"Tampak sekali sudah benar-benar sesat dalam logika berpikir," kata Dewi Aryani Sabtu (31/3) dini hari, di Jakarta.
Ia mengatakan, dua opsi yang ditawarkan soal usul kenaikan BBM bukan saja cara tidak elegan mengelabui masyarakat. Tapi, lanjut Dewi, juga mengabaikan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) atas judicial review UU Migas yang menyatakan bahwa tidak dibenarkan menyerahkan harga eceran BBM bersubsidi berdasarkan harga pasar (ICP). "Dan ini menunjukkan betapa tidak lagi sensitifnya wakil rakyat terhadap tuntutan masyarakat yang sangat besar," sesalnya.
Dewi Aryani juga mengatakan bahwa gelombang tuntutan masyarakat dalam demonstrasi ini bukan hanya akan semakin besar. "Tetapi akan menyebabkan public distrust yang luar biasa terhadap keberadaan pemerintahan. Masyarakat dipertontonkan pada mentalitas dan perilaku pencari rente politisi dan partai politik sebagai anggota DPR, khususnya partai politik yang mengambang dalam sikap terhadap usul kenaikan BBM," kata Dewi.
Menurutnya, kepentingan rakyat terkubur oleh politik pencitraan yang dipertontonkan oleh partai politik dan politisi anggota DPR yang mendukung dan mengambang dalam usul kenaikan BBM.
"Kenaikan harga BBM jelas menjadi suatu kesimpulan akhir yang dikemas dalam balutan penambahan pasal yang prosesnya tidak menganut kepatutan, bahkan masuk kategori pelanggaran konstitusi," ungkap dia.
"Satu-satunya cara yang tepat secara konstitusi supaya harga BBM "tidak naik" adalah hanya dengan mempertahankan UU APBN tahun 2012 pasal 7 ayat 6 tanpa penambahan ayat 6a. Penambahan ayat 6a hanya menjadi dalih untuk menaikkan harga BBM kapan saja," kata Dewi.
Dia menilai, kebijakan menaikkan BBM adalah cara mudah dan tidak mau sulit dari pemerintah. Kesesatan berpikir anggota dewan terhadap tujuan bernegara dibangun oleh angka-angka harga minyak dunia dan jebolnya anggaran negara.
"Sebuah pemerintahan adalah ibarat sebuah rumah tangga. Jika mandat konstitusi adalah penguasaan negara terhadap bumi, air dan segala kekayaan terkandung di dalammnya, jika mandat konstitusi adalah memajukan kesejahteraan umum, jika mandat konstitusi adalah segala warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, maka jelas kebijakan pemerintah tidaklah boleh semata-mata pada angka-angka kenaikan harga minyak dan jebolnya anggaran negara," paparnya.
Beberapa waktu yang lalu bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyebutkan ada dugaan korupsi dalam penghitungan subsidi BBM pada postur RAPBNP 2012. Metode penghitungan yang digunakan bahkan sama dengan yang digunakan oleh Pertamina, BP Migas dan Kementrian ESDM. "Pemerintah memang tidak menginginkan transparansi. Ada indikasi pemerintah menutupi kebolongan sekaligus menutupi suatu kepentingan tertentu," ujarnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah harus berdasar pada nilai publik (public value) untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara.
Apakah pemerintah sudah mengajukan pertanyaan berapa potensi sumber daya alam, sumber daya pajak dan berbegai sumber penerimaan negara yang hilang sebagai penerimaan negara.
Apakah pemerintah sudah mengajukan pertanyaan betapa tidak efisiennya pengelolaan keuangan negara yang menyebabkan hilangnya uang negara bukan untuk tujuan negara. "Menaikkan BBM dengan alasan akan menyebabkan jebolnya anggaran negara adalah cara malas sebuah pemerintahan mengatasi persoalan yang dihadapi dalam rangka meningkatkan kesejehteraan rakyatnya," katanya.
Setiap krisis, kata dia, adalah momentum untuk memperbaiki kualitas pengelolaan keuangan negara.
Bahkan, menurutnya, Presiden AS Barrack Obama sekalipun empat bulan lalu telah menerapkan prinsip efisinsi pengelolaan keuangan negara untuk mengatasi berbagai krisis keuangan yang terjadi melalui pemotongan fasilitas dinas, biaya rapat dan pengeluaran lain-lain yang tidak penting.
"Logical Fallacies dan Rent Seeking Mentality pemerintah dan anggota dewan bukan saja melanggar etika berpolitik dan bernegara, tetapi akan berbuntut panjang pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap keberadaan negara dan pemerintahan," jelasnya.
Hal ini, kata Dewi, akan mengarah pada revolusi sosial, suatu kondisi yang terjadi apabila tersedia tiga syarat utama: yaitu musuh bersama, momentum yang tidak menguntungkan rakyat serta adanya pemimpin yang menggerakkan revolusi tersebut.
"Tampaknya hanya dibutuhkan syarat ketiga, yaitu kepemimpinan yang dapat menggerakkan masyarakat untuk secara inkonstitusional melakukan perlawanan," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nyelonong ke Rapat Paripurna, Pria Misterius Ditangkap
Redaktur : Tim Redaksi