Robert Hatfield menawarkan diri kepada ilmuwan untuk menularkan COVID-19 kepadanya demi membantu penelitian dunia, tapi ia belum memberitahu keluarganya.
"Mereka tidak tahu. [Tapi] menurut saya mereka akan bangga," ujarnya.
BACA JUGA: Doni Monardo Membantah Pernyataan Gatot Nurmantyo, Detail Banget
Pembuat coklat asal London Utara ini telah mendaftarkan diri dalam "studi tantangan" yang dengan sengaja menularkan virus kepada peserta untuk mengetahui kekuatan virus tersebut sekaligus mengetes vaksin.
Menurutnya, upaya ilmiah tersebut "cukup menakutkan", namun mengatakan ingin terlibat.
BACA JUGA: 10 Kelurahan Kasus Positif COVID-19 Tertinggi di Jakarta
"Ini adalah kekhawatiran nomor satu di benak setiap manusia," kata Robert.
"Kalau saya merasa bisa melakukan sesuatu, dan bisa menolong, maka saya dengan senang hati mau melakukannya."
BACA JUGA: Cara Nokia Perangi COVID-19
Bagaimana caranya peserta akan 'ditularkan' COVID?Peserta berusia 18 sampai 30 tahun yang dalam kondisi prima telah direkrut oleh tim peneliti dari Imperial College London.
Bila memenuhi kriteria kesehatan dan kecocokan, mereka akan menginap di klinik selama dua minggu di bulan Januari, sehingga kondisinya dapat diamati dengan seksama.
Peter Openshaw, profesor Pengobatan Eksperimental di Imperial College, mengatakan cara pemindahan virusnya sangatlah sederhana.
"Virusnya akan diberikan dalam bentuk tetes hidung," katanya.
"Kami akan terus memantau 'viral load' [muatan virus], hampir setiap jam, dan melihat kapan kami dapat mendeteksi virus yang meriplikasi diri dalam hidung." Photo: Sukarelawan yang bersedia akan ditularkan virus corona dalam penelitian yang akan dilakukan Januari tahun depan. (Reuters: Athit Perawongmetha)
Profesor Peter mengatakan penelitian ini akan membantu menemukan vaksin COVID-19.
Selain itu, penelitian tersebut juga akan membantu menguji obat anti virus yang diberikan kepada pasien di tahap awal perawatan.
Dengan secara sengaja menularkan virus kepada relawan, ilmuwan tidak perlu menunggu seseorang 'tertular virus' di komunitas, sehingga mempercepat proses penelitian.
"[Penelitian ini] sangatlah signifikan. Ini akan jadi percobaan pertama sejenisnya di dunia," kata Profesor Peter.
"Banyak pihak lain yang sudah berdiskusi untuk melakukan penelitian ini namun menurut saya dukungan masyarakat untuk penelitian ini sangatlah kuat di Inggris." Apakah berisiko?
Robert Hatfield mengaku paham apa yang mungkin terjadi jika ia terpilih menjadi salah satu peserta percobaan.
"COVID bukan flu. Penyakit ini lebih intensif, lebih rumit," katanya.
"Saya tahu suhu badan akan meningkat, tenggorokan sakit, dan mungkin seluruh tubuh akan nyeri."
Tapi, ia mengatakan tidak akan terkena penyakit "yang mengancam jiwa" dari percobaan ini.
"Ini mungkin adalah cara terbaik tertular virus karena kami akan diamati setiap waktu," katanya.
"Kami tidak akan menularkannya pada siapapun, selain itu juga diawasi oleh pihak yang kompeten."
Profesor Peter mengatakan sukarelawan hanya akan diberikan virus dalam dosis rendah untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan.
"Tujuan akhir penelitian ini bukanlah agar [sukarelawan] demam tinggi atau hipoksia, dan sebagainya," katanya.
"Kami berharap hal ini tidak terjadi karena kami berhati-hati dan menmberikan dosis rendah." Bagaimana dengan dampak jangka panjang?
Dampak jangka panjang penularan COVID-19 masih tidak jelas.
Walau kebanyakan pasien cepat pulih keadaannya, banyak juga yang melaporkan gejalanya bertahan selama berbulan-bulan.
Penelitian ini masih membutuhkan persetujuan resmi sebelum dapat dimulai Januari mendatang, namun Pemerintah Inggris telah berjanji untuk menggelontorkan dana sebesar $60 juta pound sterling.
Julian Savulescu, ahli filsafat dan bioetika di Oxford University, mengatakan sebuah pertanyaan terkait etika perlu dipertimbangkan.
"Studi tantangan pada umumnya berisiko karena mereka menularkan virus ke orang lain," katanya kepada ABC. Photo: Akademisi di Inggris mengatakan sebagaimana sehatnya sukarelawan, tetap ada risiko kematian dalam penelitian ini. (Reuters)
"Dalam hal ini, tidak ada obat yang sempurna. Masih ada risiko dan bisa saja ada yang meninggal."
Namun, menurutnya, sukarelawan yang sehat dapat mempertimbangkan sendiri risiko yang ada.
Selain itu, menolak sukarelawan yang bersedia juga dinilai tidak etis.
"Ada orang yang mau memberikan ginjal mereka ke orang asing dan ada juga yang mau mengorbankan nyawa untuk negara mereka," ucap Profesor Julian.
"Menurut saya masuk akal saja membiarkan orang untuk bersikap altruistik, terutama bila pengorbanan mereka dapat menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa di waktu mendatang."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari artikel ABC dalam bahasa Inggris di sini.
Ikuti berita seputar pandemi Australia dan dunia di ABC Indonesia.
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Doni Monardo Menyampaikan Kabar Gembira, Sangat Luar Biasa