jpnn.com, JAKARTA - Indonesia kembali merayakan Hari Pangan Sedunia (HPS). Pesta pertanian yang identik dengan pemenuhan pangan masyarakat. Momentum ini tidaknya hanya diperingati oleh Indonesia namun juga seluruh anggota PBB. Pendirian Food and Agriculture Organization atau FAO dalam konferensi 1943, diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia. HPS ke 39 tahun ini mengusung tema internasional, "Our Actions are Our Future, Healthy Diets for #ZeroHunger World."
Dirjen Hortikultura Prihasto Setyanto menyebutkan bahwa berdirinya FAO mengingatkan dunia tentang pentingnya pangan. Terkait pemenuhan pangan, perhatian dunia kini mengarah ke negara ekuator. Dengan keberagaman dan tingkat produktivitas pertanian, dirinya optimistis ke depan Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia.
BACA JUGA: Cara Kementan Pikat Generasi Muda Agar Mau Geluti Pertanian
“Puncak acara pada 2 Nopember 2019 nanti dengan menampilkan komoditas utama yaitu kakao dan sagu. Kakao ini kita punya 1,7 juta hektare. Di Sulawesi ada 1 juta hektare. Di Sulawesi Tenggara sendiri ada kurang lebih 260 hektare. Produktivitasnya rata rata masih 0,7 ton per hektar, padahal varietas baru kakao bisa mencapai 2 sampai 2,5 ton per hektar. Ini menjadi tantangan bagaimana mengembangkannya,” ujar Prihasto dalam Forum Group Discussion (FGD) jelang peringatan HPS, di Jakarta, Selasa (23/10).
Dirjen yang akrab dipanggil Anton menyebutkan, HPS kali ini juga menjadi momen kebangkitan sagu. Sagu merupakan komoditas sumber karbohidrat pangan alternatif masa depan. “Sagu menjadi tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim. Berbeda dengan tanaman sumber pangan lainnya yang mudah terpengaruh perubahan iklim. Artinya kebutuhan akan pangan utama bisa diperoleh dari komoditas ini,” ujar Anton.
BACA JUGA: Hari Pangan Sedunia 2019: Mari Perbaiki Kualitas Makanan Kita
Menurutnya, berdasarkan skenario perubahan iklim dunia, tahun 2050-2100 akan ada kenaikan kenaikan suhu 2-3 derajat celcius. Berdasarkan kajian IRRI pada 2006 lalu, tiap kenaikan suhu 1 derajat celcius akan menyebabkan penurunan produksi padi hingga 8 persen. Hal ini sama sekali tidak berpengaruh kepada komoditas sagu. "Kami perlu perhatikan teknologi pasca panennya karena sagu sangat potensial. Sagu yang ada di Papua, Maluku, Sumatera dan Kalimantan itu luar biasa. Indonesia kaya akan aneka macam panganan sagu. Ini adalah kearifan lokal yang kita miliki dan prospektif," kata Anton.
Saat mengunjungi areal lokasi pelaksanaan, Anton juga melihat penggunaan pompa air berbasis android yang mampu dioperasikan dalam ribuan kilometer. Dirinya menyebutkan bahwa di sana terdapat teknologi yang mampu membuat kakao panen di luar musimnya. Selain itu juga akan ditampilkan teknologi budidaya kakao kepada kelompok tani mulai dari persiapan tanam, pembibitan dan penanaman, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit serta panen dan pasca panen.
BACA JUGA: Sultra Tuan Rumah HPS 2019, Kementan Siapkan Kakao dan Sagu Jadi Komoditas Andalan
“Majukan petani muda melalui teknologi. Di sana saya melihat ada pompa air bisa dinyalakan dengan handphone yang terdapat tombol on off. Saya terkaget - kaget alat tersebut mampu menyalakan pompa air berjarak 2200 km lebih. Ini perlu dikembangkan,” papar Anton.
Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan Winarno Tohir, menyebutkan penyelenggaran HPS tahun ini sarat manfaat. Di lokasi ini akan terdapat gelar teknologi yang menjadi referensi para petani mengembangkan teknologi tepat guna. Selain itu terdapat seminar, temu bisnis, pameran dan aneka lomba yang berguna bagi petani dan masyarakat umum.
“Problem pertanian biasanya terkait ketersediaan benih, pupuk, pengolahan, pasca panen serta pasar. Dengan adanya HPS ini mengingatkan bahwa dulu pertanian dilakukan secara manual, sekarang pakai mekanisasi. Tanam jagung ada teknologinya, sebar pupuk bisa dengan drone. Hadirnya generasi muda, lahan 5 hektare bisa dikerjakan hanya dengan dua orang saja,” papar Winarno.
Dalam pertemuan ini diharapkan timbul kesadaran untuk menghasilkan produk yang aman konsumsi. Petani tidak lagi bergantung pada pestisida dan memilih budidaya ramah lingkungan. Masyarakat juga mampu mengubah pola pikir untuk tidak menyianyiakan makanan dan beralih ke diversifikasi pangan. Menjadi lumbung pangan dunia bukan hal mustahil. Indonesia kaya potensi alam dan karunia diversifikasi pangan.
“Buang mindset bahwa sagu hanya menjadi masakan orang timur. Bicara lumbung pangan dunia, jangan hanya berbicara beras. Ada sagu, ubi, jagung bahkan sukun. Nanti di HPS akan disajikan aneka olahan sagu menjadi berbagai jenis olahan panganan. Dari berbagai segi kesehatan, sagu lebih baik dari nasi,” tutup Anton.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi