jpnn.com - LUMAJANG - Sabtu (26/9) lalu, bukan hari yang baik buat Salim Kancil dan Tosan. Duet petani warga desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur itu menjadi korban penganiayaan. Salim bahkan tewas secara mengerikan. Sementara Tosan dalam keadaan kritis di rumah sakit.
Salim Kancil dan Tosan dikenal sebagai petani yang peduli lingkungannya. Mereka adalah bagian dari petani yang dari awal bersuara lantang menolak penambangan pasir di desa mereka. Mereka menilai penambangan telah mengakibatkan kerusakan dan mengancam produksi pertanian warga, khususnya di Selok Awar-awar.
BACA JUGA: Inilah Kalimat Sindiran dari Istana untuk Singapura
Sabtu pagi itu, Salim (46 tahun) dijemput oleh sekelompok orang, yang disebut di situs resmi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) adalah sejumlah preman. Salim dibawa paksa dari rumahnya ke kantor desa Selok Awar-Awar.
Dia dianiaya secara beramai-ramai dengan kedua tangan terikat. Kemudian disiksa dengan cara dipukul dengan batu dan benda keras lainnya. Setelah meninggal, mayatnya dibuang di tepi jalan dekat areal pemakaman.
BACA JUGA: Satgas SBJ Layani lebih dari 10 Ribu Pasien di Sulawesi dan Sekitarnya
Tosan bernasib sama, sedikit lebih beruntung karena masih bisa dirawat di rumah sakit. Tosan juga dianiaya, di dekat rumahnya. Dia sempat melakukan perlawanan tetapi akhirnya roboh juga oleh puluhan orang.
Penolakan atas kegiatan penambangan pasir ini sebenarnya sudah sejak lama mereka lakukan. Mulai dari melakukan aksi di DPRD, melakukan pengaduan ke pemerintah daerah dan pusat. Namun belum ada tanggapan sama sekali.
BACA JUGA: KRI Rumah Sakit TNI AL Ini Kembali di Pangkalan
Menurut KontraS, yang terjadi sebaliknya warga di desa Selok Awar-awar ini diintimidasi oleh kepala desa dan kroni– kroninya, karena menolak penambangan di desanya.
Kegiatan penambangan berawal di tahun 2014, ketika warga mendapat undangan dari kepala desa untuk sosialisasi mengenai pembuatan kawasan wisata tepi pantai obyek wisata Watu Pecak.
Namun hingga kini hasil sosialisasi tersebut belum pernah terealisasi. Yang terjadi justru maraknya pertambangan pasir di area tersebut. "Konsesi tambang pasir tersebut diduga atas nama PT. Indo Multi Mining dan lahan tersebut secara hukum merupakan hutan milik Perhutani," tulis KontraS.
Sampai hari ini penolakan terhadap tambang terus dilakukan oleh petani khususnya Desa Selok awar-awar. Petani merasa gerah karena sebagian lahannya dijadikan jalan perlintasan untuk truk pengangkut pasir. Rumah mereka pun banyak yang berkarat akibat terkena pasir pantai.
Tanggal 26 September 2015, Forum Petani Anti Tambang Desa Selo Awar-Awar mengajukan pemberitahuan untuk aksi unjuk rasa menolak tambang. Aksi belum dimulai tapi yang terjadi malah pembunuhan pejuang lingkungan yang menolak penambangan pasir yang merusak lingkungan dan lahan pertanian mereka.
"Kami dari organisasi masyarakat sipil menyampaikan duka yang mendalam sekaligus rasa keprihatinan atas terjadinya peristiwa ini. Bagi kami, peristiwa ini menambah deret panjang kejatahan tambang di Indonesia. Petani menjadi salah satu aktor yang kerap menjadi korban," tulis KontraS.
KontraS pun menuntut pemerintah pusat untuk segera mememrintahkan aparat penegak hukum termasuk kepolisian untuk segera mengusut secara tuntas pelaku pembunuhan dan penganiayaan, termasuk aktor yang membekingi kejahatan tersebut.
"Kami juga menuntut Kementrian LHK dan Pemerintah Daerah melakukan audit perizinan tambang yang diduga berada di lahan Perhutani. Kami menuntut peerinth melakukan audit lingkungan dan menghentikan segala kegiatan pertambangan pasir di Lumajang, serta melakukan upaya untuk melindungi hak-hak petani atas lahan produktif dan ruang kelola rakyat dari ancaman kegiatan pertambangan," pungkas KontraS. (adk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Garuda Bantah Telantarkan Penumpang Tujuan Pekanbaru di Medan
Redaktur : Tim Redaksi