jpnn.com - Serat Wulang Reh merupakan salah satu ajaran piwulang yang sangat populer dan digemari masyarakat Jawa pada zaman dahulu.
Sebelumnya, ada juga Serat Wredhatama yang ditulis oleh Sri Paduka Pakubuwono IV Raja Surakarta. Dalam bahasa Jawa dalam bentuk tembang Gending Jawa.
BACA JUGA: OSO Sebut Ganjar Sosok Pemimpin yang Betul-Betul Bisa Menyentuh Hati Rakyat
Serat Wulang Reh merupakan salah satu sumber aspirasi lahirnya Pancasila oleh Pendiri Bangsa Soekarno dalam pidatonya di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945 tentang Falsafah Dasar Negara.
Ajaran Wulang Reh sendiri penuh dengan ajaran filosofi tentang laku (jalan) hidup yang harus dijalani sebagai manusia seutuhnya. Baik secara jasmani maupun rohani sebagai upaya membangun masyarakat yang beradab.
BACA JUGA: Menjelang Pemilu 2024, Syarief Hasan: Rakyat Berhak Menentukan Siapa Pemimpinnya
Wulang Reh dapat dimaknai ajaran atau tata cara untuk mencapai tingkat hidup yang mengutamakan moral. Dengan demikian terbangun pribadi yang dapat menempatkan diri di semua posisi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Utamanya sebagai sebuah komunitas bersama di dalam masyarakat yang plural seperti di Indonesia tercinta.
Kita merdeka karena adanya keinginan bersama dari beberapa perbedaan budaya dan adat-istiadat untuk mencapai tujuan bersama. Merdeka menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wulang dalam bahasa Jawa memiliki arti ajaran atau pitutur, sedangkan Reh mempunyai arti jalan atau aturan.
Serat Wulang Reh adalah karya sastra yang ditulis dan diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro ke IV dari Surakarta.
Serat Wulang Reh mengajarkan kepemimpinan tata kelola kerajaan dan ajaran tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari berbagai golongan yang berbeda. Ajarannya mengandung aspek-aspek sosiologi terutama dibidang Inter Group Relation.
Penulis menekankan di sini diarahkan untuk fenomena kepemimpinan masa kini. Khususnya pascareformasi, semua orang bisa menyampaikan pendapat yang memang diatur oleh Kontitusi.
Terutama berkaitan dengam faktor kepemimpinan yang memang juga ditulis dalam Serat Wulang Reh.
Mengacu pada ajaran dalam serat atau tulisan sastra dalam Wulang Reh, terdapat empat aspek untuk mencapai kepemimpinan yang ideal dapat menjadi pedoman dalam Tata Kelola Kepemimpinan.
Den Ajembar
Den ajember artinya harus luas. Di sini dapat dimaknai bahwa diri kita harus mempunyai pemikiran dan hati yang luas, bisa menerima masukan.
Baik dari bawah, dari tengah maupun golongan atas, yang bisa dijadikan pengambilan keputusan secara tepat dan bijak.
Den Momot
Den momot artinya bisa memuat. Maknanya bahwa jikalau diri kita bisa menjalani pada fase ajaran Den Ajembar agar kita bisa memuat dan menampung dan menerima segala aspirasi rakyat.
Aspiras itu baik dari bawah, golongan menengah maupun dari kalangan atas. Syarat utama dari bisa menampung memuat aspirasi adalah adanya wawasan pandangan dan hati yang luas sesuai dengan aspek Den Ajembar.
Lawan Den Wengku
Artinya bisa melawan ambisi sendiri. Maknanya adalah diri kita harus bisa menghilangkan ego pribadi, kepentingan diri dan golongan kita untuk dapat mengelola tata kelola baik di dalam kekuasaan maupun dalam bisnis.
Dalam bahasa sederhananya untuk mengatur Kawulo dan Gusti, bawahan dan atasan.
Den Koyo Segoro
Maknanya, apabila kita bisa menjalankan hal-hal yang diajarkan ketiga aspek diatas, yaitu bisa menampung aspirasi dari bawah hingga atas, dan bisa menahan diri dan menghilangkan ego pribadi.
Hidup didedikasikan seluruhnya untuk kemaslahatan umat atau kawulo atau rakyat.
Maka diri kita akan bisa memiliki ilmu, wawasan, pandangan, dan hati seluas samudera. Seperti halnya para pemimpin-pemimpin jaman kerajaan dulu yang tertulis harum dalam sejarah bangsa ini.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah para pemimpin saat ini sudah menjalani, melaksanakan dan memenuhi kriteria yang telah ditulis dan diajarkan oleh Paduka Mangkunegoro IV dari Surakarta dalam serat Wulang Rehnya?
Pertanyaan ini ditujukan baik anggota dewan, partai Politik dalam sistem multipartai, aparat penegak hukum; hakim, jaksa, Kepolisian Negara Republik Indonesia, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi, selaku benteng keadilan dalam seluruh strata.
Tiada gading yang tak retak, tetapi setidaknya marilah kita berusaha untuk menjalankan apa yang telah ditulis sebagai ajaran laku dari para leluhur raja-raja tanah Jawa agar menjadi insan kamil.
Utamanya demi terciptanya manusia Indonesia yang adil dan beradab menuju Indonesia yang adil makmur gemah ripah loh jinawi, toto trentrem kerto raharjo.(****)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari