamophobia akut.

Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon, menyebutkan hal itu setelah BPIP mengeluarkan pengumuman akan mengadakan lomba penulisan artikel dalam rangka Hari Santri Nasional.

BACA JUGA: Batin Megawati Tertekan Saat ke Rumah Bung Hatta, Sempat Memprovokasi Meutia Farida

Tema penulisan adalah ‘’Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’’ dan ‘’Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Islam’’. Dua tema ini oleh Fadli Zon dianggap menjadi bukti bahwa BPIP terjangkit islamophobia akut.

Serangan Fadli Zon tidak ditujukan langsung kepada Mega. Namun, Mega adalah Ketua Dewan Pengarah BPIP. Mega dianggap sebagai tokoh utama yang mengendalikan BPIP.

Karena itu serangan terhadap BPIP sama saja dengan serangan terhadap Mega sebagai ketua dewan pengarah.

Fadli Zon lebih bereaksi langsung terhadap pandangan Mega bahwa Sumbar sekarang berubah, tidak seperti dulu.

Menurut Fadli, Sumbar tetap seperti yang dulu. Adat istiadat Minangkabau masih tetap dipegang erat oleh masyarakat. Justru orang-orang yang tidak paham sejarah dan adat Minang yang menganggap Sumbar berubah. Begitu respons Fadli.

Megawati memang seperti menyimpan perasaan yang mengganjal terhadap Sumbar. Mungkin semacam ekspresi dendam politik dari PDIP terhadap Sumatera Barat yang selama ini sulit ditaklukkan.

Sebagai Ketua Umum PDIP pantas saja Mega penasaran terhadap Sumbar. Dalam 20 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, PDIP bisa disebut sebagai partai duafa yang tidak mendapat dukungan masyarakat.

Selama 20 tahun Sumbar dikuasai oleh parta-partai Islam. Dalam perebutan kursi gubernur Sumbar, PDIP juga tidak pernah bisa sukses.

Pada pilgub 2020 yang lalu PDIP malah membuat blunder karena komentar Puan Maharani, putri Megawati, dianggap menyinggung masyarakat Sumbar.

Ketika mengumumkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari PDIP, Puan mengatakan semoga Sumbar menjadi provinsi yang mendukung negara Pancasila.

Ucapan Puan ini kontan mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat Sumbar. Saking kerasnya respons itu sampai pasangan calon kepala daerah Sumbar pilihan PDIP memilih mundur dan mengembalikan surat dukungannya kepada PDIP.

Dalam pemilihan akhirnya PKS menjadi pemenang.

Dalam berbagai kontestasi politik PDIP tidak pernah berjaya di Sumbar. Dalam memperebutkan kursi DPR RI 2019, PDIP malah dipermalukan karena tidak mendapatkan satu kursi pun. Karena minimnya pengaruh PDIP di Sumbar, pantas saja Mega dan Puan penasaran.

Dalam beberapa perkembangan situasi politik terbaru seharusnya Puan Maharani yang lebih aktif dan vokal.

Namun, kenyataannya Megawati malah lebih aktif dan vokal dibanding Puan.

Sebagai Putri Mahkota yang digadang-gadang bakal mewakili partai pada perhelatan pilpres 2024, Puan terus didorong supaya popularitasnya naik. Namun, itu tidak mudah, karena Puan tidak terlalu nyaman untuk berbicara langsung kepada publik atau media.

Upaya yang paling mencolok adalah balihonisasi massal di berbagai kota.

Foto Puan bertebaran di baliho-baliho di berbagai sudut perempatan jalan. Reaksi masyarakat tidak sepenuhnya positif. Malah banyak yang menganggapnya negatif.

Sebuah foto yang beredar luas malah memperlihatkan spanduk bergambar mirip Puan dipasang di sebuah jamban. Belum diketahui apakah gambar itu asli atau rekayasa.

Namun, reaksi negatif dalam bentuk vandalism terhadap baliho Puan sudah banyak terjadi di beberapa kota seperti Surabaya dan Blitar.

Karena balihonisasi yang masif itu kabarnya popularitas Puan sudah mulai terkerek naik. Namun, dibanding elektabilitas dan popularitas gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, Puan masih jauh ketinggalan.

Dalam berbagai survei Ganjar konsisten dengan perolehan dua digit sampai 15 persen. Sementara Puan masih belum beranjak dari nol koma, atau paling banter satu koma.

Dalam beberapa kesempatan Puan mencoba vokal dengan mengkritik pemerintah Jokowi, terutama dalam penanganan pandemi Covid 19.

Sayangnya komentar Puan itu lebih banyak dilakukan secara tertulis melalui rilis media dibanding dengan pernyataan langsung.

Dalam hal olah vokal langsung Puan tampaknya masih harus belajar banyak. Selama ini Puan tidak terlihat nyaman dalam berbicara langsung kepada media.

Sikap kritis yang lebih terbuka justru lebih banyak dilakukan oleh Megawati. Ia mengkritik penanganan pandemi oleh pemerintah.

Mega kecewa karena Jokowi dianggap tidak langsung memegang komando penanganan pandemi, dan menyerahkannya kepada Luhut Panjaitan dan Airlangga Hartarto.

Mega galau karena kalau sampai penanganan pandemi gagal maka pemerintah Jokowi pun dianggap gagal. Hal ini dikhawatirkan akan memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap PDIP pada kontestasi politik 2024.

Peran Luhut Panjaitan dan Airlangga Hartarto yang sentral dalam penanganan pandemi juga dianggap merugikan PDIP, karena keduanya bukan kader PDIP.

Posisi-posisi sentral dalam penanganan pandemi tidak ada yang dipegang oleh kader PDIP. Hanya posisi menteri sosial yang dikuasai oleh PDIP, itu pun perannya bukan peran sentral.

Kinerja Mensos Tri Rismaharini sebagai kader PDIP dalam penanganan pandemi tidak terlalu menonjol, malah bisa disebut medioker kalau tidak jeblok.

Kasus bansos yang disunat dan kasus beras berkutu dan menjadi batu, dianggap sebagai bagian dari kinerja Mensos Risma yang tidak maksimal.

Selain itu, kasus dugaan korupsi yang melibatkan predesesor Risma, Juliari Batubara, mencoreng muka PDIP.

Keterlibatan beberapa kader PDIP dalam jaringan korupsi bansos menambah buruk muka PDIP. Kecurigaan adanya penghapusan nama kader PDIP dari daftar tersangka kasus korupsi bansos, makin membuat citra PDIP terpuruk.

Megawati kelihatannya mencium gelagat buruk itu. Ia mendorong Jokowi untuk mengambil alih tongkat komando, karena reputasi PDIP menjadi pertaruhan.

Sindiran supaya Jokowi lebih banyak blusukan adalah kode keras yang dikirim oleh Megawati untuk memperingatkan Jokowi supaya mengambil inisiatif kepemimpinan.

Namun, yang terjadi kemudian malah menjadi boomerang. Ketika Jokowi turun ke Terminal Grogol, Petamburan untuk melihat proses penyerahan bantuan bansos, yang terjadi justru masyarakat malah membuat kerumunan dan berdesakan tanpa memedulikan prokes.

Kilometer 2024 memang masih cukup jauh. Namun, Mega sudah harus berancang-ancang mulai sekarang sebelum terlambat.

Namun, biasanya pemilih di Indonesia selalu mengalami dimensia akut sehingga sering lupa. Kalau sudah diiming-imingi sembako plus lembar ratusan, para pemilih biasanya langsung silau matanya. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler