Sebuah lembaga pendidikan di Queensland menutup jurusan Bahasa Inggris-nya, setelah jumlah siswa baru yang mendaftar turun drastis, dari ratusan menjadi hanya kurang dari lima orang.

Ini menunjukkan dampak dari penutupan perbatasan internasional di Australia karena pandemi COVID-19.

BACA JUGA: Sandiaga Siapkan Kebijakan Pendukung Industri Gaming

Beberapa pengelola lembaga pengajaran bahasa Inggris di Australia mengatakan dampak jangka panjangnya akan sangat terasa bagi kehidupan multikultural di Australia.

Perbatasan internasional ke Australia juga diperkirakan masih akan tetap ditutup sampai 12 bulan mendatang.

BACA JUGA: IMIP Bantu Oksigen untuk Pemerintah Indonesia

Jumlah kedatangan internasional kembali dikurangi dengan penerimaan mingguan sebanyak 3.035 orang per minggu, turun dari 6.370 orang.

Keputusan ini diambil setelah Australia mulai menerapkan empat strategi bertahap untuk keluar dari pandemi COVID-19.

BACA JUGA: Pandemi Makin Parah, Industri Tembakau Kembali Menuntut Kepastian Pemerintah

Direktur pelaksana lembaga pengajaran bahasa Inggris Inforum Education, Simon Craft, mulai khawatir soal ini.

"Australia secara tradisional adalah negara multikultural dan saya sekira sekarang kehidupan multikultural itu sekarang mati suri," kata Simon.

"Selama masa pandemi ini, mudah sekali bagi Pemerintah untuk menentukan siapa yang bisa masuk, tidak saja warga negara Australia yang tertahan di luar, tetapi juga siapa saja yang berasal dari luar negeri."

"Selalu saja warga Australia di luar negeri atau mereka yang datang dari luar negeri dianggap sebagai peringkat kedua bagi para politisi." Jumlah siswa menurun tajam

Inforum Education yang berlokasi di Gold Coast, salah satu kawasan wisata utama di Queensland, menerima sekitar 240 orang untuk kursus belajar bahasa Inggris sebelum pandemi COVID, namun sekarang peminatnya turun sebanyak 98 persen. 

Siswa asal Rusia Alena Shtervets yang baru lulus minggu adalah satu dari beberapa siswa asing yang belajar di sana selama setahun terakhir.

"Rasanya sedih, tentu saja," katanya.

"Saya ingin terus melanjutkan belajar bahasa Inggris, jadi saya berharap sekolah akan buka lagi segera."

Alena mengatakan tinggal di Gold Coast di masa-masa tidak menentu di tahun 2020, sambil belajar bahasa asing dan juga bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya adalah hal yang tidak mudah.

"Saya tidak tahu bagaimana kami melewati semua ini," katanya.

"Saya tidak bisa mengunjungi ibu saya, saya tidak bisa mengunjungi adik-adik saya. Mereka tinggal di Rusia."

Sudah lebih dari setahun tidak bisa pulang ke Rusia karena penutupan perbatasan internasional, Alena mengatakan dia mengalami kesulitan keuangan.

"Bila Pemerintah mengizinkan, suami saya perlu ke Rusia karena urusan bisnis," katanya.

"Tapi kami harus menghabiskan banyak biaya, tiket pesawat dan ketika dia kembali dia harus menjalani karantina di hotel bayar Rp30 juta."

"Selama dua tahun kami tidak bisa kemana-mana." Desakan bagi lebih banyak koridor perjalanan

Laporan Mitchell Institute tahun 2020 memperkirakan mahasiswa internasional menyumbangkan sekitar Rp37 triliun bagi perekonomian Australia sebelum COVID.

Namun di bulan Oktober 2020, pendaftaran bagi visa mahasiswa internasional  berkurang 90 persen dibandingkan masa sebelumnya.

Menurut data dari Departemen Pendidikan Australia, per 28 Juni 2021, ada sekitar 315.298 pemegang visa pelajar yang berada di Australia, turun dari angka 578 ribu di bulan Oktober 2019.

Simon Craft dari Inforum Education mengatakan ia menyambut baik rencana pemerintah terbaru untuk keluar dari pembatasan perjalanan, namun sejauh ini tidak ada rencana rinci yang sudah diungkapkan.

"Pemerintah tidaklah sangat terbuka terkait dengan kedatangan internasional," katanya.

"Kami tidak mengharapkan seluruh perbatasan dibuka besok."

"Tetapi paling tidak, kalau ada perjanjian koridor perjalanan dengan beberapa negara yang secara tradisional mengirimkan mahasiswa ke Australia, maka ini akan menjadi langkah besar ke arah yang tepat.

"Negara seperti Jepang dan Korea Selatan, dan mungkin Thailand, atau bahkan beberapa negara Eropa Barat, sudah relatif berhasil menekan jumlah kasus di sana."

Bulan Juni lalu, Singapura dan Australia sudah menyepakati untuk melakukan koridor perjalanan yang aman, namun belum mencapai kesepakatan akhir karena meningkatnya kasus di kedua negara. Siap membantu biaya karantina

Dalam setahun terakhir sudah ada sejumlah kecil mahasiswa internasional yang tiba dengan pesawat sewaan khusus.

Menurut Simon lembaganya tidak keberatan untuk membantu para mahasiswa dengan biaya karantina bila model yang sama diberlakukan lagi.

"Sekarang ini situasinya seperti ada Benteng Australia, di mana ada anggapan bahwa orang dari luar negeri akan membawa virus COVID masuk ke sini, dan karenanya kita harus mengunci diri dari mereka," katanya.

"Mereka yang berasal dari luar negeri sering dijadikan kambing hitam dalam banyak hal."

"Para politisi mengambil pendekatan mudah seperti ini, dan bukannya memimpin dan memperkenalkan konsep kepada warga Australia bahwa kita harus bisa hidup berdampingan dengan virus."

Juru bicara Departemen Pendidikan Australia mengatakan paket senilai Rp500 miliar sudah digelontorkan untuk memberi bantuan kepada berbagai lembaga yang menyediakan kursus bagi mahasiswa internasional.

Simon mengatakan dia sudah mengajukan permintaan bantuan kepada Pemerintah dan sekarang mengalihkan model pembelajaran menjadi online dan memberikan les untuk murid-murid sekolah dasar guna mencukupi biaya hidup sehari-hari.

"Bila kami tidak melakukan hal seperti ini kami mungkin harus menutup keseluruhan bisnis kami atau paling tidak dibekukan sampai perbatasan internasional dibuka kembali bagi mahasiswa internasional," katanya.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polda Jatim Mengeluarkan Peringatan, Penyeleweng Alkes, Obat-obatan, Tabung Oksigen, Bakal Ditindak

Berita Terkait