jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan impor sesungguhnya lumrah saja dalam interaksi perdagangan antarnegara. Naturnya dalam teori ekonomi, kebijakan impor, khususnya impor pangan jika dilakukan dengan benar akan menyeimbangkan harga barang itu di dalam negeri, dan memenuhi pasokan di dalam negeri yang mengalami kelangkan. Namun dalam banyak hal, kebijakan impor untuk menyeimbangkan supply and demand, berubah menjadi ruang berburu rente, permainan kartel dan perselisihan internasional.
Dalam prinsip perdagangan bebas (free trade), kuota impor dianggap sebagai kebijakan haram. World Trade Organization (WTO) menganggap kuota impor sebagai kebijakan proteksionis terhadap barang barang di dalam negeri, dan dianggap diskirimasi terhadap barang barang negara lain. Sebab terkait kualifikasi, jumlah, dan kebijakan pendukungnya tidak mengacu pada standar perdagangan internasional, akan tetapi keputusan sepihak pejabat negara pengimpor.
BACA JUGA: Hati-Hati Membeli Barang Impor Lewat Online, Ada yang Bisa Susupkan Narkoba
Akibatnya, sistem kuota impor sering kali menjadi perselisihan di WTO dari banyak negara. Indonesia diadukan WTO oleh Amerika Serikat terkait kuota impor dagiing, jauh sebelum perang dagang China dan Amerika Serikat, Amerika Serikat mengadukan China ke WTO terkait penentuan tarif komoditas Amerika Serikat yang masuk ke China, dan masih banyak lagi perselisihan terkait kebijakan impor di meja WTO.
Kita sering mendengar berbagai kasus hukum yang muncul akibat kuota impor barang. Hal ini sering terjadi karena biasanya kebijakan impor barang, khususnya pangan, terjadi selisih harga yang cukup tinggi antara di dalam negeri dan luar negeri. Harga di luar negeri lebih murah daripada harga di dalam negeri. Selisih harga yang tinggi memungkinkan para importir memberi fee yang besar kepada para pejabat sindikatif pemberi otoritas. Motifnya agar klan atau jaringan mereka yang dimenangkan sebagai importir pada proses lelang. Hal inilah yang kerapkali terjadi dalam kebijakan impor pangan kita.
BACA JUGA: Bea Cukai Batam Sosialisasi Aturan Baru Mengenai Impor Barang Kiriman
Jadi sesungguhnya kebijakan impor dengan sistem kuota tidak sebenar-benarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri, akan tetapi lebih ditujukan untuk berburu rente para pejabat. Alasan untuk memenuhi pasokan dalam negeri sering kali cuma dijadikan alat pembenar. Kita sering membaca dan melihat perselisihan di media massa antara bulog, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan terhadap kebijakan impor pangan.
Kebijakan impor dalam beberapa kasus juga bagian dari dampak permainan para kartel, saking besarnya peran mereka dalam penentuan di pasar, bahkan pemerintah pun dibuat kalah sehingga pemerintah harus terpaksa impor pangan tertentu. Modus yang sering kali terjadi para kartel menghentikan sementara pasokan (supply) dengan cara menimbun. Akibatnya terjadi kelangkaan barang dan harga di pasar tinggi. Alhasil, pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan harga, sementara cadangan pangan milik pemerintah yang ada di bulog tidak memadai. Konseuensinya pemerintah harus membuka kran impor, yang dalam prosesnya juga tidak bisa lepas dari campur tangan kartel.
BACA JUGA: Said Abdullah Nilai Ada Moral Hazard Secara Sistematis di Jiwasraya
Hemat saya pemerintah harus membenahi beberapa hal agar kebijakan impor barang, khususnya pangan kedepan lebih baik. Agar ke depan tidak menimbulkan perselisihan di WTO, tidak korup, dan yang lebih penting lagi menjadi daya topang tumbuh kembang perekonomian dalam negeri secara berkelanjutan.
Beberapa langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah antara lain, pertama: membenahi Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Sejak tahun 2012 sebenarnya kita sudah punya blueprint Sislognas melalui Keputusan Presiden Nomor 26/2012 tanggal 5 Maret 2012. Namun upaya ini tidak maksimal terealisasi karena rendahnya komitmen banyak pihak.
Padahal dengan adanya Sislognas kita dapat mendapatkan data terpadu (dashboard) nasional atas pelaku produsen, distributor, supply chain setiap dan antar wilayah, dan berbagai fitur informasi lain yang diperlukan. Dengan basis data yang memadai, transparan dan aksesibel, semua pihak mendapatkan perlakukan yang fair, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan, dan kebijakan pemerintah terukur serta akurat. Dengan sislognas publik dapat menilai apakah impor terhadap barang tertentu sebagai kebutuhan atau tidak, termasuk mekanisme impor, pelaku impor dan seterusnya akan mudah diawasi.
Kedua, pemerintah perlu mengubah skema impor kuota menjadi impor tarif. Dengan model pengenaan tarif, negara lebih banyak untungnya. Kebijakan tarif tidak memungkinkan adanya selisih harga yang tinggi antara negara asal impor dan dalam negeri, sehingga meminimalisir praktik suap. Para pelaku impor juga lebih terbuka, karena memungkinkan banyak pihak jadi importir, sebab asal bisa memenuhi pembayaran tarif, dan keekonomian barang didalam negeri masih memungkinkan.
Kebijakan tarif impor secara internasional juga meminimalisir perselisihan di meja WTO asal pengenaan kebijakan tarif transparan dan mengacu pada ketentuan Undang Undang No 7 tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan WTO, di mana Indoensia adalah anggota WTO. Konsekuensinya, Indonesia terikat dengan kesepakatan kesepakatan dalam WTO. Komitmen Indonesia di WTO termuat di dalam Schedule Commitments on Market Access on Goods – Schedule XXI yang terdiri dari 4 (empat) bagian yakni tariff most favored nations, tariff preferensi, konsesi non-tarif, dan komitmen khusus subsidi di sektor pertanian.
Ketiga, memberi insentif kepada pelaku pelaku perdagangan, khususnya komoditi pangan, agar para pelaku perdagangan skala besar pemainnya lebih banyak. Dengan pelaku perdagangan skala besar lebih banyak samakin menyulitkan jaringan kartel menguasai pasar. Insentif fiskal dan moneter juga dapat dilakukan oleh pemerintah terhadap bahan baku industri dan non industri, agar hasil hasil industri kita jauh lebih kompetitif di pasar internasional, serta menumbuhkan pelaku pelaku industri baru, kondisinya ini lebih menjamin kelangsungan supply chain dalam pasar domsetik.
Keempat, pemerintah harus tegas dalam penegakkan hukum, khususnya yang menyangkut pemberantasan praktik kartel dan rente. Karena betatapun iklim perdagangan bagus, tidak serta merta paraktik rente dan kartel terselubung tidak terjadi. Oleh karenanya penegakkan hukum memberantas mafia impor menjadi keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich