Menghindari Pernikahan Dini Bisa Mencegah Stunting

Selasa, 27 September 2022 – 11:40 WIB
Pernikahan dini. Ilustrasi Foto: Dokumen JPNN.com

jpnn.com, PALANGKARAYA - Koordinator Bidang Kesehatan IKPMK Kominfo, Maroli J. Indarto mengatakan salah satu faktor dari mencegah stunting adalah menghindari perkawinan dini.

Menurut Maroli, hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena melihat fakta bahwa ada 1,2 juta anak Indonesia yang masih melakukan pernikahan dini.

BACA JUGA: Percepatan Penurunan Stunting, BKKBN-USAID Gandeng Tanoto 

Hal itu disampaikan Maroli dalam diseminasi informasi dan edukasi percepatan penurunan stunting bertajuk Kepoin Genbest: Cegah Stunting, Nikah Dini Bikin Overthinking, yang digelar pada Kamis (22/9), di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

“Kita berada pada peringkat 10 sebagai negara dengan perkawinan anak tertinggi,” ungkapnya.

BACA JUGA: Booth Crypto Dipadati Pengunjung We The Fest 2022

Mereka yang menikah lebih dini tidak hanya perlu kesiapan secara struktur badan untuk melahirkan anak, tetapi lebih dari itu kepada kesiapan emosional, yakni bagaimana menyikapi kehidupan rumah tangga, bagaimana mengasuh anak, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, pemerintah telah menetapkan bahwa usia pernikahan adalah minimal 19 tahun.

BACA JUGA: Srikandi Ganjar Jatim Bagikan Ratusan Bansos dan Vocer BBM untuk Masyarakat

Sementara usia ideal menikah untuk perempuan adalah 21 tahun, dan untuk laki-laki 25 tahun dengan pertimbangan dari aspek fisik dan non-fisik.

Oleh karena itu, Kementerian Kominfo terus fokus terhadap pencegahan prevalansi stunting.

Sementara, Sub Koordinator Hubungan Antarlembaga dan Lini-lini Lapangan BKKBN, Provinsi Kalimantan Tengah, Djuwiyanto, menjelaskan angka pernikahan dini di Kalimantan Tengah cenderung tinggi.

Djuwiyanto menjelaskan bahwa banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut.

Mulai dari faktor budaya, faktor sosial, faktor agama, hingga faktor ekonomi. Tetapi yang paling dominan saat ini adalah faktor pola asuh dan perkembangan teknologi informasi yang tidak sepenuhnya dicerna dengan baik oleh para remaja.

“Karena tidak semua orang tua mengajarkan anak ketika beranjak dewasa untuk menjaga pergaulan. Remaja-remaja ini mengakses media sosial tidak terbatas, ditambah lagi lingkungan pergaulan yang tidak konstruktif dan positif, sehingga kecenderungan nikah dininya menjadi lebih besar,” jelas Djuwiyanto.

Sementara itu, Dokter Spesialis Gizi Klinik, Raissa E. Djuanda, yang juga menjadi narasumber dalam kegiatan ini menjelaskan bahaya pernikahan dini dari sisi medis.

Diungkapkan Raissa, menikah memerlukan komitmen dan tanggung jawab, sementara umur yang masih dini akan sulit jika dibebani tanggung jawab yang begitu berat.

"Bahaya pernikahan dini bukan hanya secara kesehatan saja, tapi secara mental pun sebenarnya para remaja belum siap,” jelasnya.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler