jpnn.com - JAKARTA - Realisasi inflasi 3,29 persen sebagai akibat dari kombinasi kenaikan harga BBM bersubsidi dan kacaunya suplai pangan, tidak sepenuhnya merisaukan pemerintah. Menkeu Chatib Basri menyebut realisasi inflasi pada sepanjang bulan Juli tersebut bukan berarti kiamat.
"Ini (inflasi) hanya sementara. Kadang-kadang dibikin beritanya terburuk sejak 1998. Nggak, waktu menaikkan BBM pada 2005, inflasinya satu bulan sampai 8 persen. Ini 3,29 persen, jadi nggak kiamat,"jelas Chatib di Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin (2/8).
BACA JUGA: Dahlan Iskan Minta AP II-Garuda Menahan Diri
Chatib memaparkan, inflasi yang cukup tinggi pada bulan Juli dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM pada 22 Juni lalu. Namun, inflasi akibat BBM tersebut sudah diperkirakan pemerintah. Yang tidak diprediksi, lanjutnya, adalah inflasi yang diakibatkan kacaunya suplai bahan pangan. Bahkan, faktor kedua tersebut menyumbang cukup besar untuk inflasi bulan lalu.
"Yang tidak terdua itu inflasi bahan pangan. Kalau dilihat dari inflasi kemarin (3,29) kontribusi makanan itu 6,88 sampai 6,9. Berarti efek dari BBM itu hanya sekitar 2 sekian, dan itu sesuai yang kita prediksi,"paparnya.
BACA JUGA: BNI Siapkan 6 Ribu Kursi Mudik Gratis
Meski begitu, Chatib menuturkan, berdasar prediksi, inflasi sebesar 3,29 persen tersebut tidak akan bertahan lama. Pada bulan ini, diperkirakan inflasi masih akan tinggi, karena masih ada efek kenaikan BBM. Namun, pada bulan September, dia menyatakan kemungkinan inflasi akan menurun, sehingga konsumsi masyarakat akan kembali stabil.
"Tapi September akan balik normal. Dengan inflasi yang balik normal, maka konsumsi rumah tangga didorong. Kedua sekarang Kemenkeu akan memikirkan, apa yang bisa dilakukan untuk dorong konsumsi rumah tangga. Lalu, pengeluaran pemerintah akan dipercepat. Juli kemarin sudah ada gaji ke-13, tentu akan berpengaruh kepada konsumsi rumah tangga,"jelasnya.
BACA JUGA: AP II Merasa Disudutkan Garuda Indonesia
Ditanya soal target pertumbuhan ekonomi, Chatib mengaku pesimis. Dia tidak yakin pertumbuhan ekonomi bakal tercatat di level 6,3 persen. Apalagi, pada semester satu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 5,8 persen.
"Sekarang dari kondisi ini kita harus realistis. Kelihatannya 6,3 persen agak susah dicapai. Ada risiko bahwa pertumbuhan ekonominya di bawah 6,3 pesen karena 1 semester perkiraaan Kemenkeu tadinya sekitar 6 sampai 6,1 persen sekarang sekitar 5,9 persen,"paparnya.
Chatib menegaskan, bukan tidak mungkin bagi pemerintah untuk mengejar target tersebut. Namun, diperlukan upaya cukup keras untuk mewujudkan hal tersebut. " Jadi kalau mau tumbuh 6,3 persen semester II-nya harus tumbuh tinggi sekali. Rasanya memang ada risiko 6,3 persen tidak dicapai. Tapi kita mau coba kejar suapaya bisa tumbuh di atas 6 persen," katanya.
Chatib menyebutkan pertumbuhan yang rendah ini disebabkan perlambatan investasi yang tumbuhnya hanya sekitar 4,67 persen. Selain itu konsumsi rumah tangga juga dinilai masih rendah, di sekitaran 5,2 persen. Menurut dia, persoalan investasi tersebut memang butuh waktu."Kalau investment tentu ini butuh waktu, streamlining, penyerdahanaan izin kan sudah dilakukan. Tapi efeknya, yang paling immediate adalah konsumsi, konsumsi rumah tangga," imbuh dia.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menutup mata bahwa diperlukan upaya keras untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen. SBY mengakui bahwa capaian pertumbuhan ekonomi kuartal II sebesar 5,81% atau semester I 2013 sebesar 5,92% telah sesuai dengan perkiraan Pemerintah. Karena itu,menurut dia, perlu dilakukan upaya-upaya khusus, sehingga target tersebut bisa tercapai.
"Saya juga dapat laporan dari BPS pertumbuhan ekonomi kita, sudah kita perkirakan sebenarnya. Namun demikian dengan hasil pertumbuhan sekarang ini, maka kita harus melakukan langkah-langkah yang tepat agar keseluruhan pertumbuhan tahun ini tidak terlalu meleset dari yang kita rencanakan," kata SBY ketika membuka sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, kemarin.
SBY menilai perkiraan asumsi dan ekonomi makro Indonesia pada 2014 oleh BPS perlu ditindaklanjuti dengan menyusun asumsi makro secara lebih realistis. Untuk itu, dia meminta jajaran perekonomiannya jangan pura-pura tidak tahu tentang perekonomian dunia yang berpeluang mengancam ekonomi Indonesia.
"Jadi, lebih bagus kita menyadari bahwa seluruh dunia memang ekonomi sedang susah, semua sedang drop, menurun, bahkan ada yang minus. Jangan kita pura-pura tidak tahu bahwa keadaan dunia juga berpengaruh langsung kepada ekonomi kita. Kalau kita tahu, kita menceritakan keadaan yang sebenarnya, maka dalam merumuskan asumsi dan smua perencanan pembangunan akan tepat," urainya. (Ken)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Stok Aman, Harga Mungkin Naik Lagi
Redaktur : Tim Redaksi