Menhut Juga Punya Vila

Kamis, 14 Maret 2013 – 08:16 WIB
CISARUA- Sengkarut vila liar di kawasan hulu daerah aliran Sungai Ciliwung dan Cisadane tak kunjung teratasi. Pemerintah saling tuding tanggung jawab atau sekadar janji bakal membongkar.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan berjanji menyelesaikan sengkarut vila liar yang berdiri di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Namun, ia mengakui, vila-vila itu tidak dapat digusur begitu saja karena akan melahirkan konflik.

“Kebijakan dengan langsung mengeksekusi pembongkaran dikhawatirkan memunculkan masalah lain,” kata Menteri kepada wartawan, belum lama ini.

Memang di sejumlah titik konservasi, tepatnya di hulu dua sungai yang menjadi nadi Jawa Barat, banyak vila yang dimiliki konglomerat dan pejabat pemerintah. Penelusuran Radar Bogor, bahkan sang Menteri yang mengobral janji pembongkaran, pun memiliki vila di kawasan konservasi. Ya, ada sebuah vila di RT 04/05 Kampung Cilember, Desa Cilember, Kecamatan Cisarua yang ternyata milik Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Vila itu berada di atas lahan seluas kurang lebih satu hektar, terdiri dari tiga bangunan, dua kolam renang, sebuah lapangan basket, dua taman bermain dan ratusan meter lahan perkebunan semangka.

Vila itu sudah menjadi tempat tetirah (istirahat) sang menteri selama sepuluh tahun belakangan. Menurut warga sekitar, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) daerah tersebut, sebesar Rp180 ribu permeter. Sehingga perkiraan nilai tanah dan bangunan milik Zulkifli Hasan mencapai Rp2 miliar lebih.

Kepala Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tata Bangunan dan Pemukiman wilayah Ciawi, Rudy Achdiat membenarkan hal ini. Menurutnya, vila milik sang menteri sudah ber-IMB (izin mendirikan bangunan) dan tidak termasuk tanah negara yang terlarang untuk pembangunan.

“Bangunan tersebut memang milik pak Menteri Kehutanan. Namun untuk penulisan dalam surat-surat negaranya dengan menggunakan nama Istrinya,” beber Rudy.

Namun, kata Rudy, beredar kabar kepemilikan vila tersebut sudah berganti tangan. Sang menteri dikabarkan telah menjual lahan itu kepada konglomerat dari Jakarta. “Dengar-dengar, vila itu tidak lagi milik Menhut,” tukasnya.

Sebelumnya sempat beredar kabar, adanya kepemilikan akta asli atau palsu (Aspal). Ketika Radar Bogor mencoba mengonfirmasi kepada pihak Kecamatan, hingga saat ini pihaknya belum melakukan pengecekan lebih lanjut terhadap akurasi surat kepemilikan.

Menurut Staf Teknis Seksi Pembangunan, Kecamatan Cisarua, Saifunnajad, hal itu bukan lah kewenangannya. “Tidak ada pelanggaran, semua sudah sesuai aturan. Bukti surat-suratnya semuanya lengkap. Untuk surat aspal, tentunya ada yang lebih punya wewenang. Tapi itu pun baru isu,” tegasnya.

Sementara itu, ramai diberitakan bahwa Kementerian Kehutanan memilih menempuh jalan penyelesaian bertahap lewat dialog untuk menyelesaikan persoalan vila. Menhut Zulkifli Hasan membantah dikatakan takut membongkar vila ilegal yang sebagian besar dimiliki oleh tokoh-tokoh nasional itu. “Kementerian Kehutanan sedang melakukan pendekatan satu per satu dan melakukan sosialisasi,” ucapnya kepada pewarta.

Rencana itu termasuk kepada 143 vila ilegal di area Lokapurna, Desa Gunung Sari, Kabupaten Bogor. Kawasan yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ini mestinya steril dari permukiman. Vila-vila itu merupakan tempat istirahat para petinggi negeri, politikus, sampai selebritas. Di antaranya terdapat vila milik penyanyi Ahmad Albar, politikus Partai Golongan Karya Idrus Marham, dan mantan Menteri Koperasi dan UKM Zarkasih Noor.

Di sisi lain, Bupati Rachmat Yasin (RY) berjanji akan membongkar vila-vila liar itu, April mendatang. Sementara untuk vila yang berada di wilayah milik Perhutani, RY menyerahkan masalah itu kepada yang bersangkutan. “Kita tidak mau terus disalahkan sebagai penyebab banjir Jakarta. Secara bertahap, vila yang melanggar aturan di Puncak akan dibongkar. Bulan April nanti sudah ada action,” tukasnya kepada Radar Bogor, belum lama ini.

Sedangkan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Darori, mengatakan Kementerian Kehutanan akan segera membentuk tim terpadu penegakan hukum untuk menertibkan vila-vila liar di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Bogor. “Tim terpadu di dalamnya terdiri atas kejaksaan dan kepolisian,” kata Darori.

Sampai saat ini, Darori melanjutkan, sudah 25 pemilik vila liar di kawasan Taman Nasional menyerahkan vila kepada negara secara sukarela. Sisanya sedang ditagih oleh Kementerian Kehutanan. Menurut dia, pemerintah masih menunggu iktikad baik dari pemilik vila untuk menyerahkan secara sukarela.

Pembangunan vila di kawasan tersebut, ujar dia, melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. “Sesuai aturan harus digusur, itu vila bodong tidak ada suratnya,” kata Darori.

Kementerian meminta bantuan instansi dan kementerian lain untuk menyelesaikan kasus maraknya vila liar di kawasan taman nasional. “Kami harus hati-hati karena, kalau kami pidanakan pemilik vila, lalu mereka menuntut balik, kami bisa kalah. Jadi perlu dikaji lagi izin-izinnya.”

Persoalan vila puncak ibarat benang kusut. Sejumlah pihak geram, karena tak ada langkah tegas dan konkrit dari pemerintah. Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Simpul Bogor, Depok, Puncak dan Cianjur, Eko Wiwid menyebut penanganan masalah lingkungan daerah konservasi hanya sebatas retorika. Harusnya, kata dia, ada langkah konkrit pemerintah seperti membeli vila dan mengembalikan lahannya sebagai hutan. “Ada keberanian tidak, untuk membongkar? Pemerintah daerah punya data yang berizin dan tidak. Tinggal tindakan konkret saja,” cetus Eko.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Dadan Ramdan menambahkan, pihaknya terus melakukan koordinasi dengan Lokatmala Institute Cianjur yang memonitoring perkembangan kawasan konservasi puncak. Ia menegaskan, kondisi puncak kini sudah semakin memprihatinkan. Karenanya, ia mendesak adanya moratorium sarana komersil di kaki gunung Gede Pangrango itu.    “Ini bagaimana? Menterinya bangun vila, Pemkab seenaknya mengeluarkan izin,” geramnya.

Lantas, solusi apa yang sekiranya tepat untuk mengatasi vila liar puncak? Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama pernah melempar wacana solusi vila liar untuk mengatasi banjir Jakarta.

Pria yang biasa disapa Ahok itu berujar, Pemprov DKI akan membeli vila-vila itu untuk kemudian dibongkar dan dijadikan ruang terbuka hijau sebagai area resapan. “Kita berpikir mungkin kita akan membeli banyak tempat-tempat yang ada vila di daerah hulu. Jadi vila-vila yang kita beli, kita akan bongkar, kita akan jadikan hijau,” kata Ahok, belum lama ini.

Penerapannya, kata dia, beban biaya pembongkaran vila di kawasan Puncak akan ditutupi dari kompensasi pemberian izin pembangunan yang diterbitkan Pemprov DKI kepada berbagai pihak.

“Kita harapkan dari setiap izin yang kita terbitkan, kita wajibkan kepada si penerima izin menjadi porsi kewajiban mereka menyumbangkan vila yang di daerah hulu kepada Pemprov DKI. Semua izin kita kasih,” terang politisi Partai Gerindra itu. (cr4/d)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Satu Tewas, Satu Masih di Kolong TransJakarta

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler