Anak-anak WNI di Tupi, Mindanao Selatan, Filipina, terpaksa belajar di sekolah milik pemerintah setempat. Akibatnya, mereka semakin tidak mengenal negeri nenek moyang sendiri. Berikut bagian terakhir tulisan wartawan Jawa Pos M. HILMI SETIAWAN yang mengikuti kunjungan Mendikbud Mohammad Nuh di Mindanao pekan lalu.
= = = = = = = = =
TUPI adalah kota kecil dan terpencil di kawasan Mindanao Selatan. Bila di Indonesia, kota itu bisa disejajarkan dengan kota kecamatan. Jalan-jalan tak seramai di Davao City, apalagi Manila, ibu kota Filipina.
Tak banyak gedung bertingkat. Untuk menuju ke sana, diperlukan waktu sekitar lima jam lewat jalan darat atau 45 menit penerbangan dari Davao City, kota terbesar di kawasan Mindanao Selatan.
Di Tupi, sedikitnya seribu warga negara Indonesia (WNI) hidup dan beranak pinak. Nenek moyang mereka sudah puluhan tahun menetap di kota kecil itu. Meski begitu, mereka tetap berkewarganegaraan Indonesia, tidak pindah menjadi warga Filipina.
Letak Pulau Mindanao di ujung selatan Filipina relatif dekat dengan Manado, Sulawesi Utara. Dengan pesawat, pulau itu bisa ditempuh dalam dua jam perjalanan. Kenyataan itulah yang mempermudah orang Manado "keluar-masuk" Mindanao. Apalagi, kini sejumlah maskapai membuka jalur penerbangan Manado"Davao City setiap hari.
Kendati begitu, hingga kini masyarakat Indonesia di Tupi belum pernah sekalipun mendapat kunjungan dari pejabat tanah air. Karena itu, ketika Mendikbud Mohammad Nuh berkunjung ke Tupi, Minggu (25/11), masyarakat Indonesia pun menyambut sukacita. Nuh mengunjungi Tupi untuk meresmikan dua SMP terbuka milik pemerintah Indonesia di Filipina. Yaitu, SMP Terbuka Tupi dan Laensasi.
Setelah mendarat di Bandara General Santos City, Mindanao Selatan, rombongan langsung diarak menuju Tupi dengan iring-iringan mobil sekitar sejam perjalanan. Berbeda dari kunjungan ke Davao (berita sebelumnya,red) rombongan Mendikbud di Tupi mendapat pengawalan ekstraketat. Ada satu regu petugas kepolisian setempat yang bersenjata lengkap mengendarai jip terbuka di bagian depan. Selain itu, ada dua prajurit TNI yang berdinas sebagai petugas pemantau perdamaian pemerintah Filipina dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Menurut Juadiong, anggota polisi Filipina, kawasan Tupi cukup dekat dengan basis MILF. Karena itu, perlu penjagaan ekstra untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. "Kami tidak ingin ambil risiko, meski di kawasan ini juga dekat markas militer Filipina," ujar Juadiong.
Sepanjang perjalanan dari Bandara General Santos City menuju lokasi SMP Terbuka Tupi, jalan mulus. Dalam jarak tertentu, terdapat pos militer dengan personel yang berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Iring-iringan rombongan menarik perhatian warga di pinggir jalan.
Suasana berubah cair begitu sampai di lokasi peresmian. Rombongan menteri disambut tarian kuda lumping. Meski seni tradisi itu cukup ngetop di Indonesia, tak banyak WNI di Tupi yang mengenal sebelumnya. Jadi, mereka tampak heran melihat tarian dengan iringan musik gamelan tersebut.
Kondisi bangunan SMP Terbuka Tupi yang diresmikan M. Nuh amat sederhana. Luasnya sekitar 4 x 8 meter. Sebagian dindingnya tembok, sebagian lainnya masih terbuat dari anyaman bambu (gedhek). Atapnya dibuat dari seng. Karena itu, bila matahari menyengat, ruang kelas di bawahnya jadi gerah.
Sebelum diresmikan, sekolah tersebut beroperasi sekitar dua bulan. Menurut Konjen RI di Davao Eko Hartono, SMP Terbuka Tupi melayani pendidikan bagi anak-anak WNI yang kurang mampu. Sementara itu, SMP Terbuka Laensasi ditujukan untuk mewadahi anak-anak 900 WNI yang tinggal di kawasan itu. Dua sekolah tersebut hanya buka pada Sabtu dan Minggu. "Senin sampai Jumat, anak-anak bersekolah di SMP Filipina," katanya.
Setelah pita digunting, sejumlah anak WNI di Tupi langsung mengisi meja di kelas itu. Mereka cepat-cepat mengambil buku pelajaran berbahasa Indonesia, lalu membacanya di depan para tamu. Namun, mereka tampak malu-malu sehingga suaranya hanya lirih.
"Mereka bisa membaca, tetapi tidak bisa berbahasa Indonesia. Mungkin malu kalau salah," ujar Daini Wirasti, tutor SMP Terbuka Tupi.
Perempuan kelahiran Bandung, 9 April 1963, tersebut menyatakan, WNI di Tupi memang boleh menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Filipina. Tetapi, kurikulum atau mata pelajarannya harus mengikuti ketentuan pemerintah Filipina. Wajar bila mereka tidak mengenal sejarah Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945.
"Bahkan, banyak yang tidak tahu bendera Indonesia atau lambang negara Garuda. Maklum, mereka tidak pernah mendapat pelajaran tentang Indonesia," paparnya.
Karena itu, agar anak-anak tersebut tidak "loss contact" dengan negaranya, pemerintah Indonesia membuka SMP Terbuka di Tupi dan Laensasi. "Untungnya anak-anak ini semangat," tutur PNS (pegawai negeri sipil) yang harus merantau di negeri orang itu.
Di SMP terbuka itu, anak-anak WNI tidak dibebani banyak pelajaran. Selain pelajaran bahasa Indonesia, mereka diajari kursus pengetahuan Indonesia dasar (KPID). Pengetahuan tersebut berisi tentang UUD 1945, Pancasila, serta budaya Indonesia.
Istri Dian Andipriatna itu menyatakan, pengajaran bahasa Indonesia menjadi yang utama. "Kemampuan berbahasa Indonesia anak-anak itu benar-benar nol," katanya.
Hal tersebut, tambah Daini, terjadi karena mereka lahir dari orang tua yang juga lahir di Filipina. Nenek moyangnya dulu tidak pernah mengajari dan membiasakan anak-anaknya untuk berbahasa Indonesia.
Koordinator SMP Terbuka Tupi Nanang Sumanang mengungkapkan, saat ini ada 83 siswa anak WNI yang terdaftar di sekolahnya. "Sebelumnya, jika hari libur (Sabtu dan Minggu, Red) anak-anak itu ikut membantu orang tua bekerja sebagai pemetik kelapa, kopra, atau di kebun nanas," jelasnya.
Lulusan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu berharap semakin banyak anak WNI di Tupi yang mau bersekolah di SMP terbuka. Dengan cara tersebut, anak-anak itu tidak kehilangan jati diri mereka sebagai WNI.
"Kalau saya tanya, anak-anak itu selalu menjawab bahwa dirinya orang Indonesia. Tapi, mereka mengaku tidak tahu banyak tentang Indonesia," terang dia.
Nanang menambahkan, di Tupi, ada beberapa bahasa yang digunakan warga. Di antaranya, bahasa Sangir, Tagalog, Inggris, dan Bisaya. Tidak ada yang menggunakan bahasa Indonesia. "Mudah-mudahan beberapa tahun lagi bahasa Indonesia berkembang di Tupi," harap dia.
Selain soal minimnya pembelajaran tentang Indonesia, tantangan yang harus ditangani pemerintah Indonesia adalah mengentas warga dari kemiskinan di negeri jiran itu. Sebab, WNI di Tupi tidak bisa mendapat akses untuk bekerja di lembaga-lembaga formal. Mereka menjadi warga kelas ketiga, sehingga sulit memperoleh penghasilan yang layak.
Umumnya mereka bekerja di sektor perkebunan sebagai pemetik kelapa, kopra, nanas, atau menjadi nelayan. Dengan kondisi seperti itu, WNI di Tupi hanya bisa tinggal di rumah-rumah sangat sederhana berdinding anyaman bambu, beratap ijuk, dan berlantai tanah.
Mendikbud Mohammad Nuh mengaku prihatin atas kondisi WNI di perantauan itu. Dia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia segera melakukan remigrasi WNI di luar negeri. Upaya itu bisa dijalankan jika program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) berjalan mulus. Dengan MP3EI, diharapkan bisa tumbuh kawasan-kawasan industri baru dan bisa menarik para WNI yang selama ini tinggal dalam kemiskinan di negeri tetangga.
Untuk pendidikan para WNI, Nuh akan menggerakkan mahasiswa program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) ke basis WNI di luar negeri. "Sekarang mereka masih di kawasan Indonesia terluar. Setelah ini akan kami giring mereka untuk mengajar di negara tetangga yang berbatasan dengan Indonesia," ungkap menteri asal Surabaya itu. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fenny Martha Dwivany, Penemu Formulasi Pelambatan Pematangan Pisang
Redaktur : Tim Redaksi