Menjadi Pak RT di Masa Pandemi

Oleh: Muhammad Muchlas Rowi, Ketua RT 10/RW 14 Cakung Timur dan Komisaris Independen PT Jamkrindo

Senin, 12 Juli 2021 – 21:59 WIB
Komisaris Independen Jamkrindo Muhammad Muchlas Rowi. Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com - MINGGU pon dini hari, bulan Juli 2021. Gawai layar lipat saya berbunyi lagi. Saya sedikit tegang, gegara ramai kabar duka berseliweran tak tau waktu.

Saya beranikan untuk membukanya. Betul saja, seorang warga menanyakan cadangan oksigen. Sembari mengabarkan jika saturasi oksigen isterinya menurun drastis.

BACA JUGA: Cara PT LIB Turut Ringankan Beban Masyarakat di Tengah Pandemi Covid-19

“Malam Pak RT, saya mau menanyakan apakah ada oksigen untuk isi ulang. Istri saya saturasinya turun jadi perlu dibantu oksigen,” kata salah satu warga Jakarta Garden City (JGC), melalui pesan whatsup.

Malam sudah larut, hampir jam 1. Tapi situasi sangat darurat dan keselamatan warga nomor satu. Akhirnya saya putuskan untuk mengontak Posko RW 14. Saya minta disiapkan pertolongan pertama berupa pemberian oksigen untuk salah satu warga. Tak butuh waktu lama, oksigen pun terkirim ke rumah warga.

BACA JUGA: Puan Maharani Ajak Masyarakat Bersatu dan Optimistis Hadapi Pandemi

Sejak PPKM diberlakukan, kami warga RW 14 Perumahan JGC dengan sigap telah menyiapkan stock oksigen untuk warga yg membutuhkan pertolongan di kala emergency. Khusus di RT saya, kami siapkan satu tabung berukuran besar dan satu ukuran kecil. Tak lupa vitamin dan obat generik. Sekadar jaga-jaga, jika situasi darurat.

Bagi penyintas Covid-19 seperti saya, tidur terlalu larut sebetulnya bisa bikin pikiran jadi kalut. Ada juga yang bilang makin mendekatkan dengan maut. Karena itu, usai memberi sedikit bantuan, saya kembali ke peraduan. Tak tau jam berapa.

BACA JUGA: Sally Varsly Rutin Berbagi Tips untuk Kesehatan dan Olahraga selama Pandemi

Hingga akhirnya, saya kembali terbangun oleh suara gawai yang memekik lagi. Ada dua kabar kurang baik. Seorang warga tetiba tutup usia. Kabar lainnya, satu keluarga dinyatakan positif Covid-19. Betul-betul bagai mimpi buruk di pagi hari.

Menjadi RT di tengah pandemi memang tak mudah. Apalagi di tengah kesibukan lain baik karena pekerjaan yang tetap menumpuk, tugas kuliah yang menggunung, maupun jadwal mengajar yang berderet-deret.

Namun sebagai insan BUMN, kita harus menjadi pionir di tengah masyarakat. Sementara sebagai aktivis Muhammadiyah dan mantan relawan akar rumput Jokowi, saya sadar betul jika dalam situasi seperti apa pun kita harus tetap berusaha jadi panutan (role model) dan agen perubahan (agen of change) dalam implementasi protokol kesehatan. Baik di lingkungan keluarga, pekerjaan, maupun kehidupan masyarkat.

Itulah mengapa, ketika mendapat kabar kurang baik dari para warga, saya buru-buru menghubungi Ketua Satgas RW 14, Aan Afandi namanya. Kami putuskan segera memberi kabar duka, lalu berkoordinasi untuk proses pemulasaran. Kami kembali berduka dan harus menambah kesigapan. Agar korban tak lagi bertambah.

Saat semua fasilitas kesehatan nyaris ambruk, karena pasien Covid-19 yang terus membludak, dan tenaga kesehatan yang kelelahan, semua pihak diharapkan ikut berkontribusi. Apalagi bagi seorang Ketua RT (seperti saya).

Tidak bisa kita hanya menunggu, sementara kabar duka tak lagi cuma datang dari pengeras suara masjid, atau grup-grup whatsup. Tapi dari sebalik dinding rumah tetangga. Kian hari, kabar itu makin dekat. Sanak kerabat, hilang bergantian.

Hingga Minggu, 11 Juli 2021, total jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah mencapai 2,5 juta orang. Kasus baru pasien Covid-19 sudah mencapai 36,2 ribu perhari, dan angka kematian mencapai 1000 orang per hari. Angka ini diprediksi akan naik terus, bahkan hingga Agustus mendatang.

Apalagi merujuk pada informasi dari Tim Mitigasi PB IDI, di tengah lonjakan kasus Covid-19, rumah sakit dan tenaga kesehatan saat ini telah mengalami fungtional collapes. Ini terjadi gegara banyak nakes terpapar Covid-19. Kekurangan obat, alat kesehatan lalu ikut gugur di tengah ‘medan tempur’.

Saat ikut mengevakuasi warga yang meninggal karena terpapar Covid-19, saya merasakan betul bagaimana sulitnya. Saya dituntut untuk melakukan koordinasi secara cepat, agar jenazah bisa dievakuasi dan mendapatkan fasilitas pemulasaran dari Puskesmas atau Rumah Sakit.

Tapi ternyata itu tidak gampang. Karena sebelum bisa dievakuasi harus ada upaya medis yang memastikan kematian si pasien. Jika tidak ada upaya medis, maka tidak ada evakuasi, begitu juga tidak ada surat keterangan kematian dan pemulasaran.

Untunglah salah satu warga yang kebetulan berprofesi sebagai dokter sudi untuk terjun dan melihat kondisi jenazah. Dokter yang juga merupakan isteri saya ini, harus memakai APD dan memastikan kondisi jenazah. Setelah dilakukan upaya medis, Jenazah pun akhirnya dapat dievakuasi dan mendapat fasilitas pemulasaran. Syukur alhamdulillah.

Saya sungguh tak bisa membayangkan, jika hal serupa terjadi di tempat lain. Apalagi di luar Jakarta. Yang sudah-sudah, pihak keluarga malah diinterogasi dan diintimidasi. Nir solidaritas, miris sekali.

Di tengah situasi yang amat sulit seperti saat ini, Ketua RT dituntut untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan di tengah masyarakat. Mereka harus dibangun rasa solidaritasnya, untuk saling bantu antar sesama.

Bersama Ketua RW, Ketua RT perlu melakukan edukasi kepada warga. Jangan sampai Covid-19 dianggap sebagai aib. Sehingga bisa saling terbuka dan menolong.

Tanpa keterbukaan informasi, situasi malah jadi lebih sulit. Terjebak di balik jendela, tanpa suplai obat maupun makanan. Alih-alih sembuh, pasien isolasi mandiri bisa-bisa ngedrop lalu tutup usia.

Presiden Joko Widodo dalam beberapa kali Rapat Terbatas Laporan Gugus Tugas di Istana Merdeka sudah menekankan betapa pentingnya mengefektifkan peran kelurahan, desa, hingga RT dan RW untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang kian mengganas.

Kuncinya, kolaborasi antara gugus tugas RT/RW dengan Pusat Kesehatan terdekat (Puskesmas). Identifikasi, pendataan dan pelaporan terhadap warga dengan gejala Covid-19 ke perangkat RW menggunakan perangkat online. Lalu laporkan ke Puskesmas setempat.

Saya sangat setuju dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, jika kita harus ambil bagian menjadi pejuang di garis depan melawan wabah Covid-19.

Apalagi jika melihat tenaga medis dan rumah sakit sebagai benteng terakhir amat kewalahan saat ini. Kita semua harus bergerak. Mengembalikan spirit awal dibentuknya organisasi level terendah, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).

Apalagi sejatinya, penanganan wabah, atau situasi darurat melalui organisasi level terendah yang dahulu bernama tonarigumi, telah membuktikan efektivitasnya sejak lama. M. C. Ricklefs adalah seorang ahli sejarah, dalam bukunya ‘Sejarah Indonesia Modern’ pernah bilang, jika Tonarigumi berguna untuk ‘mengorganisasikan seluruh penduduk menjadi sel-sel yang terdiri atas sepuluh hingga dua puluh keluarga untuk mobilisasi, indoktrinasi dan pelaporan.

Sementara menurut catatan Pakar Ketimuran berkebangsaan Perancis, Denys Lombard RT dan RW erat kaitannya dengan keamanan dan pengawasan setelah Indonesia Merdeka. Sistem ini memungkinkan sebuah pengawasan super ketat dari warga masyarakat. Meski raison d’etre-nya adalah pertahanan sipil, namun di masa Pandemi Covid-19 sistem ini dapat menjadi lebih efisien.

Dalam konteks penanganan wabah Covid-19, melalui sistem ini kita bisa melakukan koordinasi tanpa tatap muka atau online dengan warga. Betul bahwa koordinasi ini bisa dilakukan dalam bentuk grup-grup whatsup. Tapi tanpa kepemimpinan yang terstruktur, komunikasi pun jadi buntu dan nir solusi.

Lewat sistem tonarigumi, program vaksinasi juga dapat didorong lebih kuat. Edukasi bisa dilakukan secara daring, lalu praktinya bisa dilakukan secara luring.
Proses identifikasi dan pendataan juga dapat dilakukan lebih mudah melalui sistem ini. Kita bisa mengkategorisasi warga dengan gejala dan warga dengan resiko tinggi Covid-19. Sementara melalui upaya serupa, kita juga bisa menetapkan mana warga yang telah terpapar yang laik melakukan isolasi mandiri. Sehingga tak perlu harus ke rumah sakit.

Hal paling penting yang bisa kita lakukan melalui sistem ini adalah mengedukasi warga agar tidak memberi stigma buruk terhadap warga yang terpapar virus Covid-19. Terkena Covid-19 bukanlah aib, melainkan musibah. Ini bisa kita lakukan lewat WAG, agar lebih efektif.

Melapor ke layanan kesehatan terdekat juga upaya penting lain yang bisa dilakukan di sistem ini. Ini dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa para pasien Covid-19 harus dibawa ke rumah sakit. Di era terkini, apalagi jika gejala ringan, semua bisa dilakukan secara online. Apalagi ada informasi berbasis tonarigumi tadi. Konsultasi bisa dijadwalkan dan dilakukan secara daring, lalu obat bisa dibuatkan sesuai gejala.

Pada akhirnya, kepekaan dan kepedulian lah yang akan sangat menentukan. Apakah kita bisa melewati wabah yang gila-gilaan ini lebih cepat. Atau menunggu semua orang terkena, dan sistem alam bekerja. Menseleksi orang-orang terdekat kita. Yang kuat bertahan, yang lemah hilang selamanya. (***)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler