Menkumham Desak Likuidasi Pengadilan Tipikor Daerah

Selasa, 21 Agustus 2012 – 12:49 WIB
JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menilai penangkapan dua dua hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi momentum evaluasi keberadaan pengadilan tipikor di 33 ibukota provinsi. Amir menilai pengadilan tipikor sebaiknya dipusatkan di Jakarta untuk mempermudah pengawasan.

"Dengan kejadian ini, saya kira sudah saatnya untuk dilakukan evaluasi (keberadaan Pengadilan Tipikor) kembali. Saya sebenarnya termasuk yang sangat setuju tipikor terpusat di Jakarta meskipun banyak yang menentang karena wilayah kita yang begitu luas," kata Amir di rumah dinasnya, Senin(20/8).

Amir juga menilai penangkapan hakim Kartini Juliana Magdalena Marpaung dan hakim Heru Kisbandono juga menjadi momentum evaluasi proses seleksi hakim ad hoc. Selain pembenahan proses rekrutmen untuk menjaring hakim nonkarir yang lebih bermoral, perlu juga dilakukan pendidikan berkesinambungan bagi hakim ad hoc.

Kartini adalah hakim ad hoc Pengadilan Tipikor angkatan pertama yang direkrut pada 2009. Saat ini dia bertugas di PN Semarang. Sementara, Heru Kisbandono adalah hakim ad hoc rekrutan angkatan ketiga yang bertugas di PN Pontianak.
Menkumham mengatakan, seorang calon hakim karir harus menempuh  proses pendidikan dengan jenjang karir yang panjang dan berliku sebelum dapat menjadi pengadil. Proses tersebut tidak dijalani hakim ad hoc yang hanya menjalani pendidikan dan pelatihan dalam waktu singkat di Pusat Pendidikan dan Latihan Mahkamah Agung di Megamendung, Kabupaten Bogor.

"Proses seleksi dan pendidikan bagi hakim ad hoc tidak boleh dianggap remeh lantaran menyangkut pemberantasan korupsi ke depan. Seorang hakim tipikor tidak boleh instan. Kalau instan, hasilnya akan jauh dari harapan," tegasnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashiddiqie juga menilai seleksi calon hakim menjadi titik kunci proses pengadilan. Bila hakim yang direkrut berintegritas dan menguasai teknis judisial, kelemahan dakwaan jaksa maupun kelihaian pengacara dalam membeber alibi tidak akan bermanfaat bagi koruptor.

"Kalau hakimnya bisa dipercaya, tidak ada gunanya koruptor membayar jaksa dan membayar advokat dengan cara yang tidak benar. Semua terpulang pada kejernihan hakim dalam memutus perkara," terang Jimly.

Jimly menilai penangkapan dua hakim ad hoc tersebut menggoyahkan harapan pada spirit baru dunia peradilan yang lebih dapat dipercaya karena masuknya hakim-hakim baru yang dinilai tidak terkontaminasi praktik buruk hakim-hakim karir.

"Semula kami berharap hakim ad hoc adalah spirit baru yang dimasukkan ke dalam dunia kehakiman karena dunia kehakiman kurang bisa dipercaya, sekarang justru hakim ad hoc yang kayak gitu," keluhnya.

Dukungan likuidasi Pengadilan Tipikor di daerah juga disuarakan Komisi Hukum  DPR. Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menilai pengadilan tipikor sebaiknya dikurangi sehingga hanya berada di kota-kota besar saja, seperti Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. "Risiko berupa membengkaknya biaya perkara memang tidak bisa dihindari. Semua pilihan memang berisiko, tidak ada yang nol risiko," katanya.

Selain mempermudah kontrol, pengurangan Pengadilan Tipikor juga untuk mengurangi dampak buruk akibat rekrutmen hakim yang serampangan."Kontrol yang sulit itu jadi problemnya. Itulah mengapa kami tidak menyetujui pendirian KPK di daerah," tuturnya.

Namun, politisi PDIP ini menegaskan pendirian Pengadilan Tipikor di seluruh provinsi tetap harus dilaksanakan sebab hal tersebut merupakan perintah UU No 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. "Kalau menurut saya sebaiknya di kota-kota besar saja. Karena itu perlu dilakukan revisi UU No 46 tahun 2009 tersebut," terangnya. (ken)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mari Elka Pangestu Kecanduan Diving

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler