Menimbang Bentuk Hukum Ideal Bagi Pokok-Pokok Haluan Negara

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH - Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI Perjuangan

Minggu, 16 Maret 2025 – 23:12 WIB
Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI Perjuangan Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Latar Belakang Kebutuhan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)

PPHN merupakan instrumen kebijakan strategis yang dirancang untuk memberikan arah pembangunan nasional yang berkesinambungan. Sejak dihapuskannya Garis-Garis Besar Haluan Negara pasca-amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Indonesia mengalami tantangan dalam memastikan kesinambungan pembangunan di tengah dinamika politik yang berubah setiap periode pemerintahan.

BACA JUGA: Wayan Sudirta DPR Tanggapi Pengungkapan Oknum di Lembaga Legislatif Terlibat Judi Online

Ketidakhadiran haluan negara yang mengikat telah menimbulkan berbagai persoalan, seperti perbedaan visi dan misi antarperiode pemerintahan, inkonsistensi dalam kebijakan pembangunan serta ketidakseimbangan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah.

Oleh karena itu, muncul gagasan untuk merumuskan kembali PPHN dengan bentuk hukum yang tepat agar dapat menjadi acuan bagi pemerintahan dalam menyusun kebijakan pembangunan nasional.

BACA JUGA: Menyusun Arah Baru Pembangunan Nasional: Urgensi PPHN Dalam Tata Kelola

Dalam merancang PPHN, salah satu aspek utama yang perlu ditentukan adalah bentuk hukumnya. Bentuk hukum PPHN akan menentukan kekuatan normatif dan daya ikatnya terhadap penyelenggara negara. Beberapa alternatif bentuk hukum yang menjadi perdebatan meliputi:

1. Diatur dalam UUD NRI 1945, sehingga memiliki kekuatan hukum yang tertinggi dan mengikat seluruh lembaga negara.

BACA JUGA: Lantik 5 Anggota MPR PAW dari Fraksi Gerindra dan Golkar, Muzani Ingatkan Hal Ini

2. Diatur melalui Ketetapan MPR, yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Undang-Undang tetapi lebih fleksibel dibandingkan konstitusi.

3. Diatur melalui Undang-Undang, yang memungkinkan fleksibilitas dalam implementasi tetapi memiliki risiko perubahan setiap periode pemerintahan.

Setiap pilihan bentuk hukum memiliki implikasi yang berbeda terhadap stabilitas sistem pemerintahan, kesinambungan pembangunan serta keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam proses perumusan kebijakan.

Oleh karena itu, perlu kajian terhadap bentuk hukum PPHN baik melalui komparasi bentuk PPHN di negara lain maupun dari sudut pandang teori hukum.

Komparasi Bentuk PPHN di Negara Lain
 
PPHN disebut juga dengan Directive Principles of State Policy (DPSP).

Berikut adalah komparasi bentuk hukum PPHN dengan DPSP di beberapa negara lain:

1. India

Bentuk Hukum DPSP di India diatur dalam Bagian IV Konstitusi India (Pasal 36-51). Kedudukan Hukum DPSP tidak dapat ditegakkan secara hukum, tetapi menjadi panduan bagi negara dalam merancang kebijakan.

Isi DPSP merupakan prinsip-prinsip pembangunan ekonomi dan sosial, seperti kesejahteraan sosial, pendidikan gratis, perlindungan lingkungan, dan kesetaraan ekonomi. Kelebihan DPSP di India adalah memberikan arahan bagi kebijakan tanpa mengurangi kedaulatan pemerintahan terpilih.

Selain itu, konsisten dalam menjaga tujuan pembangunan negara. Kekurangan DPSP di India adalah tidak dapat dijadikan dasar untuk gugatan hukum karena sifatnya tidak dapat ditegakkan secara yudisial.

2. Irlandia

Bentuk Hukum DPSP terdapat dalam Konstitusi Irlandia 1937, Bab V (Pasal 45).

Kedudukan Hukum hanya bersifat rekomendasi, tidak bisa diuji di pengadilan. Isi DPSP di Irlandia menjadi pedoman bagi kebijakan sosial dan ekonomi, seperti distribusi kekayaan yang adil, pengakuan atas hak pekerja, dan kebijakan kesejahteraan. Kelebihan DPSP di

Irlandia adalah memastikan keberlanjutan kebijakan negara dalam jangka panjang. Sementara kekurangannya adalah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bergantung pada implementasi eksekutif.

3. Filipina

Bentuk Hukum DPSP diatur dalam Pasal II Konstitusi Filipina 1987. Kedudukan Hukum adalah sebagai pedoman, tetapi sering digunakan sebagai dasar dalam putusan Mahkamah Agung. Isi DPSP di Filipina adalah Prinsip pembangunan nasional, lingkungan, hak asasi manusia, dan ekonomi.

Kelebihan DPSP di Filipina adalah meskipun tidak mengikat, sering digunakan dalam interpretasi hukum dan kebijakan negara. Sementara kekurangannya adalah implementasi bergantung pada interpretasi pengadilan dan keputusan politik.

4. Afrika Selatan

Bentuk Hukum DPSP di Afrika Selatan adalah Prinsip pembangunan nasional diatur dalam Pasal 39 Konstitusi Afrika Selatan 1996.

Kedudukan Hukum mengikat dalam interpretasi konstitusi dan kebijakan negara. Isi DPSP di Afrika Selatan adalah hak sosial-ekonomi, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan.

Kelebihan DPSP di Afrika Selatan adalah bisa menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan dan putusan pengadilan. Sementara kekurangannya adalah implementasi bergantung pada kapasitas negara dalam memenuhi prinsip-prinsip tersebut.

PPHN Dikaitkan dengan Teori Hukum

Dalam menganalisis bentuk hukum PPHN, berbagai teori hukum dapat digunakan sebagai landasan untuk memahami implikasi normatif dan sistemik dari setiap pilihan yang tersedia.

Teori-teori hukum ini membantu dalam menentukan bagaimana PPHN sebaiknya diatur agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan yang stabil.

Berikut adalah beberapa teori hukum yang relevan dalam pembahasan bentuk hukum PPHN:

1. Teori Hierarki Norma Hukum (Hans Kelsen)

Teori ini menyatakan bahwa hukum memiliki hierarki, di mana norma yang lebih rendah harus tunduk pada norma yang lebih tinggi (stufenbau des rechts). Dalam konteks PPHN, ini berarti:

a. Jika PPHN diatur dalam UUD NRI 1945, maka ia menjadi norma tertinggi setelah konstitusi dan mengikat semua regulasi di bawahnya.

b. Jika PPHN diatur melalui Ketetapan MPR, maka ia berada di bawah UUD tetapi di atas Undang-Undang.

c. Jika PPHN diatur dalam Undang-Undang, maka ia bisa lebih fleksibel tetapi berisiko berubah setiap periode pemerintahan.

Implikasi:

a. Ketetapan MPR atau UUD lebih kuat secara hukum dibandingkan Undang-Undang.

b. Undang-Undang lebih fleksibel, tetapi bisa berubah sesuai dinamika politik.

2. Teori Konstitusionalisme (Carl Schmitt dan John Locke)

Carl Schmitt menyatakan bahwa konstitusi seharusnya tidak hanya berisi aturan prosedural, tetapi juga nilai-nilai fundamental negara. Sementara, John Locke menekankan bahwa hukum harus membatasi kekuasaan eksekutif agar tidak bertindak sewenang-wenang.

Jika PPHN diatur dalam konstitusi atau Ketetapan MPR, maka PPHN menjadi instrumen pengarah kebijakan tanpa melanggar prinsip demokrasi. Ini juga menghindari kemungkinan bahwa setiap pemerintahan merumuskan kebijakan pembangunan tanpa kesinambungan.

