Mengenang Detik-detik Pesawat Merpati Terhempas, Braaak!

Jumat, 09 Maret 2018 – 00:55 WIB
Korban kecelakaan pesawat Merpati tahun 1991 foto di lokasi kecelakaan, di pegunungan Tihengo, Gorontalo, sambil menunggu proses evakuasi. Foto: dok.pribadi/repro Gorontalo Post

jpnn.com - Hari itu, Rabu 30 Januari 1991. Cuaca Kota Manado sangat cerah, termasuk di kawasan Bandara Sam Ratulangi. Tidak ada tanda-tanda cuaca buruk.

Jadwal penerbangan sesuai dengan scedule. Di approne bandara, pesawat Casa 212 seri 200 dengan nomor register PK-NYC, milik maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines (MNA), sudah siap menerbangkan penumpang. Tujuanya ke Gorontalo.

BACA JUGA: Heboh Penemuan Bangkai Pesawat Merpati

Jelang pukul 14.00 wita, 18 orang penumpang Merpati sudah dipersilahkan menuju pesawat perbadan putih itu. Tidak lama lagi, lepas landas.

"La Ode (La Ode Haimudin, wakil ketua Deprov Gorontalo saat ini) sangat beruntung. Dia tidak ikut naik pesawat, hanya mengantarkan saya di bandara. Padahal masih satu sheat yang kosong,"kenang Erwin Giasi kepada Gorontalo Post (Jawa Pos Group), Rabu (7/3).

Erwin merupakan salah satu penumpang pesawat berbaling-baling ganda itu. Peristiwa 27 tahun silam itu, masih terekam baik diingatanya.

Tepat pukul 14.20 wita, pesawat dengan awak masing-masing Yus Pagau (Pilot), Andi Pulgandi (co Pilot), dan Petrus Untung Abadi (teknisi) lepas landas dari bandara Sam Ratulangi, Manado.

Waktu jelajah sudah diperkirakan 55 menit. Pesawat harus mendarat di Bandara Djalaludin Gorontalo pukul 15.15 wita.

Di dalam pesawat, para penumpang kebagian snack, sebuah roti dan air mineral yang merupakan layanan maskapai. 30 menit mengudara, pilot sudah mengabarkan jika Casa 212 akan mendarat pukul 15.12 wita, 3 menit lebih cepat.

Tak lama berselang, Pilot melakukan kontak dengan menara bandara dan meminta izin untuk menurunkan ketinggian dari 8000 kaki. Kontak dengan menara itu, menjadi kotak terakhir antara pesawat dan mendara bandara.

Lama ditunggu, pihak menara tak mendapat kabar dari pilot. Hingga waktu 90 menit atau sudah lebih 1 jam dari jadwal mendarat, kontak pesawat dengan menara tak lagi ada.

Saat itu juga Casa 212 PK-NYC dengan nomor penerbangan MZ-7970 dinyatakan dalam keadaan bahaya (detresfa) dan hilang. "Tiba-tiba pesawat terhempas, masuk kabut yang sangat tebal,"ujar Erwin.

Pesawat mulai tidak stabil, sering terjadi goncangan-goncangan. Pilot, kata dia memerintahkan seluruh penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman. Brruukkkk....! Goncangan hebat terjadi.

Bahkan saking kencangnya goncangan, satu penumpang sabuk pengamanya putus. "Kami tidak tahu apa yang terjadi,"ujar dia.

Pesawat tidak lagi bergerak. Mesin pesawat tiba-tiba mati. Dari balik jendela, hanya kabut yang terlihat. Seluruh penumpang terdiam.

Pilot lalu memberitahukan jika mereka baru saja mengalami kecelakaan. Seketika seisi pesawat panik.

"Ternyata kita sudah ada di atas pohon. Di tengah hutan. Pesawatnya menabrak pohon,"kenang Erwin.

Saat itu tidak ada yang bisa dilakukan selain mengecek apakah ada yang terluka atau tidak. "Hanya lecet kecil-kecil, tidak ada yang parah. Semua tetap duduk di tempat masing-masing,"kata Erwin.

Suasana hening. Tidak ada yang berani keluar kabin. Cuaca berubah drastis. Sesaat kemudian hujan lebat. Mereka bertahan di dalam kabin pesawat.

"Pesawatnya tertancap di dua pohon, tidak bergerak lagi. Kami bertahan di dalam (kabin),"ujar Erwin.

Tapi mereka mulai kehabisan oksigen. "Hidung saya tempelkan di kaca (jendela), ada sedikit udara dari luar yang masuk. Dan dari situ kami bernapas,"ungkap Erwin.

Kondisi itu membuat mereka harus segera keluar pesawat. Mereka keluar melalui pintu depan dan turun melalui ranting pohon yang menancap di pesawat, menuju lokasi yang sedikit landai.

Menjelang malam, mereka kembali ke kabin. Begitu seterusnya hingga hari keenam mereka berhasil dievakuasi oleh tim SAR menggunakan helikopter.

Selama hampir sepekan di tengah hutan, mereka tidak makan sama sekali. Bekal roti dan air mineral pemberian maskapai, hanya sekali makan.

Setelah itu tidak ada lagi bahan makanan. Mereka dipaksa tetap bertahan di tengah hutan belantara.

"Hanya suara burung dan air terjun yang kami dengar. Selain itu tidak ada. Cuacanya sangat dingin. Setiap hari hujan dan kabut,"cerita Erwin.

Beberapa dari mereka, mengambil botol air mineral dan diisi dengan air rotan untuk minum. "Rasa manis. Tapi sedikit sekali airnya. Kita bertahan dengan itu. Tidak ada makanan,"kata Erwin.

Untuk menggambarkan kondisi para penumpang ketika itu, Erwin mencontohkan tayangan film Ratapan Anak Tiri.

"Sama seperti itu kondisi kami. Tersiksa, lemas," kata Erwin. Dengan kondisi itu, mereka pasrah dan iklhas jika memang harus mati di tengah hutan.

Baik penumpang maun crew pesawat sudah memutuskan tidak ada yang berpisah. Sebab, pengalaman sebelumnya kecelakaan pesawat di kawasan Tinombala, Sulteng, para penumpang tidak ditemukan karena mereka berpisah dan meninggalkan lokasi jatuhnya pesawat.

"Kami sudah dengar kecelakaan itu. Makanya kami tetap bersama,"tandasnya. Sayang, salah satu penumpang Tomy Sako yang sudah berusia 70 tahun saat itu meninggal dunia.

Ia meninggal karena serangan asma dan kedinginan ketika di hutan. "Begitu ada evakasi, kami serasa hidup lagi. Ini celaka mujur. Kami sangat bersyukur,"ucap Erwin.

Sejak itu, Erwin tidak ingin lagi naik pesawat. Mantan Anggota DPRD Kota Gorontalo ini trauma berat.

"Dibayar pun saya tidak ingin naik pesawat. Nanti setelah anggota dewan, baru saya kembali berani. Tapi tetap tidak mau naik pesawat berbaling-baling,"ujarnya.

Kini peristiwa nahas pada 30 Januari 1991 itu terekam jelas diingatanya. Bukti fisik berupa foto dan kliping berita dari media nasional seperti Jawa Pos dan Kompas disimpanya rapi.

Dari pemberitaan media, ia baru tahu jika hutan tempat mereka jatuh di pesawat adalah kawasan pegunungan Tihengo, Kecamatan Atinggola, berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. (***)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler