Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, sampai saat ini, pemerintah belum memiliki rencana untuk menaikkan harga. "Tapi, upaya pengendalian (konsumsi) harus dilakukan," ujarnya kemarin (11/12).
Upaya pengendalian tentu merujuk pada pembatasan konsumsi BBM subsidi, terutama oleh mobil pribadi. Menurut Agus, dirinya sudah mendapatkan rekomendasi dari Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang menyarankan pemerintah agar mengambil opsi melarang konsumsi BBM subsidi untuk mobil pribadi, daripada menaikkan harga. "Pemerintah setuju dengan rekomendasi KEN untuk mengevaluasi subsidi BBM," katanya.
Karena itu, lanjut dia, saat ini pemerintah sudah mengevaluasi pendanaan untuk rencana pembatasan konsumsi yang akan dijalankan oleh Pertamina. Sebagaimana diketahui, Pertamina kini menyiapkan rencana pembatasan konsumsi BBM subsidi oleh mobil pribadi. Caranya, dengan menggunakan perangkat IT (information technology) untuk mendeteksi kuota BBM subsidi yang berhak dibeli.
Agus menyebut, Pertamina sudah mengajukan permintaan dana sebesar Rp 800 miliar untuk membangun sistem IT di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Indonesia. Namun, menurut dia, dana tersebut terlalu besar. "(anggaran) itu harus diperiksa kembali," ucapnya.
Agus mencontohkan, perusahaan ritel sebesar Unilever atau perusahaan titel lain yang juga mengembangkan sistem IT untuk mengawasi distribusi produknya di seluruh Indonesia, membutuhkan dana yang lebih sedikit atau tidak sampai Rp 800 miliar. "Anggaran IT mereka jauh lebih rendah dari harga (yang disampaikan Pertamina) itu," jelasnya.
Mantan direktur utama Bank Mandiri itu menegaskan, dalam pembahasan kebijakan BBM bersubsidi, yang terpenting saat ini adalah, semua unsur pemerintah tidak boleh memberikan informasi-informasi yang bisa memicu gejolak.
Itulah yang menjadi alasan pemerintah untuk tidak mendahulukan opsi kenaikan harga, meskipun UU APBN 2013 memberikan kewenangan penyesuaian harga jika terjadi gejolak ekonomi.
"Kalau kita bahas kenaikan harga BBM, di masyarakat timbul gejolak sehingga (memicu) inflasi tinggi. (nanti kalau) sudah berdampak pada inflasi, ternyata (harga BBM) tidak jadi naik, ini masyarakat jadi tambah sulit," jelasnya.
Sementara itu Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro, menilai PT Pertamina tetap harus membayarkan dividen meski harus menalangi pembelian BBM subsidi tambahan sebesar Rp 6 triliun. "Itu kan konsekuensi usaha, pengorbanan yang harus dilakukan. Dan perusahaannya tidak akan langsung bangkrut kok," ujarnya.
Menurutnya, Pertamina telah mendapat keuntungan dalam tiap distribusi BBM subsidi. Oleh karena itu, permintaan Pertamina untuk menunda pembayaran deviden seharusnya tidak perlu.
"Penundaan pembayaran dividen, hanya akan berdampak pada berkurangnya penerimaan negara dari sisi PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Nanti PNBP-nya short," tukasnya.
Seperti diketahui, PT Pertamina meminta penundaan pembayaran dividen sebagai kompensasi karena harus menalangi Rp 6 triliuun akibat jebolnya kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pertamina beralasan pembayaran dana talangan tersebut membuat besaran modal yang dimilikinya tergerus sehingga sulit untuk melakukan ekspansi usaha.
Sementara itu, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya Yuktyanta tetap meminta supaya pembayaran dividen bias ditunda. Menurutnya, selain harus menalangi pemerintah, Pertamina juga memiliki tugas untuk menjaga BBM subsidi supaya tepat sasarn.
"Banyak yang tidak tahu diri, naik BMW pakai premium, sayangnya tidak ada payung hukum yang melarang mereka," jelasnya. (owi/wir)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan : Proyek BUMN Tak Boleh Batal
Redaktur : Tim Redaksi