jpnn.com, JAKARTA - Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri mengisahkan dirinya sempat meminta Presiden Ke-43 Amerika Serikat (AS) George Bush agar tidak menyerang Irak.
Awalnya, Megawati mendengarkan cerita dari Bush yang ingin mengerang Irak dengan cara kilat. Megawati menjawab AS seharusnya mendapatkan izin dari PBB.
BACA JUGA: Historical Walk, Ketua MPR Ingin Semangat Konferensi Asia Afrika Kembali Digaungkan
Megawati lalu mempertanyakan maksud serangan kilat oleh AS ke Irak, apakah sejam, sehari, atau sebulan.
“Jadi, kata Presiden George Bush pada saya, katanya begini, ‘Kamu itu, kok, pintar, ya, Mega’. Saya diam saja, terus saya tanya, kok, kamu bilang begitu?" beber Megawati saat memberikan sambutan secara virtual dalam opening ceremony acara 'Bandung-Belgrade-Havana in Global History and Perspective', di Gedung ANRI, Jakarta, Senin (7/11).
BACA JUGA: Konferensi Asia Afrika Tetap Digelar April
Megawati menerangkan sebagai presiden memiliki misi membawa semangat Pancasila dan Dasa Sila Bandung hasil Konferensi Asia Afrika (KAA).
“Saya berkewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia, karena saya tidak setuju bahwa sebuah negara akan melakukan sebuah penyerangan. Itu kayanya idenya seperti zaman Jerman mengatakan Blitzkrieg, perang cepat. Saya pikirnya begitu,” kata dia.
BACA JUGA: Pemkot Bandung Minta Acara Konferensi Asia Afrika Ditinjau Ulang
Putri Bung Karno itu melihat Bush saat itu sedikit marah. Bahkan, Bush menganggap Megawati membela Saddam Husein.
“Saya enggak bela Saddam Husein, saya bela rakyat Irak, yang pasti apa pun juga, kan, menderita. Jadi, kalau kamu berpikir bahwa kamu enggak cocok dengan Saddam Husein, sudahkah ada ahli Islammu yang harusnya menerangkan Saddam Husein itu siapa. Saya bilang begitu,” kata Megawati.
Meski demikian, lanjut dia, pada akhirnya Amerika tetap menyerang Irak.
Kisah itu disampaikan Megawati untuk menjelaskan pentingnya ide membangun tata dunia baru yang disampaikan Proklamator RI Soekarno, serta kebutuhan reformasi di PBB.
Megawati mengatakan gerak mewujudkan Tata Dunia Baru yang bebas dari segala bentuk penjajahan, tidak pernah mengenal kata akhir. Satu tahun sebelum Gerakan Nonblok Bung Karno menyampaikan pidato di PBB yang dikenal dengan sebutan To Build The World A New atau Membangun Tata Dunia Baru.
Pidato itu mendapatkan tepuk tangan berdiri dari politikus internasional yang bermakna sebuah penghargaan yang luar biasa. Artinya, apa yang dikatakan Soekarno di dalam pidatonya diterima oleh banyak kalangan di dunia ini.
Tetapi persoalannya, kata Megawati, bagaimana mewujudkan apa yang diminta oleh Bung Karno itu. Bung Karno dengan gamblang mengusulkan restrukturisasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lalu usul memindahkan Markas PBB ke negara netral, di luar wilayah ketegangan Perang Dingin pada waktu itu. Dan mengusulkan perubahan Piagam PBB dengan memasukkan prinsip-prinsip Pancasila.
Menurut Megawati, kesetaraan antarnegara itu belum terwujud di PBB. Dari satu contoh kecil saja, soal iuran negara ke PBB, yang pernah ditanyakannya langsung ke Sekjen PBB. Dijawab bahwa negara besar praktis memberikan bantuan lebih besar. Dengan begitu, tentunya wewenang negara besar jadi seakan lebih besar.
“Jadi, negara besar, praktis itu yang memberikan bantuan yang lebih besar. Nah, yang lain tentu seperti apa jadinya, seperti tidak ada kesamaan, tidak ada kesetaraan,” kata Megawati.
Bung Karno juga menegaskan masa depan dunia tidak boleh ditentukan hanya oleh negara yang memiliki Hak Veto di PBB. Setiap bangsa harusnya diberi kehormatan yang sama.
“Berbagai perubahan fundamental atas lembaga dunia PBB tersebut sangat diperlukan karena Perserikatan Bangsa-Bangsa dinilai sudah tidak mampu meredam konflik. Padahal kan sebenarnya, kalau bisa yang memutuskan itu PBB,” kata Megawati.
Dari contoh itu, Megawati menilai wajar jika dianggap PBB tidak bisa lagi meredam konflik. Apalagi dengan makin meningkatnya teknologi, termasuk sebagai ancaman senjata pemusnah.
“Jadi, alatnya itu harus cepat dan akibatnya massal, seperti kita tahu Hiroshima-Nagasaki itu percobaan, tetapi telak, ya, dan sampai hari ini dampaknya masih sangat terlihat. Seperti apa rakyat Jepang yang tidak berdosa harus menerima penderitaannya, akibat radiasi,” ujarnya.
Lebih lanjut Megawati mengatakan struktur PBB dianggap sudah tidak relevan. Sebab struktur Dewan Keamanan PBB tidak sesuai lagi dengan cara pandang seperti pada 1960 di mana solidaritas, kerja sama antarbangsa, dan pembangunan ekonomi lebih dikedepankan.
“Tidak lagi melihat siapa kamu, siapa dia, kamu harusnya begini, sana harusnya begitu, sehingga umat manusia itu juga bisa bersama. Jadi, saya berkeyakinan bahwa apa yang telah disampaikan oleh Bung Karno sebagai Bapak Bangsa itu, pikirannya itu lho sampai begitu multidimention. Dia ikuti dan itu tentu perasan, gemblengan waktu ke luar-masuk penjara, dibuang dan lain sebagainya juga bukan berarti mengecilkan founding fathers yang lain, tidak. Tetapi, kan, kelihatan ekstraksinya, sehingga bisa memberikan sebuah jalan pikir,” beber Megawati.
Namun anehnya, lanjut Megawati, kebesaran seorang Soekarno di dunia itu, justru hilang di Indonesia. Hal itu terjadi sejak 1965 yang disebut program de-Soekarnoisasi.
“Bayangkan, sampai saya pikir aduh sayang banget, ya, sebuah pikiran-pikiran dari orang yang dilahirkan di dunia ini, diabaikan oleh bangsanya begitu saja. Kita lalu pemikir-pemikir katanya, pengamat politik, itu sampai ambillah dari luar negeri. Saya pikir lucu, deh, orang Indonesia ini. Saya cuma suka berpikir begitu saja, padahal ada mutiara, kupikir. Ini diabaikan sekian tahun oleh bangsa Indonesia. (Padahal) This is history, our nation history,” pungkasnya. (Tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Eksekusi MOU Pramuka-Unicef dan Gugus Depan Korea, Adhyaksa Sambangi Konferensi Asia-Pasifik
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga