jpnn.com, SUDAN SELATAN - Ratusan perempuan yang sebagian besar ibu-ibu memadati ruas jalan utama Kota Juba, Sudan Selatan, Sabtu (9/12). Mereka berunjuk rasa tanpa kata-kata.
Mulut mereka ditutup plester. Yang berbicara hanya sorot mata serta tulisan-tulisan di papan dan spanduk yang mereka usung.
BACA JUGA: Kisah Negara Milenial: Merdeka Tak Hilangkan Derita
Kendati tanpa suara, pesan yang mereka sampaikan sangat jelas. ”Stop the war (hentikan perang, Red)!” Dua kata itu mendominasi papan dan spanduk yang mereka bawa dalam aksi protes tersebut.
Lima tahun terjebak dalam perang sipil membuat perempuan-perempuan itu muak. Hidup mereka berubah. Demikian juga kehidupan anak-anak mereka, generasi muda Sudan Selatan.
”Kami sudah lelah dan muak dengan semua ini. Kami ingin memastikan pemerintah tahu bahwa sekaranglah kesempatan terakhir mereka untuk mengembalikan perdamaian ke negara ini,” kata salah seorang pengunjuk rasa.
Dia terpaksa melepas sebentar plester yang menutup mulutnya untuk berbicara dengan Hiba Morgan, reporter Al Jazeera. Tidak hanya lelah dan muak, perempuan itu juga mengaku sangat menderita.
Pertumpahan darah di Sudan Selatan berlangsung sejak 2013. Semuanya bermula dari tuduhan Presiden Salva Kiir terhadap wakilnya, Riek Machar.
Kiir menuding Machar merencanakan pembunuhan terhadapnya. Perang pun pecah antara suku Dinka yang membela Kiir dan suku Nuer yang pro-Machar. Konflik dua suku bangsa terbesar Sudan Selatan itu berlarut dan memantik perang saudara.
Selain menimbulkan banyak kerugian materiil, perang saudara itu menyebabkan puluhan bahkan ratusan perempuan menjadi korban. Mereka diperkosa dan dibunuh.
Ironisnya, dunia hanya berpangku tangan. Tidak ada bantuan yang datang. ”Kami tidak mau begini terus. Kami ingin anak-anak kami kembali ke sekolah. Mereka seharusnya belajar, bukan angkat senjata,” kata sumber Al Jazeera itu. (hep/c11/any)
Redaktur & Reporter : Adil