Menimbang Kesiapan Penutupan Lokalisasi Dolly

Pemkot Tahun Depan, Warga Minta Lima Tahun

Senin, 01 Juli 2013 – 19:09 WIB
Momen puasa Ramadan dianggap paling tepat untuk mewacanakan penutupan lokalisasi Dolly. Bagaimana sebenarnya kesiapan warga dan Pemerintah Kota Surabaya?

= = = = = = =

SURAT pemberitahuan dari Pemkot Surabaya tiga bulan lalu membuat Ketua RW VI Putat Jaya Mulyono bingung. Isi surat tersebut singkat saja, yakni pemberitahuan soal rencana Pemkot Surabaya untuk menutup lokalisasi Dolly dan Jarak (lebih dikenal dengan Dolly saja) pada April-Mei 2014.

''Kami kaget karena harus ditutup tanpa ada pemberitahuan bagaimana skema penutupannya,'' papar Mulyono.

Menurut dia, semua warga RW VI Dolly sebenarnya tidak berkeberatan dengan keberadaan lokalisasi Dolly.

''Karena selain sebagian besar menggantungkan hidupnya pada lokalisasi, warga di sini secara sosial sudah mengembangkan adaptasi. Artinya, kami sudah tahu cara membentengi diri dan anak-anak untuk tidak terkena dampak buruk lokalisasi,'' paparnya.

Meski demikian, kata Mulyono, pihaknya juga tidak menolak rencana pemkot tersebut. Dia mengaku memahami alasan lokalisasi Dolly/Jarak harus ditutup. Hanya, dia meminta penutupan tidak dilakukan dalam waktu dekat serta skemanya harus jelas.

''Saya juga sudah berbicara dengan mucikari-mucikari. Mereka pun pasrah. Kalau bisa ada rentang waktu minimal lima tahun dan mereka siap menandatangani kesepakatan untuk tutup dalam rentang waktu itu,'' papar Mulyono.

Hal tersebut juga diamini empat ketua RW lain. Menurut Ketua RW XI Tamsir Yudo Susilo, dengan adanya rentang waktu yang lama, setidaknya pihaknya bisa menyiapkan warga untuk pelan-pelan melepaskan ketergantungan ekonomi terhadap lokalisasi. ''Kami tak menentang penutupan. Bahkan, kami siap membantu program pemerintah. Tapi, tolong beri waktu kepada kami untuk mempersiapkan diri. Kami juga siap bertanda tangan untuk sepakat dengan penutupan,'' tuturnya.

***
Keberatan para ketua RW soal penutupan pada April-Mei 2014 itu sebenarnya lebih disebabkan faktor ekonomi. Pantauan Jawa Pos menunjukkan hal tersebut. Sebab, hampir semua pekerja di tiap wisma dan segala kebutuhan wisma menjadi sumber penghidupan warga.

Misalnya, pelayan atau yang lebih dikenal combe, yakni orang yang menawarkan PSK. Mereka rata-rata berasal dari warga sekitar. Di lokalisasi Dolly saja, ada sekitar 500 orang yang menjadi combe. Bila satu pelayan itu menanggung hidup istri dan dua anaknya, total ada sekitar 2 ribu orang yang menggantungkan hidup dari sisi pelayan saja.

Kemudian, soal cuci baju, seprai, dan sejumlah kebutuhan lain. Semua dicukupi warga sekitar. Simak saja pengakuan Siman, seorang kurir yang mengantarkan baju dan seprai kotor untuk dicuci. Sebagai kurir sederhana seperti itu, dia bisa mengantongi paling sedikit Rp 2,5 juta per bulan. ''Lumayan, soalnya kadang-kadang dikasih laundry-nya dan kadang juga dikasih bos (mucikari, Red),'' tambahnya kemudian nyengir.

Belum lagi, warga setempat yang membuka tempat usaha dan menjadikan Dolly sebagai ''pasar"-nya. Antara lain, toko serbaada, jasa laundry, jasa tempat parkir, dan warung kopi atau depot. Menurut Ketua RW III Ngadiman, rata-rata pendapatan sebuah warung kopi sederhana bisa mencapai Rp 300 ribu per hari. ''Untuk depot yang besar, mungkin lebih besar lagi,'' ucapnya.

