jpnn.com - TOLI - TOLI - Percepatan pembangunan di Indonesia seringkali tidak dibarengi dengan kesiapan untuk menekan efeknya. Konsentrasi pembangunan yang lebih mengedepankan ekonomi dan teknologi tidak dibarengi dengan aspek sosialnya.
"Ada kesan efek yang muncul karena ketidaksiapan bertarung dalam perubahan. Ini menjadi persoalan karena Indonesia memilih perubahan secara revolusioner, sementara masyarakatnya berubah secara evolusioner," kata Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri kepada JPNN, Kamis (3/4).
BACA JUGA: Capreskan Dahlan, Demokrat Bisa Bertaring Lagi
Dikatakannya, suatu yang wajar bila saat ini terjadi "pemaksaan" untuk masuk pada kancah perubahan yang saat ini terjadi. Semua harus merenung perubahan kehidupan harus juga dirubah struktur masyarakat, struktur pelayanannya.
"Kita harus membuka mata bahwa ada sejumlah permasalahan sosial yang harus diatasi, bukan saja kemiskinan yang menjadi ukuran secara ekonomis, tetapi juga hak hidup, hak kesempatan bagi warga rentan, warga yang beresiko sosial tinggi seperti penyandang cacat, korban bencana, warga di daerah terpencil, tertinggal," ujarnya.
BACA JUGA: Akil Tagih Terus Kekurangan Rp 5 M ke Bupati Buton
Mensos menegaskan, mereka bukan beban negara, tapi punya kontribusi nilai investasi bagi negara bila diberdayakan. "Di tengah ketidaknyamanan, ketidakamanan saat ini di Indonesia, ada titik-titik yang menjadi aset nasional sebagai penunjang devisa negara yang diolah oleh warga warga yang tinggal di daerah yang sumber daya alamnya baik," kata menteri asal PKS itu.
Menurut Salim, semua pihak harus mulai menempatkan pembangunan kesejahteraan sosial ke tengah arus tengah pembangunan nasional. Bukan karena alasan undang-undang semata, tetapi lebih pada keajegan perlakuan dan kesempatan tang dapat menopang stabilitas negara.
BACA JUGA: ââ¬Å½KPK Lakukan Koordinasi Terkait Program Raskin
"Ada banyak pengusaha besar yang menyandang disabilitas. Ada banyak warga di pedalaman memiliki aset besar penopang pengusaha besar tapi kalah karena tidak ada akses," terangnya.
Pria kelahiran Surakarta itu juga menyampaikan, parameter pemberdayaan sosial bagi warga rentan dan beresiko sosial tinggi sebenarnya sudah ada dan mudah untuk diterapkan. Hanya tinggal kemauan dan integritas yang harus ditanamkan pada para pelaku di lapangan. Sebut saja bedah rumah tidak layak huni yang jumlahnya 2,3 juta.
"Bila dikerjakan dengan sungguh-sungguh semua pemerintah daerah dalam setahun masing masing kabupaten/kota 1.000 rumah per tahun dikalikan dengan 511 (kabupaten/kota), maka dalam waktu 5 tahun tidak ada lagi warga yang tinggal di rumah tidak layak huni. Ukurannya atapnya rumbia, dindingnya gedek atau bilik, lantainya tanah, syaratnya tanahnya milik sendiri," kata Mensos.
Bantuan sosial sejatinya ditujukan bagi sesuatu yang bersifat kedaruratan, ditujukan bagi warga rentan (miskin aset, miskin pendapatan), ditujukan bagi warga yang beresiko sosial tinggi (penyandang cacat, terlantar, korban bencana). Sederhana alasannya bila tidak diatasi maka akan jadi beban negara tanpa ada akhirnya dan akan menambah beban biaya.
"Bantuan sosial yang tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu akan menjadi kunci percepatan peraihan kesejahteraan," pungkasnya.(ris/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemnakertans-BPJS Tingkatkan Kualitas dan Pengawasan Jaminan Sosial
Redaktur : Tim Redaksi