Implikasi:

a. Jika diatur dalam UUD atau Ketetapan MPR, maka PPHN menjadi panduan strategis yang bersifat tetap.

b. Jika diatur dalam Undang-Undang, ada risiko dominasi eksekutif dalam penyusunan dan pelaksanaannya, yang bisa mengubah arah kebijakan sesuai dengan kepentingan politik sesaat.

3. Teori Sistem Pemerintahan Presidensial (Maurice Duverger dan Juan Linz)

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kewenangan eksekutif penuh dan tidak bergantung pada parlemen. Maurice Duverger menyebutkan bahwa sistem presidensial cenderung memiliki stabilitas eksekutif yang kuat, tetapi memerlukan keseimbangan dalam perumusan kebijakan.

Sementara, Juan Linz menegaskan bahwa sistem presidensial dapat menjadi tidak stabil jika tidak memiliki mekanisme koordinasi kebijakan antar-lembaga negara.

Jika PPHN diatur dalam Ketetapan MPR, maka ia bisa menjadi alat untuk menjaga kesinambungan kebijakan pembangunan nasional tanpa melanggar sistem presidensial.

Implikasi:

a. Jika PPHN menjadi bagian dari UUD atau Ketetapan MPR, maka Presiden tetap memiliki kemandirian, tetapi arah kebijakan pembangunan akan lebih terarah.

b. Jika PPHN hanya dalam bentuk Undang-Undang, maka Presiden bisa lebih fleksibel, tetapi ada risiko ketidakstabilan kebijakan antarperiode pemerintahan.

4. Teori Kebijakan Publik dan Perencanaan Pembangunan (Charles Lindblom dan Aaron Wildavsky)

Charles Lindblom dalam teorinya tentang Incrementalism menekankan bahwa kebijakan publik harus berkembang secara bertahap dan berkesinambungan. Sementara, Aaron Wildavsky menyatakan bahwa perencanaan pembangunan nasional yang efektif harus memiliki kerangka kerja jangka panjang yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi sosial-ekonomi.

Jika PPHN hanya dibuat dalam bentuk Undang-Undang, ada risiko bahwa kebijakan pembangunan bisa berubah drastis sesuai dengan pergantian pemerintahan. Oleh karena itu, Ketetapan MPR atau konstitusi akan lebih sesuai untuk memastikan kesinambungan pembangunan nasional.

Implikasi:

a. PPHN dalam UUD atau Ketetapan MPR memastikan adanya arah kebijakan yang tetap tetapi tetap bisa dikembangkan melalui aturan teknis.

b. PPHN dalam Undang-Undang lebih fleksibel tetapi berisiko kehilangan arah karena bisa diubah oleh pemerintahan yang berbeda.

5. Teori Demokrasi Permusyawaratan (Soepomo dan Bung Hatta)

Soepomo menekankan konsep negara integralistik di mana demokrasi didasarkan pada musyawarah dan mufakat. Sementara, Bung Hatta menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus berbasis pada kesejahteraan rakyat dan tidak hanya mengandalkan pemilihan umum.

Jika PPHN diletakkan dalam Ketetapan MPR, maka ini sesuai dengan konsep demokrasi permusyawaratan karena MPR sebagai lembaga perwakilan memiliki kewenangan untuk menetapkan arahan pembangunan jangka panjang.

Implikasi:

a. PPHN dalam Ketetapan MPR akan memastikan bahwa pembangunan nasional tidak bergantung pada siklus elektoral, tetapi tetap mempertimbangkan musyawarah nasional.

b. Jika hanya diatur dalam Undang-Undang, ada risiko bahwa kebijakan pembangunan akan ditentukan hanya berdasarkan kepentingan eksekutif dan bukan hasil musyawarah nasional.

Pilihan Terhadap Bentuk Hukum PPHN 

Berdasarkan komparasi PPHN di negara lain dan teori-teori hukum, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk hukum ideal untuk PPHN adalah Ketetapan MPR, karena:

1. Lebih kuat dibanding Undang-Undang, tetapi tetap fleksibel dibanding UUD.

2. Menjaga keseimbangan dalam sistem presidensial.

3. Memastikan kebijakan pembangunan nasional tidak berubah drastis setiap pergantian pemerintahan.

4. Sesuai dengan sistem demokrasi permusyawaratan yang dianut Indonesia

Selanjutnya, untuk menghidupkan kembali PPHN harus dilakukan dengan amandemen UUD 1945 (terbatas), kenapa amendemen? Karena putusan MK Nomor 66/PUU-XXI/2023 menetapkan MPR tidak dapat menyusun Ketetapan yang bersifat regeling.

Hal yang perlu dilakukan penyempurnaan yakni terhadap kedudukan MPR yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu sudah menjadi suatu keharusan bagi MPR untuk diberikan kewenangannya kembali agar dapat membentuk PPHN sebagai pedoman arah pembangunan nasional yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Amendemen UUD 1945 kelima secara terbatas dilakukan untuk melakukan penambahan wewenang MPR dalam membentuk PPHN khususnya dalam Pasal 3 UUD 1945, Bab khusus tentang Pokok-Pokok Haluan Negara yang merangkum Bab-Bab yang ada dalam UUD 1945 yang sifatnya directive serta melakukan perubahan dalam Aturan Tambahan UUD 1945 untuk menegaskan kedudukan Ketetapan MPR khusus untuk menetapkan secara administratif PPHN.

Ketetapan MPR tentang PPHN tersebut tidak perlu lagi dipahami sebagai “ketetapan” yang merupakan produk regulasi, melainkan cukup dipahami sebagai produk administrasi, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.

 
Implikasi Penerapan PPHN

Penerapan PPHN dalam sistem hukum Indonesia harus mencerminkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan elite politik. Oleh karena itu, mekanisme penyusunannya harus melibatkan partisipasi publik, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan nasional.

Keberadaan PPHN menjadi penting karena dapat menjamin arah pembangunan nasional tetap konsisten meskipun terjadi pergantian pemerintahan.

Tanpa adanya PPHN yang kuat, setiap pemerintahan berpotensi mengubah kebijakan pembangunan secara drastis sesuai dengan kepentingan politik masing-masing. Oleh sebab itu, upaya menghidupkan kembali PPHN melalui amandemen UUD 1945 menjadi langkah strategis untuk memastikan pembangunan nasional yang berkesinambungan.

Dalam penerapannya, PPHN juga harus memiliki mekanisme akuntabilitas yang jelas bagi lembaga negara agar tetap konsisten menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan. Jika PPHN hanya bersifat sebagai pedoman tanpa konsekuensi hukum yang tegas, maka ada risiko bahwa lembaga negara tidak akan merasa terikat dalam implementasinya.

Dari sudut pandang politik dan hukum, pilihan bentuk hukum PPHN akan berpengaruh terhadap stabilitas pemerintahan. Bentuk hukum yang terlalu fleksibel, seperti Undang-Undang, bisa menyebabkan perubahan kebijakan yang terlalu dinamis dan kurang stabil.

Sebaliknya, bentuk hukum yang terlalu kaku juga dapat menghambat adaptasi terhadap dinamika nasional dan global. Oleh karena itu, pemilihan bentuk hukum yang tepat harus mempertimbangkan keseimbangan antara fleksibilitas dan stabilitas.

Dengan mempertimbangkan semua aspek ini, PPHN diharapkan dapat menjadi instrumen yang efektif dalam memastikan kesinambungan pembangunan nasional tanpa mengorbankan stabilitas politik dan sistem ketatanegaraan Indonesia.(***)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
PPHN   DPR RI   MPR RI   I Wayan Sudirta  

Terpopuler