Para bekas perantau Tiongkok ke Indonesia di Kampung Hua Qiao Xin Cun, Xiamen, mengobati kekangenan mereka pada Indonesia lewat lagu, makanan, atau tarian. Yang punya uang juga menyempatkan diri mengunjungi tanah kelahiran. Berikut laporan wartawan Jawa Pos RUKIN FIRDA yang baru kembali dari sana.
= = = = = = = = = = = =
LAGU Cucak Rowo pernah menjadi hit di kalangan peminat musik di Indonesia. Namun, mendengar lagu tersebut berkumandang di sebuah kampung di Tiongkok tentu mengejutkan. Apalagi, kampung tersebut dihuni banyak warga lansia. Sementara itu, lagu yang liriknya agak saru tersebut tergolong baru dan populer pada awal 2000-an.
Kampung tersebut bernama Hua Qiao Xin Cun. Terjemahan bebasnya adalah kampung mantan perantau Tiongkok. Lokasinya berada di Distrik Zhu Ba, Kota Xiamen, Provinsi Fujian, Tiongkok. Sesuai dengan namanya, kampung itu dihuni warga Tiongkok yang sebelumnya merantau ke luar negeri dan kembali ke tanah leluhur mereka. Kepada merekalah sebutan Hua Qiao disematkan.
Ada 83 perkampungan seperti itu di seluruh Tiongkok. Tempat-tempat tersebut menjadi pelabuhan terakhir para Hua Qiao yang sebelumnya merantau ke luar negeri, termasuk Indonesia.
Nah, kebetulan, jumlah Hua Qiao yang sebelumnya merantau ke Indonesia paling banyak. Karena itu, wajar jika suasana Indonesia masih sangat terasa di perkampungan Hua Qiao Xin Cun di Xiamen tadi."
Sementara lagu Cucak Rowo mengalun, sekelompok perempuan yang berumur 50-an tahun menari bersama di sebuah panggung permanen dnegan mengikuti irama lagu tersebut. Gerakan-gerakan tari yang mereka peragakan mirip dengan gerakan-gerakan tari dari beberapa daerah di Indonesia. "Kami sedang berlatih untuk penampilan di Beijing dalam perayaan hari nasional nanti," kata seorang ibu yang ikut menari tadi dalam bahasa Indonesia yang masih sangat lancar.
Para perempuan itu menghentikan gerakan tarinya seiring berakhirnya lagu Cucak Rowo. Seorang lelaki berusia sebaya dengan ibu-ibu tadi mengganti CD di CD player yang berada di sisi panggung.
Lagu lain yang juga pernah populer di Indonesia mengalun dari seperangkat sound system sederhana tersebut. Judulnya Madu dan Racun. Lagu itu pernah sangat populer pada 1980-an.
Mereka pun kembali menari. Formasi yang mereka tampilkan berbeda dengan formasi saat menari dengan iringan lagu Cucak Rowo. Namun, tetap saja, gerakan-gerakan yang ditampilkan mirip dengan tari-tarian di Indonesia.
Tidak hanya lagu dan tarian, suasana di Kampung Hua Qiao Xin Cun juga bernuansa Indonesia. Salah satunya adalah barang dagangan di beberapa warung di kampung tersebut. Bentuknya memang tidak seperti warung tempo dulu di Indonesia, tetapi lebih mirip ruko kecil.
Namun, dagangan yang disajikan sangat bernuansa Indonesia. Misalnya, bahan-bahan makanan seperti kerupuk udang khas Sidoarjo. Ada juga kecap manis dan saus produk perusahaan-perusahaan Indonesia.
Tidak sedikit pula yang menjajakan makanan-makanan khas Indonesia tempo dulu. Misalnya, lapis, onde-onde, atau pastel kering. "Kami masih suka memasak masakan-masakan Indonesia," tutur Kepala Biro Pariwisata Hua Qiao Xin Cun A Tek.
Sebuah restoran yang cukup besar berdiri di dekat ruko tadi. Rumah makan dengan dominasi warna merah itu diberi nama Rumah Makan Pulau Bali.
Sebelum meninggalkan perkampungan tersebut, Jawa Pos singgah di restoran lain yang lokasinya berada di antara rumah-rumah warga. Menu yang disajikan memang khas Indonesia.
Saat itu, Jawa Pos disuguhi menu kari ayam, gado-gado, dan pepes ikan. Rasanya sedikit berbeda. Kuah kari ayamnya begitu kental. Sementara itu, bumbu gado-gadonya masih sangat kasar sehingga lebih terasa seperti lontong pecel.
Saat ini, Kampung Hua Qiao Xin Cun memang dijadikan salah satu objek wisata di Xiamen. Untuk itu, pemerintah Kota Xiamen membangun kampung tersebut. Menyiapkan infrastruktur, apartemen untuk para Hua Qiao, dan museum yang mengisahkan perjalanan mereka hingga sampai kembali ke Tiongkok.
Tampaknya, museum itulah yang menjadi pusat dan daya tarik utama objek wisata Kampung Hua Qiao Xin Cun. Koleksinya berupa benda-benda yang bisa menceritakan saat-saat awal kedatangan mereka kembali ke tanah leluhur di Tiongkok.
Di salah satu ruangan terlihat koper-koper kuno berbahan kulit keras atau kayu. Juga ada dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas para Hua Qiao saat masih di perantauan. Misalnya, akta kelahiran yang diterbitkan di Indonesia.
Benda-benda berbau Indonesia dan nuansa-nuansa keindonesiaan yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk kerinduan mereka pada tanah kelahiran. Itu bisa dimaklumi karena hampir seluruh Hua Qiao yang kini tinggal di kampung tersebut lahir di Indonesia.
Orang tua merekalah yang sejatinya Hua Qiao, warga negara Tiongkok yang merantau dan kemudian memutuskan kembali. Tentu saja dengan membawa keluarga, istri, dan anak-anak mereka.
Salah seorang di antaranya Mei Tung. Lelaki berusia 70 tahun tersebut mengaku lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Dia datang ke Tiongkok atas ajakan orang tuanya pada 1961. "Saat itu saya berusia 19 tahun," katanya.
Mei Tung menuturkan, orang tuanya memutuskan untuk kembali ke Tiongkok atas seruan pemerintah Tiongkok. Lewat surat kabar-surat kabar dan radio, orang tua Mei Tung mengetahui bahwa pemerintah Tiongkok meminta para Hua Qiao yang sedang merantau di negara mana pun untuk kembali dan mengabdi pada negeri."
Pada 1949, terjadi perubahan besar di Tiongkok. Yang sebelumnya adalah negeri berpaham nasionalis menjadi negeri komunis sosialis dengan nama Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Berdalih untuk memajukan negeri, pemerintah RRT mengajak pulang para Hua Qiao di perantauan. "Kami dijanjikan lahan untuk dikelola menjadi sawah atau kebun," tutur Mei Tung.
Versi lain menyebutkan, para Hua Qiao Indonesia memutuskan kembali ke tanah air karena kondisi di Indonesia membuat mereka tidak nyaman. Terbitnya PP 10 pada 1959 membatasi ruang gerak mereka, terutama dalam hal ekonomi. "Kami hanya boleh membuka usaha di kota/kabupaten. Tidak boleh sampai ke kecamatan-kecamatan atau desa," tutur Pak Tjia, Hua Qiao yang lahir di Makassar.
Apa pun versinya, terjadi gelombang kepulangan para Hua Qiao dari Indonesia ke Tiongkok. Sebagian besar Hua Qiao yang kini menetap di perkampungan tersebut datang pada gelombang pertama, 1961.
Selain dari Indonesia "yang mendominasi", para Hua Qiao itu datang dari tujuh negara lain di Asia Tenggara. Yakni, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar.
Mei Tung menuturkan, awal-awal kedatangan mereka kembali ke Tiongkok sungguh tidak menyenangkan. Menurut dia, kondisinya lebih buruk daripada di Indonesia. "Kami merasa dibohongi," kata lelaki berkacamata tebal itu.
Janji untuk mendapatkan tanah untuk dikelola ternyata tidak terwujud. Mereka memang diberi lahan untuk digarap sebagai sawah atau lahan perkebunan. Namun, statusnya bukan hak milik. "Kami diminta bekerja di sawah atau kebun tersebut," tambahnya.
Begitu panen, hasil sawah atau kebun tersebut langsung diminta pemerintah. Para Hua Qiao itu tidak hanya dipekerjakan di sana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka sangat bergantung kepada pemerintah. "Kami diberi kupon untuk ditukarkan beras," kata Mei Tung mengenang.
Saat menuturkan kisah itu, terlihat sudut matanya basah. Satu bulan dia hanya mendapatkan dua kupon. Beras yang mereka dapat dari penukaran kupon tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Kami biasanya mencampur dengan ubi," kenang lelaki yang hingga kini tidak mengetahui keberadaan istri dan anaknya itu.
Karena kondisi yang sengsara tersebut, tidak sedikit di antara Hua Qiao itu yang ingin kembali ke Indonesia. Namun, melakukannya secara legal jelas sangat sulit. Pemerintah Tiongkok waktu itu tentu akan mencegahnya.
Yang paling menyulitkan adalah mereka sudah tidak lagi memegang paspor Indonesia. Begitu datang, pemerintah langsung meminta paspor mereka. "Kalau tidak mau memberikan paspor, kami tidak diberi makan," tutur Mei Tung.
Tidak sedikit yang kabur meski tidak memegang paspor. Risikonya tertangkap atau tewas di tengah perjalanan. Ada beberapa memang yang berhasil kembali ke Indonesia dengan cara seperti itu. "Ada tiga teman saya yang berhasil kembali ke Indonesia lewat Makau," tambah Mei Tung.
Situasi berubah. Mulai awal 1990-an, perlakuan kepada para Hua Qiao itu semakin baik. Meski tetap harus mengelola lahan milik pemerintah, bayaran yang mereka terima terus meningkat.
Hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari meski tidak sampai berlebihan. Pemerintah Tiongkok juga menyiapkan apartemen bersubsidi bagi mereka.
Perlahan, keinginan untuk kembali ke Indonesia mulai hilang. Meski kerinduan itu tetap saja ada. Keinginan mereka ke Indonesia sekadar untuk menjenguk tanah kelahiran. Bukan menetap sebagai warga negara.
A Tek berencana mengunjungi Indonesia tahun depan. Dia ingin melihat tanah kelahirannya di Bandung. "Saya ingin melihat tempat masa kecil saya. Saya ingin melihat sekolah saya dulu," kata lelaki dua anak dan dua cucu tersebut.
Dia berencana menghabiskan waktu satu bulan di Indonesia. Selain ke tanah kelahirannya di Bandung, dia berencana mengunjungi beberapa kerabat yang masih tersisa di Indonesia yang tinggal di Cimahi.
Meski masih memiliki kerinduan kuat pada tanah kelahiran di Indonesia, A Tek, Mei Tung, dan Pak Tjia tidak lagi berkeinginan untuk kembali tinggal di Indonesia dengan menjadi warga negara Indonesia. "Saya sudah tua. Mungkin kerabat-kerabat saya di Indonesia sudah tidak ada," kata Mei Tung.
Untuk melepas kerinduannya pada Indonesia, Mei Tung masih sering melantunkan lagu-lagu lama Indonesia. Dia masih hafal dan fasih menyanyikan lagu Teluk Bayur atau Burung Nuri. "Saya juga menciptakan lagu tentang Indonesia," kata Mei Tung yang semasa di Indonesia mengaku menjadi penyanyi terkenal.
Dia menyatakan kerap diundang untuk menyanyi di Jakarta. "Kalau saya menyanyi, semua penonton bertepuk tangan," akunya.
Kini, bagi para Hua Qiao asal Indonesia itu, cukuplah menjadikan lagu, makanan, dan segala pernik-pernik tentang Indonesia sebagai pelepas rindu akan tanah kelahiran. Yang memiliki cukup uang seperti A Tek boleh saja berkunjung, tetapi tidak untuk menetap. Situasinya sudah berbeda daripada ketika awal-awal mereka kembali ke tanah leluhur di Tiongkok. (*/c6/ttg)
Redaktur : Tim Redaksi