Melampaui Toko Madura dan Kegigihannya

Oleh: Politikus PDI Perjuangan dan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah 2018-2022 Sunanto

Jumat, 13 Oktober 2023 – 21:50 WIB
Politikus PDI Perjuangan dan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah 2018-2022 Sunanto. Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com - Hiruk pikuk Pilpres 2024 menarik untuk diperhatikan serta dipetik hikmahnya. Peristiwa tukar tambah partai dalam membangun koalisi penuh kejutan melebihi sinetron di televisi.

Seru sih tapi rakyat menginginkan perdebatan yang lebih “daging” daripada sekadar tontonan manuver.

BACA JUGA: Cak Nanto Sarankan Airlangga Gaet Warga Muhammadiyah atau NU Jadi Cawapres

Perdebatan tentang penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja misalnya, belum banyak mengemuka padahal inilah yang ditunggu publik.

Sabtu kemarin, kira-kira setelah salat Dzuhur, saya mampir ke Toko Madura sebelah rumah. Kebetulan yang jaga pemiliknya, Abdullah, atau biasanya disapa Dollah namanya.

BACA JUGA: Cak Nanto: Mbak Puan Memberi Perhatian Besar Kepada Pemuda Muhammadiyah

Dengan berbincang berbahasa Madura saya tanya Dollah: “Pilpres meleh sapa? (Pilpres memilih siapa).

Dollah menjawab: "beh Rahasia”. Saya lanjut bertanya? Apa se paling penting dan mendesak e pa marre bik presiden? (Hal apa yang paling penting dan mendeseka yang harus diselesaikan presiden berikutnya?. Dollah menjawab

BACA JUGA: Cak Nanto: Andi Arief Fitnah Presiden dan Seluruh Parpol Koalisi

“Kemiskinan bik lapangan kerja” belum sempat saya tanya lagi Dollah melanjutkan obrolannya.

Kira-kira Dollah ngomong begini: “Sebenarnya pemerintah atau capres tak perlulah mengumbar janji untuk menanggulangi kemiskinan dan lapangan pekerjaan dengan bantuan ini itu. Cukup kami di beri kesempatan mengakses pinjaman bunga rendah, kita bisa usaha sendiri”.

Saya langsung kaget dan berpikir “benar juga dollah,”.

Saya jadi ingat apa yang dikemukakan Hernando De Soto dalam The Mystery of Capital yang menemukan bahwa kemiskinan di negara-negara berkembang dikarenakan besarnya aset yang tidak teregistrasi sehingga menjadi apa yang De Soto sebut sebagai Dead Capital.

Kalau melihat kondisi Dollah, sangat benar yang di katakan Hernando De Soto. Jejaring Toko Madura praktis di biayai dengan modal pribadi dan dikelola secara tradisional dengan kearifan lokal.

Meski demikian, dengan hanya berbekal keyakinan bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan, Toko Madura mampu menjadi counter hegemony dari toko ritel berjejaring seperti alfamart dan indomaret.

Di tengah perbincangan dengan Dollah, saya berpikir kalau saja negara meregistrasi aktivitas ekonomi dari Toko Madura, mendigitalkan transaksinya sehingga membuka akses ke lembaga keuangan, maka resonansinya akan berlipat ganda.

Tentu tidak hanya Toko Madura tapi juga pedagang kaki lima yang dalam ekonomi masuk sebagai ekonomi informal diregistrasi menjadi badan usaha, lalu percepatan digitalisasi, yang terjadi selanjutnya akan ada akselerasi dari ekonomi informal menjadi formal.

Dari sini sebenarnya permasalahan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan bisa di selesaikan dengan satu saja kebijakan.

Toko Madura buktinya, tanpa ada peran dari pemerintah sekalipun bisa hidup dan terus “menginvasi” gang-gang dan keramaian di seluruh Jabodetabek.

Memastikan negara tidak mempersulit ekonomi kecil saja sudah bagian dari penyelesaian masalah. Misalnya tidak memperumit pengurusan izin usaha, insentif pajak, izin halal, izin BPOM dan sebagainya.

Kalau perlu pemerintah jemput bola agar Toko Madura atau UMKM mau bertransformasi menjadi ekonomi formal.

Bayangkan saja, hanya dari 2 tahun saja Dollah mampu membuka 5 toko Madura hanya mengandalkan compounding dari nett income.

Dan kenapa kita harus mendorong Toko Madura besar? Karena toko Madura bukan korporatokrasi yang hanya dimiliki satu atau dua orang saja tapi Toko Madura adalah perwujudtan paling mutakhir dari demokratisasi ekonomi atau bisa disebut sebagai ekonomi pancasila karena pemilik benar-benar rakyat.

Jadi berkembangnya toko Madura lebih cepat lagi tidak hanya berkontribusi bagi growth tapi juga equality

Jadi kalau ada anekdot “Toko Madura hanya akan tutup kalau kiamat saja, itupun setengah hari” itu benarnya adanya karena memang unique selling point dari Toko Madura adalah kegigihanya dengan membuka 24 jam.

Bukan perkara itu saja, kegigihan orang Madura dalam menaklukan Ibu Kota dengan Madura Way melalui Toko Madura harus didorong dan diperhatikan.
Bukan lantas karena mereka bisa hidup sendiri tanpa bantuan pemerintah, mampu melawan ritel besar lalu ditinggalkan.

Selanjutnya melihat Dollah gigih dalam menjalankan toko Madura jadi berpikir sebenarnya rakyat punya daya adaptasi yang harus terus didorong dalam merespon ekonomi dengan cara-cara kreatif atau creative destruction.

Bayangkan saja toko yang di kelola secara tradisional dengan modal pribadi mampu melawan pemain-pemain ritel besar, lalu apa unique selling pointnya kok bisa bertahan?

Setidaknya selain karena 24 jam buka, toko madura juga mengadopsi perkembangan ritel baru yaitu menjadi omni channel yang langsung hadir di gang-gang atau dusun-dusun dari konsumen.

Kegigihan itu yang membuat perubahan “brand orang madura” yang dulu orang Madura di Jakarta terkenal hanya dua hal, kalau tidak pedangang besi tua ya jualan sate sekarang dikenal sebagai juragan toko kelontong.

Tidak hanya itu, dalam pikiran liar saya, toko Madura juga mengajarkan kalau yang kecil tidak selalu kalah dari yang besar kalau kita gigih.

Jadi kalau ada anggapan, gabungan kekuatan dalam koalisi yang besar bisa secara otomatis menang, eh tunggu dulu, orang madura mengajarkan tidak demikian.

Enggak apa-apa kecil asal ada kegigihan bisa menumbangkan yang besar, jadi ngomongin pilras - pilpres lagi.

Yang jelas menyelesaikan kemiskinan dan lapangan pekerjaan yang menjadi isu utama dalam ekonomi Indonesia harus di dorong dengan terobosan-terobosan yang kongkrit seperti terus mendorong akselerasi naik kelasnya pelaku ekonomi informal menjadi formal.

Kalau ini dikerjakan serius, saya pikir pemimpin kedepan tak perlu lagi umbar janji yang bombastis dan muluk - muluk.

Kalau cara ini bisa dipercepat maka unintended consequencesnya akan semakin besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dimana dari sisi pelaku UMKM mereka dapat akses pinjaman lunak yang dapat digunakan untuk upscalling ekonominya lebih besar dan cepat, dari sisi negara selain kemiskinan dan lapangan kerja, pemerintah dapat mendapatkan basis pajak yang lebih besar lagi.

Namun, kadang kita lebih suka cara yang rumit-rumit dan sophisticated, tetapi tidak feasible ketimbang cara yang simpel dan aplikatif.

Ke depan tidak lagi butuh kata-kata tapi sat set wat wet das des. Kalau enggak, keburu Belanda datang.

Tak terasa ngobrol dengan Dollah begitu mengasyikkan sampai akhirnya azan Ashar berkumandang yang artinya obrolan harus diakhiri. (jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Sunanto   UMKM   Ekonomi   toko madura   Cak Nanto   PDIP  

Terpopuler