JPNN.com

Memaknai Peperangan di Padang Kurusetra Dalam Epos Mahabarata

Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsa, tinggal di Jakarta

Selasa, 28 Januari 2025 – 17:32 WIB
Memaknai Peperangan di Padang Kurusetra Dalam Epos Mahabarata - JPNN.com
Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsa, tinggal di Jakarta, Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Kisah Epos Perang Bharata Yuda antara Astina dan Kurawa menunjukkan Astina dengan Pandawa Limanya melakukan peperangan terakhir di Padang Kurusetra.

Dalam kisah Epos Mahabaratha digambarkan sebagai sebuah padang yang sangat luas, sebagai penentu jalanya peperangan, antara Astina yang digambarkan sebagai pihak yang menjunjung kebenaran dengan Kurawa yang digambarkan sebagai pihak yang berlaku kejahatan dan keangkaramurkaan.

BACA JUGA: Metta Day Sukses Digelar di Bone, Rektor Untar: Wujud Pengabdian Nyata untuk Bangsa

Epos ini ditulis sedemikian hebatnya yang merupakan penuntunan bagi umat manusia di segala zaman dan waktu, bahwa selalu akan terjadi pertarungan antara yang baik dan hak dengan yang batil dan jahat di setiap dimensi kehidupan.

Bahwa peperangan paling dahsyat selalu terjadi pada diri kita. Pada rohani kita yang terkurung pada jasad badan kasar yang bersifat kedagingan. Terjadi tarik-menarik antara amarah hawa nafsu dengan energi ruh kebaikan antara warna hijau dan biru dengan warna merah.

BACA JUGA: Selandia Baru Menuju Negara Tanpa Rokok 2025, Indonesia Juga Bisa

Antara hitam dengan putih, antara kesadaran dengan ketidaksadaran. Antara ambisi dengan berjalan sesuai arah angin dan mengalirnya aliran sungai sesuai hukum alam dalam sebuah kodrat dan akan selalu begitu di setiap zaman.

Dalam sesi puncak peperangan di Padang Kurusetra, sang Maha Raja Krisna bersenjata trisula Weda menjadi kusir kereta kencana yang dinaiki Arjuna.

Ini sebagai lambang bahwa sang Maha Raja sebagai pengendali, sebagai pemimpin, sebagai Panetep Panoto Agomo (Sultan sang Raja dari pimpinan agama di selutuh negeri) menghantarkan para kesatria negara untuk membela kebenaran dan hak melawan ketidakadilan yang bersifat batil pada semua lini kehidupan dan pada setiap zaman dan masa dimana manusia masih ada di muka bumi.

Di dalam Kitab Bhagavad Gita ditulis Krisna dan Arjuna berbincang tentang hakikat realitas dan cara mengakses keselamatan dan kesatuan dengan ilahi (Tuhan yang Esa) atau Brahma dalam agama Hindu.

Dalam percakapan tersebut sang Maha Raja Krisna menjelaskan kepada Arjuna bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui pengetahuan dan tindakan nyata dalam kehidupan atau Amaliah dalam Islam.

Bahwa dogma syariat adalah petunjuk. Seremonial ibadah adalah tata cara bagaimana dalam mencapai yoga (ketenangan) dan Mu' Amalah atau laku kita dalam hidup adalah puncak dari ibadah yang merupakan realitas dalam kehidupan mengapa kita dilahirkan di dunia dan untuk apa setelah lahir dan hidup di dunia.

Setelah itu kita ke mana dan bagaimana jalannya itu adalah sebuah proses perjalanan spiritualisme dalam mencapai dharma dalam hidup.

Ukuran dari pada semua itu adalah bagaimana diri kita bisa memperlakukan sesama dan alam semesta ini secara manusiawi dengan cinta kasih dan sayang yang telah terpatri pada diri kita dan setiap orang orang yang beriman.

Itu sesungguhnya dialog di padang Kurusetra antara Krisna dan Arjuna yang membabat ilmu hakikat untuk mencapai jalan tertinggi dalam kerohanian.

Petunjuk dalam Bhagavad Gita dirancang untuk membangkitkan kesadaran murni pada diri manusia. Oleh sebab itu pada bagian akhir dari dialognya Krisna bertanya pada Arjuna apakah sekarang Arjuna telah dalam kesadaran murni?

Kesadaran murni yang dimaksud disini adalah berada dalam kondisi keadaan bermeditasi untuk mencapai ketenangan jiwa, mengendalikan pikiran dan tubuh.

Yang dalam tasawuf Jawa disebut Suwung atau kosong mengalami kekosongan, tiada diri lagi. Yang ada adalah Brahma yang bersemayam adalah bukan dia.

Yang menggerakkan adalah bukan dia, tetapi seluruh gerakan alam ini digerakan oleh Yang Kuasa.

Untuk itu, Kresna menegaskan bahwa Dharma atau pengabdian dalam kebenaran (Tan Hana Dharma Mangrwa) harus menjadi prinsip penuntun dalam membuat keputusan.

Menyangkut masalah Arjuna yang bertekad tidak mau menyakiti orang-orang yang dicintainya, Krisna sebagai Maha Raja, berujar dan mengingatkan bahwa sebagai prajurit adalah sudah menjadi kewajibanya untuk memastikan dan menjunjung keadilan dan melindungi atas sesama yang teraniaya oleh rasa keadilan itu sendiri agar kebaikan selalu bersemayam pada setiap insan dan harus dijaga.

Bahwa dalam Bhagavad Gita atau disebut sebagai Weda kelima yang berarti nyanyian suci merupakan sebuah kitab yang memiliki kedudukan penting dalam tradisi Hindu.

Ajaran universal dalam kitab Bhagavad Gita diperuntukkan untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. Bukan saja pada umat tertentu, akan tetapi untuk semua manusia yang ditulis dalam epos Mahabharata.

Pelajaran yang kita dapatkan dari ini semua adalah , dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana pada jaman Reformasi ini, ketidakadilan, keangkaramurkaan menuhankan Agama, menuhankan harta benda kekayaan dan tahta telah bersifat masif dan terstruktur.

Korupsi merajalela sudah menjadi budaya, penegakan hukum yang rusak dimana hukum dijadikan lahan bisnis oleh para penegak hukum, yang kerap terjadi hukum dibelokkan, argumen hukum dipelintir seolah kejahatan ketidak benaran di justifikasi menjadi kebenaran dalam hukum yang merusak sendiri sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara.

Itu sebenarnya dari pada tafsir Bhagavad Gita, dalam peperangan dipadang Kurusetra dalam epos Mahabharata. Dan peperangan. Tersebut akan selalu ada, akan selalu terjadi antara keadilan melawan kejahatan, di sepanjang zaman dan masa, di setiap negara di dunia, termasuk Indonesia tercinta.

Kelangsungan dari sebuah bangsa terletak pada pundak pundak anak bangsa itu sendiri untuk mempertahankan eksistensi dari bangsa tersebut di tengah percaturan situasi global dan kawasan yang tidak menentu yang suatu saat bisa meletus konflik yang menyeret bangsa ini dalam pusaran kepentingan negara-negara Adi Daya.

Sebab letaknya yang sangat strategis secara geografis digaris katulistiwa dan dikaruniai wilayah laut yang luas dengan tiga ALKI, sebagai jalur alternatif paling efektif dalam tranportasi laut antarbenua menuju samudera Hindia sebagai sebuah negara kepulauan.

Ada yang berpendapat dalam scenario Writing, dari ahli-ahli inteljen terkemuka bahwa kemungkinan Indonesia bisa bubar pada tahun 2030 seperti yang pernah disampaikan oleh Prabowo Subianto dalam sebuah pidato politiknya.

Hal itu tergantung dari pada kesiapan dan kemauan dari para anak bangsa beserta tokoh tokoh politik yang ada, untuk tetap berkomitment mempertahankan keberadaan dari Bangsa ini yang bernama Indonesia .

Kondisi yang sangat memprihatinkan dalam penegakan hukum di negeri ini , dimana telah ditangkapnya para mantan pejabat MA yang didapatkan uang cash hampir satu triliun merupakan indikasi dari ketidakberesan dari para pemangku hukum dalam menjalankan tugasnya.

Pemikiran dari para pendiri bangsa /Founding Father kita ini, baik Soekarno, Soepomo, Syahrir, Moh Hatta, Moh Yamin harus diakui tidak muncul secara taken for granted.

Sebab mereka di samping banyak belajar dari situasi negara-negara barat/Eropa dan Amerika saat itu, tetapi juga mempunyai rasa sensitivitas dan pemahaman yang sangat dalam tentang nilai-nilai yang mengakar dan tumbuh dari suku-suku bangsa ini (Local Wisdom).

Bahkan seorang guru besar sosiologi di Indonesia, yakni Prof Satjipto Rahardjo berpendapat dalam memberikan pembelajaran kepada mahasiswanya bahwa "sejatine ora Ono opo opo, seng Ono Kuwi Dudu" (sejatinya tidak ada apapun di dunia ini, yang ada sejatinya menipu).

Kata falsafah dalam dimensi filsafat spiritualisme Jawa tersebut sangat dalam, yang mengajarkan kita agar kembali membumi pada kearifan local dan ajaran leluhur dalam menyikapi situasi.

Saat ini, yang telah digali oleh Bung Karno dalam Pancasila dengan sila-silanya, sebagai pemersatu bangsa dan sekaligus sebagai Philosophische Grondslag.

Pancasila sendiri lahir secara konsep perumusan Dasar Negara pada tanggal 1 Juni 1945, pada  saat Bung Karno menyampaikan pidato pandangan umum tentang perumusan Dasar Negara pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ) atau Dokuritsu Junbi Casakai.

Istilah Pancasila sendiri berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti prinsip atau asas dalam pdoman berbangsa dan bernegara sebagai sebuah Dasar Negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa (PhilocophiSche Grondslag).

Secara de jure Pancasila ada dan berlaku sebagai dasar Negara sejak mulai Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau  sehari sejak Proklamasi dikumandangkan sebagai statment kemerdekaan sebuah Bangsa.

Namun secara de Facto Pancasila sebagai sebuah landasan falsafah dan pandangan hidup bangsa (Philosophische Grondslag atau Weltanschauung ) sudah ada sejak ribuan tahun sebelum ada negara yang bernama Indonesia di bumi Nusantara ini telah hidup dan menjadi pedoman masyarakat sejak Kerajaan Kerajaan besar di Jawa dan di Nusantara ini sebagai hukum yang hidup dan berkembang yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pedoman dalam bermasyarakat dan bernegara (Living Law).

Hal ini terjadi baik sejak Mataram Hindu yang pernah mengalami masa  perang agama dalam sejarah masa lalu antara dinasti Sanjaya beragama Hindu (732-1007 M) dan dinasti  Syailendra beragama Budha, yang pada saat pemerintahan Rakai panangkaran putra Raja Sanjaya, terjadi perang agama yang begitu dahsyat dimana kerajaan terbelah menjadi dua bagian dimana Mataram Hindu berada di Jawa bagian Utara dan Mataram Budha berada dibagian selatan.

Kemudian  kedua golongan ini disatukan kembali oleh Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya dengan melakukan perkawinan politik mengawini Pramordhawardani dari keluarga Syailendra, yang sebagian para sejarawan meyakini bahwa Raja Rakai Pikatan yang mempunyai nama samaran "Resi Gunadarma" sebagai Arsitek  mendirikan candi bercorak Budha yang dikenal dengan Sambadha Budura (Borobudur) serta candi Sewu Roro Jonggrang yang bernama Candi Prambanan di Klaten perbatasan Jogyakarta. 

Dan sejak saat itu ajaran ajaran luhur tentang konsepsi Pancasila sebagai living law sudah berlaku, sebagai pedoman penghormatan dalam kehidupan terhadap sesama umat beragama dan antarumat beragama sesuai sila pertama dalam Pancasila.

Dan lalu dilanjutkan dalam pemerintahan Kerajaan Kediri dij Jawa Ttimur dan Singosari di Malang yang lalu dilanjutkan pada masa kerajaan Majapahit pada tahun 1293 hingga 1527 sebagai kerajaan bercorak Hindu dan Budha.

Saat Majapahit mencapai kejayaan dalam pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang Empu yang beragama Budha, yakni Mpu Prapanca menulis Dalam kitab Kakawin Nagara Kertagama yang ditulis dalam Bahasa Jawa kuno oleh Mpu Prapanca, menginspirasi para pendiri bangsa kita (Founding Father) sebagai konsep dalam berdirinya negara Kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia.

Kakawin Nagara Kertagama ditemukan pertama kali di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 1894. Pertama disebut Kakawin Desa Warnana, yang melukiskan tentang pemerintahan saat itu dalam wilayah kerajaan Majapahit, termuat dalam bait (Ngk.pupuh 94: 4).

Naskah Kakawin Nagara Kertagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa lantaran memberikan keterangan langsung mengenai kondisi dan adat istiadat serta sistem pemerintahan, baik lokal (Daerah dalam lingkup Kadipaten), Desa maupun pusat kerajaan, mengenai masyarakat Jawa kuno pada suatu masa dan dilihat dari sudut pandang tertentu. Kakawin

Nagara Kertagama merupakan Kitab yang menjadi sumber nilai - nilai Pancasila yang kemudian menginspirasi Bung Karno dalam menyusun Dasar Negara Republik Indonesia dan juga Mr. Moh. Yamin dan Mr. Soepomo dalam memberikan masukan konsep tentang dasar negara dan sistem ketatanegaraan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Bung Karno dalam Auto Biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, halaman 240 menulis:

“Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila, apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku telah menemukan lima butir mutiara yang indah."

Naskah Nagara Kertagama juga telah diakui oleh kalangan International dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of The World UNESCO.

Dalam pupuh 43, Mpu Prapanca menulis "Agar kiranya berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama". Disinilah sebenarnya sumber inspirasi dari para Pendiri bangsa yang lalu digali dan dirangkum menjadi sila-sila dalam Pancasila.

Para generasi muda bangsa harus paham dan mengerti sejarah bangsa nya saat negara ini dibentuk dan diproklamirkan sebagai kemerdekaan sebuah bangsa , dan sejarah sebelum lahir nya Negara Kesatuan RI, dimana sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa lepas dari pengaruh dan pendapat Mr. Soepomo, yang merupakan "Ikon" penting dalam dunia politik hukum di Indonesia.

Dalam pidatonya di depan BPUPKI, tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengemukakan dan melontarkan gagasan tentang "Negara Integralistik" sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia ketika merdeka. Gagasan ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi pada saat disusunnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Kontroversi yang mengemuka saat itu adalah ide model negara integralistik yang ditawarkan Soepomo merupakan bentuk yang dianggap fasis, yang mencontoh dari kerajaan Jepang dan Jerman saat itu. Dianggap adanya persesuaian dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat kekeluargaan.

Setelah Indonesia merdeka, banyak pakar  hukum ketatanegaraan menilai Pemerintahan Orde Baru menerapkan gagasan yang diajukan oleh Soepomo.

Soepomo adalah seorang bangsawan Jawa keturunan darah biru dari Keraton Kasunanan Surakarta yang   sangat memahami kontek sistem manunggal Kawuloning Gusti. Dalam pemerintahan feodal Jawa merupakan penyatuan antara rakyat dan pemimpin, membentuk suatu masyarakat yang harmonis berdasar karakteristik masyarakat Indonesia.

Sebenarnya inspirasi dari Soepomo didapat dari model pemerintahan desa-desa kuno di Jawa seperti yang tertulis dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama.

Para ahli hukum Tatanegara dalam kajiannya berpendapat bahwa Soepomo mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf pada abad ke-18 dan ke-19, yakni Benedict Spinoza, Adam Muller dan Georg W .F. Hegel.

Diterjemahkan oleh Soepomo sebagai bentuk ketertarikannya dengan sistem pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno - Haika dan Jerman saat itu, tidak semuanya tepat walau tidak salah.

Jepang sebagai negara feodal dengan Raja sebagai poros paling atas kekuasaan. Menurut Soepomo, sistem pemerintahan seperti ini sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti.

Diterapkan dalam pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa yang mengadopsi sistem pemerintahan pada kerajaan Majapahit, dimana Raja sebagai Gusti atau kepala negara dengan perangkat wakilnya Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.

Soepomo menolak konsep Individualisme Barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris, Jeremy Bentham.

Menurut Soepomo, konsep individualitas ala barat bertentangan dengan  struktur masyarakat desa yang merupakan soko guru untuk cermin struktur masyarakat yang lebih luas seperti negara.

Bentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara Kawulo (rakyat) dengan pemimpin (Gusti).

Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem ketatanegaraan. Dimana, dalam negara integralislis ala pemerintahan desa, tidak ada pertentangan dan selalu ada Harmoni kepentingan.

Ini karena negara dikelola secara kekeluargaan, layaknya sebuah keluarga harmonis. Negara Integralistik  dalam perspektif  Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri sendiri sesuai kodratnya.

Marsilam Simanjuntak dalam studi yang sangat impresif soal konsep Negara Integralistik. Dalam buku tersebut, Marsilam menguraikan bagaimana Sorpomo "membayangkan" hal sistem dan ketatanegaraan.

Marsilam fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel, yang mana menurut penulis, aliran dan pendapat dari Benedict Spinoza dan Adam Muller serta George W.F Hegel, bukan merupakan rujukan dan memberi pengaruh kepada Soepomo dalam mengusulkan ide Negara Integralistik.

Sebagai seorang bangsawan keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah Desa-Desa adat, yang di konseptualkan dalam sistem terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia.

Kebetulan lulusan pendidikan hukum di Belanda, pendapat para filsuf Eropa pada abad ke-18 dan 19 hanya sebagai referensi, perbandingan pandangan.

Pada era kini dalam era Reformasi, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, dan terbentuknya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka, telah dirombak total melalui amendemen sampai empat kali.

Secara jujur penulis katakan sudah kehilangan Ruh dan jati diri serta arah tujuan sebagai bangsa sesuai UUD 1945 saat berlakunya Dekrit Presiden 5 juli 1959.

Pada masa Orde Baru, memang tidak semuanya  sempurna, wajar ada kekurangan.

Dalam dokrinisasi politik contohnya, dimana institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI, yang bukan lagi sebagai alat pertahanan dan keamanan, tetapi juga sekaligus alat politik. Ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikusnya yang dibunuh akan tetapi justru lumbungnya yang dibakar.

Sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat, ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang dulu merupakan dewan rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil perangkat pemerintahan desa.

Demikian juga MPR yang susunan anggotanya, terdiri dari Seluruh anggota DPR RI, wakil golongan yaitu golongan  dari perwakilan agama seluruh Tanah air, wakil dari organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan wakil Daerah yang mewakili daerah masing-masing yang saat ini diwakili oleh anggaota DPD RI yang pada masa lalu diwakili oleh Gubernur, Bupati, Wali Kota yang merupakan wakil di daerah yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat melalui perwakilan.

MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sebagai panduan dari tujuan pembangunan  bangsa ini. Tertata dan terstruktur dalam jangka pendek, menengah dan Panjang yang dituangkan pemerintah dalam Repelita.

Itulah wujud dari sistem Negara Integralistik  yang ditulis Mpu Prapanca di Kakawin Nagara Kertagama dan sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara .

Saat ini, kewenangan MPR sudah dicabut sehingga tidak ada lagi GBHN dan Repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas), petunjuk arah pembangunan tidak ada lagi. Masing-masing pemerintah daerah, dalam otonomi daerah, bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing masing.

Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris Presiden dan wakil presiden.

Kemudian diubah menjadi suara rakyat menjadi Mandataris Presiden melalui Pemilu langsung. Kita sama-sama bisa lihat dan merasakan dimana seolah kita sudah kehilangan ruhnya sebagai sebuah bangsa.

Sudah bermetafora pada bangsa dengan sistem Liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa, tetapi harus diakui akhirnya telah terjadi pada masa kini yang telah hilang budaya guyub rukun, gotong royong, dan sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan yang ada adalah ekonomi dikuasai pemodal besar,.

Kkalau meminjam kata-kata dari Mark Twain "ketika orang kaya memeras orang miskin hal itu disebut bisnis, tetapi ketika orang miskin melawan ketidakadilan hal itu disebut kejahatan."

Menyangkut Pancasila sebagai Philosophische Grondslag sekaligus sebagai Weltanschauung, Prof Gde Pantja panggilan akrab beliau menambahkan:

Sepanjang dan selama rumusan sila-sila (Pancasila) tercantum dlm Alinea IV Pembukaan UUD 1945, - sementara Pembukaan UUD 1944 merupakan roh/jiwa, spirit, dan amanah yang menjiwai Batang Tubuh UUD 1945, maka ratio legisnya:

Pancasila adalah Dasar Negara, Philosofische Grondslaag (dasar falsafah bangsa), weltanchaung/pandangan hidup bangsa sekaligus Idiologi negara.

Terutama kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar (etika/moral) bagi penyelenggara negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan juga bagi segenap komponen bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta sebagai sumber dari segala sumber hukum (tertulis).