Sementara itu, pendapatan dari lahan parkir cukup menggiurkan. Satu lahan parkir yang sebenarnya hanya muat paling banyak enam mobil bisa mengantongi pendapatan paling jelek Rp 300 ribu per malam. Perputaran uang syahwat di lokalisasi Dolly memang luar biasa besar.

Berdasar perhitungan kasar Jawa Pos yang dikumpulkan dari sejumlah wawancara, perputaran uang di Dolly bisa mencapai Rp 1 miliar per malam. Ya, per malam. Perputaran uang di dua lokalisasi (Dolly dan Jarak) tersebut sudah mencapai lebih dari setengah miliar. Itu pun dengan asumsi yang sedikit pesimistis, perhitungan rata-rata tamu mencapai delapan orang per malam. Itu merupakan jumlah yang sudah sangat moderat karena pada praktiknya, tidak sedikit PSK yang mencatatkan rekor tamu hingga belasan orang per malam.

Hal tersebut terutama terjadi saat peak season. Misalnya, malam Minggu atau hari-hari terakhir menjelang puasa seperti ini. Ke lokalisasi Dolly pada pukul 22.00-23.00, akan sangat langka melihat ''ruang pamer" Dolly masih lengkap kolekasinya. Bahkan, untuk PSK-PSK primadona, pelanggan harus antre.

Belum lagi, keberadaan wisma-wisma itu cukup menguntungkan untuk operasi kampung. Besarannya di tiap RW berbeda. Mulai Rp 5 juta hingga Rp 18 juta per bulan. ''Tak ada tarikan iuran lagi di masyarakat. Kami gunakan dana tersebut untuk pembangunan fisik. Ya untuk pembangunan gapura atau sarana masyarakat yang rusak,'' ucap Mulyono. Selain itu, untuk aktivitas PKK seperti vaksinasi dan imunisasi. Belum lagi untuk sumbangan sosial, seperti kematian.

Bagaimana dengan dampak buruk sosial lokalisasi terhadap warga? Lima ketua RW tersebut kompak menjawab, tidak ada masalah apa-apa. ''Memang anak-anak kecil di sini sudah melihat hal yang tak seharusnya dilihat. Orang mabuk joget-joget dengan menggandeng dua-tiga perempuan nakal menjadi hal biasa. Tapi, itu bergantung pada cara kami melindungi anak-anak,'' kata Ketua RW XI Jarak Satohari.

Mereka mengaku sudah punya cara untuk membentengi anak-anak. ''Lihat, bahkan anak saya itu merokok pun tidak mau,'' kata Tamsir seraya menunjuk putranya yang berusia 20 tahun. Menurut dia, ada kecenderungan anak-anak warga asli tersebut selalu tidur awal, paling lama pukul 21.00. Bahkan, Tamsir mengatakan bahwa warganya bisa dibandingkan dengan kampung lain. Tingkat kegiatan masyarakat negatif seperti minum-minum di lingkungannya tergolong minim. ''Memang lingkungan kami tempat minum-minum, tapi kalau mau didata, nyaris tidak ada warga kami yang suka minum,'' tambahnya.

Soal kegiatan agama pun, para ketua RW itu mengklaim tidak ada masalah. ''Sekarang datang saja sore. Akan terlihat seperti di kampung-kampung biasa. Kegiatan TPA di musala-musala berjalan, tidak ada masalah,'' tambahnya.

Jadi, menurut para ketua RW tersebut, kalau bisa pemerintah tidak memaksakan penutupan lokalisasi Dolly/Jarak dalam jangka waktu kurang dari setahun. ''Apakah pemkot bisa mengganti nafkah para warga? Kalau memang bisa, saya yang akan maju pertama melakukan penutupan,'' tegas Mulyono. Dengan menganggap bahwa tidak ada permasalahan serius soal kegiatan agama dan sosial, ditambah dengan ketergantungan ekonomi seperti itu, bukan hal yang mengherankan para ketua RW tersebut menyampaikan keberatannya.

Kini pemkot tinggal mengajak warga berbicara secara intensif. Kapan waktu paling tepat untuk menutup lokalisasi yang pernah disebut-sebut sebagai yang terbesar di Asia tersebut. Termasuk, bagaimana skema penutupannya. (ano/c7/nw)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyaluran BLSM, Staf Kantor Pos dan Lurah Nyaris Bentrok

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler