Selain sepak bola, Milan dikenal karena fashion-nya. Bahkan, Milan sering disebut sebagai salah satu ibu kota fashion dunia. Berada di sana selama dua hari, kami menjadi tahu bagaimana sebutan itu bisa tersemat di kota yang masuk wilayah Lambordy, Italia, itu.
ARIYANTI K.R., Milan
BEGITU menjejakkan kaki keluar terminal subway Metro kuning di Duomo siang itu (8/9), saya bersama Ivo Ananda, fashion police rubrik Jawa Pos For Her, langsung disuguhi pemandangan bak keramaian pasar. Banyak orang berlalu lalang dengan tentengan tas belanja berbagai ukuran.
Berjalan ke kiri, ada gerai label United Colors of Benetton. Empat lantai gerai itu menyajikan kebutuhan berbeda. Bawah tanah untuk anak-anak, satu perempuan, dua laki-laki, dan tiga aksesori.
Melangkah ke seberang, ada butik Zara. Pengunjungnya juga ramai. Di kasir minimal selalu ada sepuluh orang yang mengantre hingga toko tutup pukul 20.00. Tren baju-baju bertema army dan celana panjang dengan ritsleting di samping bawah memang menarik minat.
Keluar dari situ, teruslah melintasi Corso Vittorio Emanuele tersebut. Ratusan outlet dengan brand populer berjajar. Levi"s, Guess, H&M, hingga merek lokal mengisi deretan toko yang sebagian besar merupakan bangunan klasik Italia itu.
Masih belum puas berbelanja baju, sepatu, tas, dan pernik-pernik fashion di situ, segeralah bergegas ke Galleria Vittorio Emanuele II yang letaknya tak sampai sepuluh menit berjalan kaki. Bangunan yang menjadi tempat shopping model arcade (gedung berlorong tertutup atap) itu sangat ikonis, elegan, dan berkelas.
Selesai didirikan pada 1877, Galleria yang menjadi jalan penghubung dua landmark Kota Milan, Piazza Duomo dan gedung opera Teatro Alla Scala, itu ditutup atap kaca berkombinasi dengan besi. Lantainya marmer bermozaik. Brand luxury seperti Prada, Gucci, dan Louis Vuitton berada di Galleria.
Di tempat itu juga tersebar kafe-kafe ternama dengan menu khas Italia. Sekali makan di situ, satu orang dengan porsi biasa appetizer oven baked dan main course steak serta air mineral, harga yang dibayar sekitar Rp 600 ribu. Wow! Harga makan di situ memang lebih mahal daripada tempat lain di Milan. Tapi, itu pantas dengan kebanggaan bisa nongkrong di tempat prestisius tersebut.
Keluar dari Galleria teruslah berjalan. Belok ke kanan, lurus, hingga tiga blok ketemu Jalan Monte Napoleone atau sering disebut Montenapoleone. Minggu pagi (9/9) itu jalanan masih lengang. Belum banyak toko yang buka. Beberapa kali tampak mobil Ferrari melintas. Sepintas tak ada yang istimewa. Tapi, siapa sangka bahwa jalan sekitar 1 km itu merupakan salah satu kawasan penting bagi dunia fashion Italia?
Montenapoleone disesaki butik-butik fashion dan perhiasan siap pakai high end. Ada Prada, Salvatore Ferragamo, Gucci, Miss Sixty, YSL, Armani, Chopard, Dolce & Gabbana, Fendi, dan Dior. Jalan itulah lokasi utama event bergengsi setengah tahunan Milan Fashion Week. Koleksi Spring/Summer 2013 akan digelar pekan depan, 19-25 September.
"Sebagai pemanasan, kami sudah mengadakan pesta pembukaan pada Kamis lalu (6/9). Kami buat pesta semalam suntuk. Jalanan Montenapoleane ini ditutup untuk kendaraan. Butik-butik buka hingga tengah malam. Semua yang berkepentingan di acara itu datang," kata Marcella Ongarello dari butik Prada di Monte Napoleone 8.
Milan Fashion Week merupakan event mode yang sangat bergengsi. Di seluruh dunia hanya ada empat fashion week besar yang menjadi acuan tren mode. Skedulnya dimulai dari New York Fashion Week, kemudian London, selanjutnya Milan, dan berakhir di Paris. Dan, peragaan koleksi Prada sebagai brand ternama Italia selalu menjadi bagian pertunjukan yang paling dinanti. "Jadi para desainer di tempat kami sekarang berkonsentrasi mempersiapkan penampilan di acara itu," kata Ongarello.
Tiga kawasan sudah disebut di atas. Tempatnya berdekatan. Semua memiliki ciri khas masing-masing dengan benang merah: menjual barang branded fashion. Dua hari berada di sana, dua hari itu kami melihat ratusan orang keluar masuk butik dengan barang belanjaan.
"Butik-butik di sini selalu menyajikan koleksi terbaru. Itu mungkin menjadi alasan mengapa para fashionista mau jauh-jauh datang ke sini hanya untuk sebuah dompet atau tas," ujar Ongarello.
Banyaknya turis yang datang membuat kami kesulitan menilai style warga setempat. Namanya turis sedang berbelanja di musim panas, gayanya nyaris seragam. Kasual dengan sepatu flat, celana pendek atau jins panjang, dengan atasan kaus. Yang penting nyaman.
"Tapi, sebetulnya tidak sulit mencari orang Milan di kerumunan turis. Kami punya ciri khusus selalu memperhatikan penampilan. Selalu ada cara untuk terlihat gaya. Misalnya, ketika tampil kasual, kami tak akan sembarangan mengambil kaus dan celana. Ada detail yang kami perhatikan," kata Ariana, 22, staf di gerai Guess yang terlihat stylish dengan rambut cepaknya yang di-blow ke samping.
Camilla Stech, seorang SPG (sales promotion girl), juga mengatakan hal senada. Sebagai perempuan Milan, dia merasa kondisi yang tercipta di sekililing membuat dirinya harus selalu gaya.
"Di sini kami bisa melihat perkembangan fashion terkini. Seminggu sekali saya pasti jalan ke shopping mal untuk melihat apa yang menjadi tren. Tentu tidak semua bisa terbeli. Tapi, saya menjadi pintar mix and match. Kalau mau aman, ya pakai saja dress warna hitam yang timeless," kata perempuan 27 tahun itu.
Ucapan dua perempuan tersebut ada benarnya. Berada di subway Metro, baik pagi maupun malam, kami bisa dengan mudah menemukan perempuan dengan dandanan chic menenteng tas bermerek. Beberapa di antara mereka menambahkan syal untuk atribut gaya. Ankle boot, stiletto, hingga flat shoes modis menjadi pelengkap penampilan.
Selain butik-butik papan atas bertebaran dan selera fashion penduduknya, Milan disebut kota mode karena punya Fiera Milano, pameran fashion terbesar di Eropa. Kota kelahiran pelukis besar Italia Leonardo Da Vinci itu adalah rumah bagi brand fashion internasional seperti Versace, Gucci, Armani, Valentino, Prada, dan anaknya, Miu Miu, Dolce & Gabbana, serta Moschino.
Bukan itu saja, industri fashion juga menjadi roh yang menghidupi Milan dengan 80 ribu karyawan dan 30 ribu distributor. Industri fashion di sana mempunyai kontribusi lebih dari 70 persen total gross domestic products (GDP) sebesar 300 juta euro (Rp 3,6 triliun).
Perjumpaan Milan dengan fashion, baju, dan industri tekstil dimulai sejak akhir abad ke-19. Awalnya, industri fashion di sana menjiplak desain fashion papan atas Paris. Namun, tak lama kemudian Milan mengembangkan gaya sendiri. Kota yang menjadi markas tim sepak bola AC Milan itu mulai memunculkan namanya pada dekade 1970 dan 1980-an, membuatnya makin prestisius pada 1990-an, dan pada 2000-an resmi menjadi salah satu di antara big four kota fashion dunia.
Tentu saja, catatan keberhasilan itu tak diraih Milan dengan mudah. Sebelumnya, yang menjadi tren fashion di Italia bukan Milan, melainkan Florence. Pada 1950"1960-an, Florence masih disebut sebagai ibu kota fashion Italia dengan ciri desain Alta Moda alias haute couture.
Hingga pada 1970-an, para desainer Milan mulai mengembangkan desain glamor, namun merakyat dengan harga terjangkau. Sementara itu, para desainer Florence masih berkiblat ke Paris, yakni desain-desain baju yang sangat formal dengan harga sangat mahal.
Pelan, tapi pasti Milan mulai ramai didatangi turis asing. Kini kejayaan fashion Milan bisa dilihat di Piazza del Duomo dan empat jalan yang dipenuhi butik papan atas dunia. Yakni, Via Montenapoleone, Via della Spiga, Corso Venezia, dan Via Manzoni.
Selain di Milan, Minggu siang itu kami mengunjungi outlet terbesar di Italia Utara, Serravalle Designer Outlet, yang berada di Serravalle Scrivia, Provinsi Alessandria. Dari terminal subway Milane Centrale kami naik kereta api menuju Stasiun Arquata Scrivia.
Dibutuhkan waktu tiga jam pergi pulang naik kereta dengan harga tiket 16 euro per orang. Ada 180-an gerai di Serravalle Designer Outlet. Yang membuat tempat itu makin menarik adalah harga yang ditawarkan miring. Koleksi tas Furla, misalnya. Tas itu dihargai sekitar tiga perempat dari banderol yang umum di Indonesia. Tak heran, dengan iming-iming itu banyak perempuan (berduit) yang tergiur untuk membeli.
Tak semua jalan terkenal di Milan bisa kami singgahi dalam waktu sesingkat itu. Misalnya, kami tak sempat melakukan "ritual" memutari gambar Bull"s Ball di Galleria Vittorio Emanuele. Menurut kepercayaan warga di sana, jika "ritual" itu dilakukan, dipercaya membuat kita bisa kembali ke Milan dan bernasib baik.
Bull"s Ball adalah sebuah mozaik batu bergambar kerbau dengan sebuah lubang tepat berada di testikelnya. Meski tak menjalani "ritual" itu, kami tetap berharap bisa datang ke sana lagi. Sebab, aktivitas dunia fashion di Milan memang nikmat untuk dijelajahi. Dengan segala yang terjadi di dalamnya, Milan layak menjadi pusat mode dunia.
Apalagi, pemerintah Italia punya kebijakan goods and services tax (GST) refund. Pajak barang yang dibeli bisa dikembalikan saat kita akan meninggalkan bandara negeri pemilik Menara Pisa itu. Ow, siapa yang tak mau. Pemerintah Italia biasanya menetapkan pajak 20 persen untuk banyak hal. Bagi penduduk non-Uni Eropa, pajak itu akan dikembalikan lagi.
Syarat utama pembelian minimal harus sebesar 154,94 euro (Rp 1,9 juta) dalam satu waktu di satu toko. Selain itu, barang yang dibeli untuk keperluan pribadi, diangkut dalam bagasi sendiri, harus diperiksa oleh petugas pabean, dan maksimal tiga bulan sesudah pembelian sudah harus dibawa keluar Uni Eropa.
Jika Anda benar-benar mau mengharapkan pengembalian pajak itu, perhatikan dengan cermat prosedur ini. Datanglah ke bandara minimal lima jam sebelum jam boarding pesawat. Meski buka 24 jam, antrean di loket tax refund ini mengular setiap saat.
Petugas di loket itu akan memeriksa segala syarat pengajuan tax refund. Yaitu, formulir yang didapat dari toko, nota pembelian, dan bukti pembayaran. Yang membuat takjub, petugas akan melihat barang dengan sangat-sangat teliti. Kita harus bisa menujukkan per item barang yang tercetak di nota. Bahkan, untuk pernik-pernik perhiasan imitasi sekalipun.
Untuk bisa ke loket itu, kita harus sudah melakukan check in untuk mendapat nomor kursi pesawat. Di sinilah kesalahan fatal bisa terjadi. Ketika check in, sering kita sekalian menitipkan koper untuk dimasukkan bagasi. Padahal, dalam pemeriksaan pengembalian pajak itu, semua barang harus diperlihatkan.
Jadi, begitu barang sudah masuk bagasi dan kita baru ke loket, sudah pasti yang terjadi adalah: lupakan uang pengembalian itu. Stempel access denied akan tertera di formulir kita, memupus bayangan akan mengantongi sejumlah Euro. (*/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keliling Milan, Liput Balap Formula 1 dan Kunjungi Artis Sepeda (1)
Redaktur : Tim Redaksi