Taipan Sudono Salim atau Liem Sioe Liong telah dimakamkan di Choa Chu Kang Singapura Senin (18/6). Kompleks pemakaman itu berada di perbukitan yang asri dan hijau. Tentu saja sewanya selangit, hingga ratusan juta rupiah untuk jangka waktu tertentu.
HENNY GALLA PRADANA, Singapura
JAM digital di tangan menunjukkan pukul 12.30 waktu Singapura Senin lalu. Sinar matahari terasa tak ramah lagi dengan kulit. Meski begitu, Jawa Pos tetap melangkah menuju kompleks pemakaman Choa Chu Kang, tempat mendiang Om Liem, panggilan akrab konglomerat di bidang industri dan perbankan Indonesia itu, dimakamkan.
Dengan menggunakan taksi, jalan menuju pekuburan Choa Chu Kang yang terletak di bagian barat Singapura tersebut sangat lancar. Selain infrastruktur jalannya amat mulus, lalu lintasnya lancar. Tak heran, jarak sekitar 32 km dari tempat persemayaman Om Liem di Mount Vernon Funeral Parlours, 121 Upper Aljunied Road, ke kompleks makam Choa Chu Kang terasa dekat.
Namun, sesampai di kawasan pekuburan seluas 20 hektare itu, pengunjung bisa tersesat bila tidak mengetahui lokasi makam yang dituju. Termasuk ketika Jawa Pos meliput pemakaman Om Liem.
"Kita sudah sampai di Choa Chu Kang. Di blok mana kuburannya (Om Liem, Red)?" tanya Lee Kim, sopir taksi yang mengantar Jawa Pos.
Choa Chu Kang memiliki tiga blok pemakaman, yakni area untuk orang Tionghoa, Melayu, dan Hindu. Blok pekuburan khusus warga Tionghoa memiliki dua wilayah, yakni pekuburan lama dan baru. Tiap-tiap area cukup luas dan berkelok-kelok.
Jawa Pos sempat tersesat di tengah kompleks pemakaman mewah tersebut. Namun, setelah dijelaskan sosok tokoh yang meninggal, Lee Kim langsung mengerti lokasi pemakamannya.
"Kita berarti ke path 36 (Chinese Cemetery Path 36). Ini area pemakaman baru," ujar Lee, menyebutkan area pemakaman khusus warga Tionghoa tersebut.
Benar saja, begitu sampai di blok yang dituju, suasana pemakaman Om Liem sudah tampak. Ratusan pelayat berbaju putih-putih berlindung dari teriknya siang di bawah payung biru bertulisan Singapore Casket. Ada pula yang berkumpul di bawah tenda putih, di depan liang lahad tempat Om Liem dikebumikan. Tepatnya di blok C-2-1.
"Di sini (Choa Chu Kang, Red), pemakaman ada batas waktunya. Tidak bisa selamanya," lanjut pria 50 tahun itu.
Memang sudah menjadi ketetapan di negara dengan pendapatan per kapita USD 50.714 tersebut bahwa pengebumian jenazah memiliki limit waktu. Tak terkecuali bagi jenazah konglomerat besar Indonesia tersebut. "Batas waktunya hanya 15 tahun," ungkap Handoko, mantan direktur utama Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) yang ditemui Jawa Pos saat melayat Om Liem.
Menurut Handoko, kebijakan itu bisa dimaklumi, mengingat Singapura adalah negara kecil yang hanya memiliki luas wilayah 710 kilometer persegi atau hanya 0,035 persen dari luas daratan Indonesia yang membentang seluas 2 juta kilometer persegi. "Pada akhirnya, jenazah yang dimakamkan di sini (Singapura, Red) sepertinya harus dikremasi," jelasnya.
Tak hanya itu, berdasar informasi yang diperoleh Jawa Pos, biaya untuk menguburkan jenazah di Choa Chu Kang boleh dibilang amat mahal. Sumber di Choa Chu Kang mengatakan, bagi warga Tionghoa yang dikuburkan di Choa Chu Kang, keluarga harus menyiapkan dana SGD 1.000 atau setara dengan Rp 7,43 juta (kurs Rp 7.427). Biaya itu hanya digunakan untuk membeli tanah yang akan dipakai untuk menguburkan peti jenazah.
Sedangkan untuk membangun nisannya, ongkos yang mesti dikeluarkan keluarga mendiang bisa mencapai SGD 25 ribu (Rp 185,67 juta). Itu nisan yang relatif bagus, yang terbuat dari batu alam tempaan dengan aksesori batu penjaga.
Mahalnya biaya "sewa" di Choa Chu Kang memang sebanding dengan berbagai fasilitas dan perawatan yang disediakan pengelola makam. Selain jalan-jalannya yang mulus dan area parkir pengunjung yang luas, penataan makamnya juga sangat rapi dan asri.
Ratusan makam yang dilapisi keramik abu-abu atau merah bata terlihat licin, halus, dan mengkilat. Kincir angin plastik warna-warni yang dipasang di atas nisan berputar terkena embusan angin semilir. Pemandangan itu membuat kompleks pemakaman Choa Chu Kang jauh dari kesan angker.
"Biaya perawatan makam di sini cukup murah untuk setiap nisan. Sekitar USD 100 (Rp 940 ribu, Red) per tahun," jelas salah seorang pekerja di kompleks pemakaman tersebut.
Dia memaparkan, pada hari ke-100 setelah pemakaman, berdasar tradisi Tiongkok, keluarga akan datang ke makam untuk menghantarkan doa. Biasanya mereka akan takjub melihat makam telah dibangun dengan desain cantik. "Setahun kemudian keluarga akan datang kembali untuk berdoa," terangnya.
Menurut Handoko, perawatan dan pelayanan di kompleks Choa Chu Kang sangat maksimal. "Makam ini sangat rapi. Di blok untuk warga Tionghoa ini, hampir semua sama (desainnya). Kalau makam yang lain, masih banyak yang berbeda-beda," ungkapnya.
Seperti diberitakan, Liem Sioe Liong, 96, meninggal pada Minggu (10/6). Ia meninggal setelah sepuluh hari dirawat di Raffles Hospital Singapura. "Penyakit tua" dianggap sebagai penyebab kematian konglomerat yang amat dekat dengan keluarga Cendana itu.(*/c11/c9/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Asep Kambali, Pendiri Komunitas Historia Indonesia Jakarta
Redaktur : Tim Redaksi