jpnn.com - DI balik sosok penguasa yang hebat, baik itu organisasi masyarakat, organisasi politik hingga sebuah negara, kebanyakan ada perempuan kuat di belakangnya.
Perempuan yang mempunyai karakter dengan pola pikir luas dan cerdik sebagai dinamisator dan stabilisator bagi suaminya yang mendukung kejayaan sang penguasa sebagai pemimpin yang dihormati.
BACA JUGA: Kandas di Perempat Final Indonesia Open 2023, Rinov/Pitha Merasa Kalah Terhormat
Jika menengok ke belakang, sejarah bangsa ini pernah mencapai kejayaan masa lalu melalui Siklus Cakra Manggilingan, yaitu puncak kejayaan Kerajaan Majapahit yang pernah menyatukan Nusantara atau Wilayah Asia Tenggara dalam satu naungan negara federasi.
Dan, di balik kejayaan itu ada sosok perempuan yang sangat luar biasa sebagai seorang wanita yang mempunyai karakter yang kuat, cerdik, dan bijaksana yang memang dilahirkan sebagai Ibu Bangsa bagi Majapahit saat itu, yaitu Gayatri Rajapatni.
BACA JUGA: Putri Zulkifli Hasan Dukung Perempuan Korban Toxic Relationship Lewat Lagu
Siklus Cakra Manggilingan sendiri adalah perputaran dalam siklus masa kejayaan dalam kehidupan. Baik bagi perseorangan maupun bagi Sebuah Bangsa.
Indonesia di masa reformasi sekarang ini memerlukan sosok wanita yang bijaksana, lembut dan karakter kuat yang bisa membawa kejayaan bangsa.
BACA JUGA: 340 Juta Perempuan Hidup dalam Kemiskinan, Kesetaraan Gender Masih Jauh dari Kenyataan
Dari belakang layar, ia diharapkan bisa bertindak sebagai pengayom, dinamisator dan stabilisator politik untuk seluruh rakyat. Sebab, sesungguhnya suara rakyat adalah suara tertinggi dalam kaidah sebuah bangsa.
Gayatri Rajapatni, sepeninggal Raden Wijaya Kertarajasa atau Sang Ramawijaya yang merupakan Pendiri Majapahit lebih memilih menjadi biksuni (pendeta ) walaupun tetap sebagai Ratu/Rajapadni.
Gayatri adalah istri ke empat dari Sang Raja yang dari belakang layar melakukan operasi senyap untuk mengakhiri kekuasaan Jayanegara yang tidak becus mengurus kerajaan. Ia bekerja sama dengan bekel Gajahmada.
Sepeninggal Raden Wijaya Kertarajasa, singgasana kerajaan kemudian jatuh pada anak laki laki dari Raden Wijaya dengan Indreswari yaitu Jayanegara.
Indreswari atau Dara Petak adalah istri Raden Wijaya dari Kerajaan Dharmasraya di Sumatera Barat.
Raden Wijaya bertemu Indreswari saat melakukan ekpedisi PaMalayu bersama Panglima Angkatan Laut Singosari Adityawarman.
Dalam ekspedisi dan pertemuannya saat itu, Raden Wijaya memboyong dua gadis yang bergelar Dara Petak dan Dara Jingga.
Sampai di sini sangat jelas bahwa Jayanegara atau Kalgemet bukan anak dari Raden Wijaya Kertarajasa dengan Gayatri Rajapatni.
Anak Ratu Gayatri sendiri adalah dua perempuan cantik, Tribhuwana Tunggadewi dan Rajadewi Maharajasa.
Dengan kekosongan tahta Majapahit sepeninggal Raden Wijaya, maka sesuai aturan kerajaan yang harus menggantikan adalah anak laki laki dan itu tertuju Jayawijaya atau Kagelmet.
Dalam perjalanannya, pada saat Jayawijaya memerintah terjadi pemberontakan dari dalam karena Jayawijaya dianggap kurang bijaksana dan suka melakukan pesta dengan perempuan.
Kerajaan menjadi tidak terurus, ditambah Jayawijaya paranoid dan selalu curiga terhadap Ratu Gayatri Rajapatni dan kedua putrinya. Mereka dianggap batu sandungan dan membahayakan tahtanya.
Gayatri Rajapatni sendiri saat itu sudah menjadi Biksuni atau pendeta dalam Agama Buddha.
Utamanya sejak Raden Wijaya Kertarajasa meninggal dunia. Sementara kedua putrinya yaitu Tribhuwana Tunggadewi dan Rajadewi Maharajasa diberi kuasa atas Keraton Kahuripan dan Keraton Daha.
Setelah dapat menumpas pemberontakan saat pemerintahan Jayawijaya, Bekel Gajah Mada diangkat Jayawijaya menjadi Patih di Keraton Kahuripan dan Keraton Daha.
Penunjukan dan penempatan di dua keraton itu dengan maksud tersembunyi, mengawasi Putri Tribhuwana Tunggadewi dan Rajadewi Maharajasa.
Namun, konon sebelum itu terjadi, Gayatri Rajapatni sudah menjalin kedekatan dengan Bekel Gajah Mada dan menggalang serta membentuk pasukan Berkuda Bhayangkara. Pasukan ini dibentuk untuk melindungi kedua putrinya secara politik.
Raja Jayanegara semakin tidak menunjukan sifat kenegarawanan dan kewibawaannya sebagai Raja Majapahit.
Hal itu ditunjukkan dengan menghalangi kedua putri Gayatri Rajapatni untuk menikah. Dari Kitab Negara Kertagama dan Pararaton, diketahui jika pada akhirnya operasi senyap dilakukan oleh Gayatri Rajapadmi bekerjasama dengan Patih Gajahmada.
Operasi itu dilakukan saat Raja Jayanegara sakit. Kemudian diutuslah tabib kerajaan yang bernama Ra Tanca untuk meracun Raja Muda yang akhirnya wafat.
Atas peristiwa tersebut, Patih Gajahmada melakukan penyelidikan dan Tabib Ra Tanca dikorbankan.
Ia dihukum tikam dengan keris Patih Gajahmada untuk mengakhiri tragedi tersebut secara hukum dan politik yang dianggap sebagai pengkhianat dan harus dihukum mati.
Sepeninggal Raja Jayanegara, berdasarkan keturunan raja yang berhak naik tahta adalah Tribhuwana Tunggadewi, anak tertua dari Gayatri Rajapadni.
Dalam kepemimpinan Tribhuwana Tunggadewi ini pernah terjadi pemberontakan Ra Kuti dan Sadeng, tapi bisa ditumpas Gajahmada dengan pasukan khusus berkuda yang bernama Pasukan Bhayangkara.
Sebagaimana istilah dalam politik, bahwa dalam kekuasaan di mana pun berada maka trik dan intrik selalu menyertai.
Tiada kawan dan lawan yang abadi yang ada adalah kepentingan politik. Hal itu pula yang menggambarkan bagaimana sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit.
Dalam sejarahnya, pemerintahan Tribuwana Tunggadewi di kemudian hari mengantarkan Hayam Wuruk menjadi raja terbesar Majapahit yang menyatukan Nusantara melalui Mahapatih Gajahmada dalam Sumpah Amukti Palapa.
Gayatri Rajapatni Tunggadewi memegang teguh visi Persatuan Nusantara yang sebenarnya sudah dicetuskan dan dicanangkan ayahandanya Prabu Raja Kertanegara, Raja Singosari.
Gayatri sadar betul posisinya sebagai ratu bukan hanya berpangku tangan mendampingi sang suami Raden Wijaya Kertarajasa.
Ia berperan aktif dibalik layar memberikan masukan dan semangat sebagai dinamisator dan stabilisator bagi jalannya kerajaan.
Gayatri juga memegang teguh beberapa prinsip hidup yang sangat mulia.
Salah satunya adalah menang tanpa ngasorake atau menang tanpa menjatuhkan harga diri lawan.
Bagaimana memerintah tanpa sadar bahwa yang diperintah merasa bahwa harus mengambil tindakan bahwa masukan dari Gayatri adalah sebagai kewajiban.
Karakter lemah lembut tapi tegas dan berwibawa yang mencerminkan kekuatan wanita Jawa.
Gayatri Rajapatni merupakan sosok paling penting pada awal awal berdirinya Kerajaan Majapahit.
Gayatri menjadi jembatan meneruskan cita-cita ayahnya Prabu Kertanegara untuk penyatuan Nusantara di bawah Panji-Panji Majapahit.
Ia memosisikan turut serta pengambilan keputusan-keputusan penting soal politik. Di antaranya adalah keputusan kerajaan dalam penumpasan Adipati Tuban Ronggo Lawe yang dinilai oleh Gayatri Rajapatni tidak punya akar kuat di masyarakat saat menduduki Adipati.
Walaupun begitu Gayatri tetap memposisikan Prabu Raden Wijaya Kertarajasa sebagai pihak yang paling harus dihormati dan dijunjung martabatnya sebagai seorang raja.
Di sinilah karena karakter dan kekuatan Gayatri Rajapatni Tunggadewi. Karena itu dia mendapat tempat khusus dihati Raja Majapahit pertama, bukan hanya seorang istri tapi juga seorang partners dan penasehat pribadi dalam pengambilan keputusan penting.
Gayatri adalah wanita dibalik kejayaan Majapahit. Ia adalah guru dan mentor serta sebagai sahabat dari Mahapatih Gajahmada saat masih berpangkat komandan regu dalam pasukan Kerajaan Majapahit (Bekel).
Hingga Gajahmada melakukan penyatuan Nusantara dalam Sumpah Amukti Palapa untuk menyatukan negara negara tetangga dibawah satu Federasi dalam naungan Panji Panji Majapahit .
Penyatuan Nusantara yang sebetulnya merupakan cita-cita dan visi awal dari Sri Maha Raja Kertanegara Singosari dan mendiang suaminya Sri Maharaja Wijaya Kertarajasa pendiri Majapahit.
Gayatri adalah wanita terhormat, cerdas, bijaksana, berpendirian teguh, yang dicintai keluarga dan rakyatnya.
Semoga bermanfaat dan jangan sekali kali meninggalkan sejarah bangsa.(***)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari