Menkeu mengatakan, dalam UU Perbankan dinyatakan setiap penghimpunan dana masyarakat mesti di bawah supervisi Bank Indonesia (BI). Dengan dilepasnya fungsi pengawasan kepada OJK, LKM juga harus di bawah pengawasan lembaga baru itu. Namun, dengan memperhatikan karakteristik khusus dari LKM, otoritas pengawasan bisa didelegasikan ke kepala daerah.
"Pemda-pemda itu menjalankan aktivitasnya atas dasar otorisasi dari OJK. Ini untuk meyakinkan LKM mempunyai prinsip-prinsip dasar yang aman dan efisien," kata Menkeu. Agus mengakui, selama ini pun BI juga belum mengawasi LKM secara keseluruhan. Namun ke depan, peran OJK tetap diperlukan dengan mendelegasikan kewenangan kepada pemda.
Menurut Agus, LKM harus segera ditata pemerintah. "Supaya menjalankan praktik-praktik sehat agar melindungi konsumennya," kata Agus. Saat ini, ada 600 LKM yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Ada banyak macam LKM yang tumbuh di masyarakat dengan berbagai nama. Mulai Koperasi Simpan Pinjam, Lumbung Desa, "hingga Baitul Mal Wat Tamwil.
Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan ide awal dari pembentukan RUU LKM adalah banyaknya masyarakat yang mengalami diskriminasi finansial. "Mereka tidak punya akses ke perbankan karena pembiayaan perbankan konvensional harus berbasis kolateral," kata Hendrawan.
Dia mengatakan, bank konvensional tidak mampu menyesuaikan kebutuhan riil masyarakat marjinal. Khususnya, kebutuhan untuk keperluan darurat dan melekat pada siklus hidup dan pekerjaan masyarakat. Untuk itu, pengawasan LKM tidak bisa disamakan dengan bank konvensoonal. "Kita ingin keluar dari sistem konvensional," katanya.
Hendrawan menyebut, banyak kekhasan di LKM. Ia mencontohkan Badan Usaha Milik Desa di sejumlah desa di Jawa Tengah dan Bali yang bergerak di usaha simpan pinjam. "Bahkan Kemendagri telah memilih badan usaha milik desa itu sebagai proyek- proyek percontohan. Dalam konteks itu, mari kita bikin inovasi," kata Hendrawan. (sof/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Era Baru Penjualan Gypsum
Redaktur : Tim Redaksi