jpnn.com - Wacana bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi ancaman serius bukanlah hal baru. Baru-baru ini mendapat sorotan tajam dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Dalam sebuah wawancara dalam podcast yang tayang di akun YouTube Akbar Faizal Uncensored seperti dikutip Sabtu (23/11/2024), beliau menyinggung dugaan intervensi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang disebut-sebut sudah diskenariokan demi kepentingan politik tertentu.
BACA JUGA: Menjelang Pilkada 2024, Kapolres Banyuasin Sampaikan Pesan Kepada Masyarakat
Meski pernyataan tersebut perlu disikapi dengan hati-hati, diskursus yang muncul dari wawancara tersebut membuka pintu analisis lebih lanjut tentang bagaimana Pilkada bisa menjadi medan pertarungan terakhir untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia.
Pilkada, sebagai salah satu instrumen demokrasi langsung telah menjadi arena paling nyata bagi rakyat untuk menyalurkan hak pilih mereka secara otonom.
BACA JUGA: Al Araf Nilai Jokowi Memalukan Turun Kampanye di Pilkada 2024
Namun, realitas politik Indonesia menunjukkan bahwa proses ini sering kali dicemari oleh kepentingan oligarki yang mengancam prinsip kedaulatan rakyat.
Pilkada yang idealnya menjadi refleksi kehendak rakyat, justru sering kali beralih menjadi alat legitimasi bagi kelompok elite yang memegang kendali kekuasaan.
BACA JUGA: Polres Pematangsiantar Siap Berikan Keamanan di TPS Saat Pilkada Berlangsung
Hasto menyebutkan bahwa dalam beberapa Pilkada, muncul indikasi kuat adanya upaya sistematis untuk memastikan kemenangan calon-calon tertentu.
Contohnya adalah klaim mengenai keterlibatan keluarga petahana dalam sejumlah Pilkada strategis, termasuk di daerah seperti Jawa Tengah dan Sumatera Utara.
Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia sedang bergeser dari prinsip republik menjadi semacam kerajaan atau monarki modern yang berbalut demokrasi prosedural. Jika benar, hal ini menjadi ancaman serius terhadap integritas sistem politik kita.
Namun, perlu ditekankan bahwa narasi seperti ini tidak sepenuhnya baru dalam politik Indonesia. Robert Michels, seorang teoretikus politik, sudah lama menjelaskan fenomena semacam ini melalui konsep “hukum besi oligarki.”
Menurut Michels, setiap organisasi—termasuk partai politik—akan cenderung berkembang menjadi oligarki, dimana keputusan-keputusan penting didominasi oleh segelintir elite.
Dalam konteks ini, partai politik sering kali tidak lagi menjadi saluran aspirasi rakyat, melainkan alat bagi para elit untuk mengamankan kekuasaan mereka.
Di Indonesia, fenomena tersebut makin tampak ketika partai-partai politik dan pemimpin terpilih sering kali tersandera oleh kepentingan oligarki.
Dukungan politik dari partai dan parlemen adalah syarat utama untuk menjalankan pemerintahan, tetapi di sisi lain, hal ini membuka pintu negosiasi yang pada akhirnya dapat melahirkan kompromi-kompromi yang merugikan rakyat.
Tidak heran, ketika presiden atau kepala daerah yang lahir dari pemilu justru menjadi tawanan dari sistem oligarki yang mendukungnya.
Pilkada sebagai manifestasi demokrasi lokal memiliki potensi besar untuk menjadi penyeimbang terhadap dominasi oligarki di tingkat nasional.
Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada integritas penyelenggaraan dan partisipasi masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran tentang maraknya politik uang, manipulasi data pemilih, dan mobilisasi aparat untuk kepentingan politik tertentu semakin sering mencuat.
Belum lagi intervensi situasi politik nasional dalam pilkada yang juga menggunakan “tangan-tangan” sistem hukum atau merujuk pada pendapat saya sebelumnya mengenai isu politisasi hukum dan netralitas aparat.
Isu-isu ini menodai Pilkada sebagai institusi demokrasi dan memunculkan krisis kepercayaan di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, demokrasi Indonesia juga sedang menghadapi tantangan dari krisis rasionalitas publik. Mengutip pandangan Jurgen Habermas, sistem politik hanya bisa bertahan jika masyarakat memiliki kepercayaan penuh pada integritas keputusan administratif yang diambil oleh pemerintah.
Ketika keputusan-keputusan tersebut dipersepsikan sebagai bagian dari agenda tersembunyi, maka legitimasi politik pemerintah pun dipertanyakan. (Jurgen Hebermas; 2004).
Inilah sejatinya yang tercermin dari praktik kriminalisasi atau politisasi hukum yang nyata terjadi selama ini.
Logika kekuasaan dan politik, berbenturan satu sama lain dengan pengetahuan dan hukum positif. Tidak adanya integrasi yang solid antara pengetahuan, keputusan politik dan hukum itu akhirnya melahirkan krisis rasionalitas dalam diri masyarakat.
Dalam kerangka itu, Pilkada 2024 bisa menjadi momen penting untuk menguji sejauh mana demokrasi Indonesia mampu bertahan dari krisis tersebut.
Dalam konteks ini, masyarakat tidak hanya berperan sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pengawas aktif yang memastikan bahwa proses politik berjalan dengan jujur dan adil.
Meningkatnya kesadaran politik di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, menjadi harapan besar untuk melawan praktik-praktik manipulatif yang kerap terjadi dalam Pilkada.
Selain itu, munculnya banyak kandidat oposisi yang kuat dalam Pilkada juga menjadi salah satu indikator sehatnya demokrasi. Oposisi adalah elemen esensial dalam sistem demokrasi karena berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan dan memberikan ruang untuk perdebatan kebijakan.
Sayangnya, dalam banyak kasus, calon atau tokoh yang tidak diinginkan oleh penguasa (oposisi) sering kali dilemahkan melalui berbagai cara, termasuk kriminalisasi tokoh-tokoh kritis atau pembatasan akses terhadap sumber daya politik.
Tudingan ini terasa nyata dari berbagai pernyataan tokoh masyarakat yang selama ini dianggap kritis.
Kita tentu tidak lupa dengan proses hukum yang terjadi terhadap para pengkritik pemerintah sebelumnya. Berbagai intimidasi hingga kriminalisasi terjadi.
Demikian pula dengan pernyataan Hasto terkait upaya kriminalisasi dirinya maupun terhadap Anies Baswedan, calon Kepala Daerah tertentu, dan beberapa tokoh lainnya yang dianggap mengganggu kepentingan politik di Pilkada 2024 ini.
Apalagi kini PDIP sebagai pemenang Pemilu 2024, seringkali diseberangkan dengan Pemerintah dan dibuat “lemah” dengan berbagai cara, termasuk kriminalisasi terhadap para kader atau calon pemimpin daerah yang notabene maju dalam kontestasi Pilkada.
Pilkada Jawa Tengah, misalnya, yang mempertemukan dua figur besar seperti Jenderal (Purn) Andika Perkasa dan Komjen Pol (Purn) Ahmad Luthfi, seharusnya menjadi ajang adu gagasan yang sehat.
Namun, kekhawatiran bahwa ada intervensi politik yang memengaruhi jalannya kompetisi ini mencederai semangat demokrasi. Hal yang sama berlaku di Boyolali, di mana keterlibatan tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan petahana menimbulkan persepsi bahwa proses demokrasi telah diarahkan untuk tujuan tertentu.
Meski demikian, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kompleksitas yang dihadapi oleh pemerintah dalam sistem demokrasi multi-partai seperti di Indonesia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden sering kali dihadapkan pada dilema antara menjalankan program kerja dan mendapatkan dukungan politik dari parlemen.
Dalam sistem seperti ini, akumulasi kekuasaan memang sulit dihindari, tetapi harus selalu diimbangi dengan mekanisme check and balance yang efektif.
Dalam konteks tersebut, penting untuk memahami bahwa kritik terhadap pemerintah tidak selalu berarti “oposisi” terhadap sistem. Justru, kritik yang konstruktif adalah bagian dari upaya untuk memperkuat demokrasi itu sendiri.
Jika Pilkada 2024 benar-benar ingin menjadi instrumen untuk menyelamatkan demokrasi, maka semua pihak—termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat—harus berkomitmen untuk menjadikan proses ini transparan, kompetitif, dan bebas dari intervensi.
Lebih jauh, pemerintah juga perlu menunjukkan bahwa mereka mendukung demokrasi substantif, bukan hanya demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural hanya mengedepankan pelaksanaan formal dari mekanisme pemilu, sementara demokrasi substantif berfokus pada keadilan sosial, keterwakilan yang setara, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pilkada yang sehat adalah wujud dari demokrasi substantif yang sejati.
Dalam kerangka besar menjaga demokrasi, peran masyarakat sipil menjadi sangat penting. Sejarah telah membuktikan bahwa tekanan dari masyarakat sipil sering kali menjadi pendorong utama reformasi politik di Indonesia.
Dalam Pilkada 2024, masyarakat sipil diharapkan dapat memainkan peran ini, baik melalui pengawasan langsung terhadap proses pemilu maupun melalui advokasi kebijakan yang mendukung demokrasi.
Pilkada memang bukan solusi tunggal untuk menyelesaikan semua masalah demokrasi Indonesia, tetapi ia memiliki peran strategis sebagai instrumen untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap sistem politik.
Jika dilakukan dengan integritas dan transparansi, Pilkada 2024 tidak hanya akan menjadi ajang untuk memilih pemimpin daerah, tetapi juga menjadi langkah awal untuk menyelamatkan demokrasi dari ancaman oligarki dan penyalahgunaan kekuasaan.
Di tengah segala tantangan yang ada, optimisme harus tetap dijaga. Demokrasi Indonesia mungkin sedang menghadapi ujian terberatnya, tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa rakyat Indonesia memiliki kemampuan luar biasa untuk bangkit dan mempertahankan hak-haknya.
Dengan komitmen bersama, Pilkada 2024 bisa menjadi momentum untuk membuktikan bahwa demokrasi Indonesia masih hidup dan relevan di tengah gempuran berbagai tantangan zaman.
Terakhir, rezim Jokowi kini telah berlalu, meninggalkan berbagai capaian pembangunan dan tantangan politik yang menjadi warisan bagi pemerintahan selanjutnya.
Kendati terdapat kedekatan yang erat antara Jokowi dan Prabowo, transisi kepemimpinan ini menjadi momen penting bagi rakyat Indonesia untuk menilai arah baru yang ditawarkan oleh duet Prabowo-Gibran.
Kepercayaan rakyat tidak hanya akan diuji melalui program-program nasional mereka, tetapi juga dalam kemampuan keduanya menjaga integritas demokrasi dan cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan Makmur.
Harapan besar kini tertuju pada pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membawa demokrasi Indonesia ke arah yang lebih sehat dan substansial.
Pilkada kali ini menjadi barometer utama bagi masyarakat untuk menilai komitmen pemerintah terhadap kompetisi politik yang adil, bersih, dan demokratis.
Rakyat menantikan perubahan nyata dalam sistem politik, terutama dalam mengikis pengaruh oligarki dan memastikan Pilkada benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat di setiap daerah.
Jika pemerintahan baru berhasil menjadikan Pilkada 2024 sebagai wujud nyata demokrasi substantif, maka ini akan menjadi awal yang baik bagi Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Sebaliknya, jika Pilkada kali ini kembali dicederai oleh praktik-praktik manipulasi politik, maka harapan besar rakyat bisa berubah menjadi kekecewaan mendalam.
Momentum ini menjadi ujian penting bagi Prabowo dan Gibran untuk membuktikan bahwa mereka layak menjadi simbol pemersatu bangsa yang membawa demokrasi ke arah yang lebih baik.(***)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich Batari