Oleh karenanya menjadi penting dan strategis kedudukan Pancasila dalam konteks kehidupan bersama kita sebagai bangsa yang majemuk dalam upaya merajut persatuan dan kesatuan yang bernafaskan nilai-nilai keagamaan, HAM, demokrasi, dan keadilan sehingga bangsa ini memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia.

Mengingat kedudukan Pancasila yang demikian penting dan strategisnya, maka menjadi sangat beralasan bila pendidikan Pancasila mulai diedukasikan kepada peserta didik sejak usia dini sampai ke level pendidikan tinggi (bagi generasi milineal/ generasi Z) melalui kurukulum pendidikan, yang berbeda dengan "Kewarganegaraan" yang diajarkan selama ini.

Kalau "Kewarganegaraan", substansinya lebih pada "civic education" yang menekankan pada Hak dan Kewajiban warga negara dalam tataran infra struktur dan supra struktur politik ; sedangkan mata pelajaran / mata kuliah Pancasila lebih kepada penanaman NILAI yang terkandung dalam Pancasila.

Terlebih lagi dalam menghadapi perkembangan global dengan pesatnya kemajuan IT (berikut dengan dampak yang ditimbulkannya) menjadi penting pula diberikan pemahaman kepada seluruh peserta didik bahwa Pancasila adalah juga merupakan Idiologi Terbuka sekaligus sebagai Filter /penyaring: mana nilai-nilai dari luar yang bisa diserap dan diadopsi dan mana pula yang diprioritaskan agar kepentingan bangsa, negara, dan rakyat terjaga dan terlindungi dari serbuan dampak buruk yang ditimbulkan dari dinamika global dan pesatnya kemajuan IT.

Harapan penulis Setelah 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil presidennya Gibran Raka bumingraka yang dalam pidato pelantikanya yang sangat berapi-api seperti halnya pidato orator bung Karno saat sidang BPUPKI dulu.

Semoga mempunyai komitmen untuk melakukan kebijakan politik membangun karakter anak bangsa sesuai karakteristik anak Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi situasi baik secara geopolitik dan Geo Strategis kawasan Asia Tenggara dan global/dunia yang telah terjadi peperangan di belahan dunia lain seperti serangan Iran ke Israel dan balasan Israel ke Iran.

Kemudian perang Rusia vs Ukraina, potensi meletusnya konflik pulau Taiwan dengan Tiongkok dan konflik Laut China Selatan yang telah diklaim Tiongkok sebagai wilayah tradisional mereka sejak zaman kerajaan dinasti China zaman dahulu.

Terbentuknya aliansi militer AUKUS yang memicu terjadinya perlombaan senjata di Indo Pasifik serta upaya didominasi oleh kekuatan negara-negara adidaya dengan doktrin-doktrin  mereka.

Kemudian adanya kemajuan tehnologi informatika yang sangat sulit dibendung masuknya pengaruh budaya dan doktrin asing baik melalui media sosial maupun media massa dan media elektronik kepada generasi muda bangsa yang seolah tidak lagi ada batas antarnegara.

Dunia dalam satu genggaman serta untuk tetap menjaga karakter anak bangsa agar tidak lagi kehilangan jati dirinya sebagai anak bangsa yang punya karakteristik sebuah bangsa dan budaya timur yang sejak dahulu kala telah dijiwai dengan jiwa Pancasila maka penulis berharap mata pelajaran dan mata kuliah Pancasila dikembalikan lagi sebagai mata kuliah dan mata pelajaran wajib pada semester awal pada pendidikan tinggi dan atau pada kelas awal pada pendidikan menengah.

Tujuannya agar generasi muda dapat mengenal dan memahami apa itu Pancasila dan asas-asas serta nilai-nilai dari sila-sila pada Pancasila sebagai Philasophisce Grondslag atau Weltanschauung dimana Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang tercermin dalam segala aktivitasnya dan menjadi pemersatu bagi ratusan suku dan banyak Ras di Indonesia.

Umtuk itu agar generasi muda tidak kehilangan jati dirinya sebagai orang dari bangsa Indonesia yang sebetulnya merupakan tugas dari BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) pada pemerintahan yang lalu.

Namun,  BPIP sendiri tidak mempunyai sebuah terobosan dalam konsep membangun karakter anak bangsa sesuai nilai-nilai ideologi Pancasila yang jauh dari harapan, kecuali hanya sebagai badan pelengkap sebuah kekuasaan, yang tidak jelas kiprahnya.


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler