Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo atau SYL mengatakan, pihaknya mendorong diversifikasi pangan lokal untuk mengantisipasi krisis pangan global dan ancaman kekeringan.

Sebab, kata Mentan, prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terdapat beberapa daerah rawan kekeringan selama musim kemarau 2020. Hal itu yang perlu diawasi oleh pemerintah dan pihak mana pun.

BACA JUGA: Pacu Ekspor, Mentan Lepas Produk Turunan Jagung dan Gandum di Cilegon

SYL mengungkapkan hal tersebut saat menghadiri diskusi 'Badan Sehat Gizi Seimbang dengan Diversifikasi Pangan Lokal' secara virtual melalui Aplikasi Zoom, Sabtu (18/7).

Diskusi itu diselenggarakan oleh DPP Garda Wanita (Garnita) Malahayati NasDem untuk memperingati HUT kesembilan organisasi tersebut.

BACA JUGA: Jelang IdulAdha, Mentan Syahrul Pantau Ternak Hewan di Subang

"Perlu dilakukan diversifikasi untuk penyediaan alternatif sumber karbohidrat lokal nonberas dan menggerakan ekonomi masyarakat di tengah pandemi COVID-19," ujar dia dalam keterangan resminya, Senin (20/7).

SYL menjelaskan, masyarakat perlu disadarkan untuk tidak bertumpu pada komoditas beras. Indonesia memiliki jagung yang bisa menjadi komoditas pangan sehari-hari.

BACA JUGA: Mentan Dorong Perusahaan Eka Karya Flora Buka Akses Pasar Anggrek Secara Luas

"Bukan hanya beras, tapi berbagai pangan lain ada ubi kayu, jagung, sagu, kentang, pisang, talas, dan lainnya. Langkah diversifikasi pangan ke depan yakni memperkuat tiap komoditas pangan di masing-masing wilayah," ucap dia.

Selain SYL, diskusi 'Badan Sehat Gizi Seimbang dengan Diversifikasi Pangan Lokal' turut dihadiri Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, anggota Komisi IV DPR RI Charles Meikyansah, Ketua Umum Garnita Malahayati NasDem Indira Chandra Thita Syahrul, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Edi Santosa, dan Maria Loretha atau yang biasa disebut “Mama Sorgum”.

Dalam diskusi, Charles mengatakan, di Indonesia terdapat daerah rentan pangan yang berada di 88 kabupaten atau kota yang terdiri dari 956 kecamatan.

Berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI), keadaan Indonesia membaik dari sebelumnya 54,8 pada 2018 menjadi 62,6 pada 2019.

"Perbaikan ini harus terus dilakukan, utamanya dalam aspek availability serta quality safe," imbuh Charles.

Legislator NasDem dapil Jawa Timur IV itu menyebutkan, Indonesia memiliki GFSI terendah di lima provinsi, yaitu Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Kalimantan Barat.

"Pemerintah harus memastikan provinsi dengan GFSI terendah tersebut kebutuhan pangannya tercukupi selama pandemi Covid-19," tegas dia.

Tidak hanya itu, Charles juga mengatakan, diversifikasi pangan lokal serta penguatan cadangan dan sistem logistik pangan harus diperkuat.

"Sebab, bangsa yang mandiri dalam pangan adalah bangsa yang kuat, bangsa Indonesia harus mampu menggali dan mengembangkan potensi pangan lokal untuk mendukung ketahanan pangan nasional," paparnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Edi Santosa menegaskan, ada beberapa kriteria pangan paling disukai milenial.

"Oleh karena itu, agar permintaan pangan lokal tidak terputus, saya menyarakan agar membangun memori positif individual, membangun memori kolektif masyarakat untuk diversifikasi pangan berupa energi restorasi mental, kesiapan bencana dan etnisitas," terang Edi.

Dia melanjutkan, kriteria lainnya adalah memblending pariwisata dengan pangan lokal, kemudian mewariskan keahlian mengolah pangan lokal kepada generasi muda, menambah variasi menu makan untuk gizi seimbang, dan insentif bagi petani.

"Kepeloporan public figure untuk stigma positif pangan lokal juga bisa dianggap penting," tegas Edi.

Narasumber lain, Maria Loretha atau yang biasa disebut “Mama Sorgum” bertekad mengembalikan sorgum ke Bumi Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurutnya, NTT adalah negeri biji-bijian yang sejak zaman Belanda, Pulau Lembata sudah dikenal sebagai pulau sereal atau pulau biji-bijian.

"Lahan di NTT 80 persen itu semi arid dengan curah hujan sangat rendah. Mimpi besar NTT adalah bisa menjadi lumbung sorgum nasional di tahun 2025," tegas Maria Loretha.

Ditegaskan Maria, tantangan kondisi lahan di NTT yang berbatu, bertanah dan batu karang berpasir tidak mungkin bisa dikerjakan traktor seperti di tempat lain. Namun, tambah Maria, hal itu berhasil dikalahkan masyarakat NTT yang sudah dipelopori sejak lima tahun lalu.

"Kenapa harus sorgum untuk NTT? Sebab, sorgum bisa menjadi jawaban mengatasi malnutrisi dan gempur stunting di NTT. Sorgum dapat tumbuh dengan baik di kondisi lahan NTT. Banyak sudah penelitian dilakukan baik oleh IPB maupun yang lain dan ada juga dari pengalaman saya pribadi yang merasakan manfaat sorgum," terang Maria.

Saat ini, warga NTT dan Mama Sorgum diberikan bantuan proyek pengembangan sorgum seluas 3000 hektar di 14 kabupaten dari Gubernur NTT Viktor Laiskodat. Mama Sorgum bersama Yaspensel Keuskupan Larantuka yang dipimpin Romo Benyamin Daud Pr sudah memastikan ketersediaan benih dengan varietas baik untuk proyek pengembangan ini.

Sedangkan Indira Chandra Thita Syahrul menegaskan, diversifikasi pangan lokal adalah konsep yang sinergis dan terpadu dengan konsumsi pangan menuju ke arah gizi yang seimbang.

"Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi antara kementerian dan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan termasuk Garnita Malahayati NasDem. Tujuannya, untuk terus-menerus mengedukasi masyarakat dan mensosialisasikan potensi pangan lokal kepada seluruh masyarakat," tutup Indira dalam diskusi tersebut. (mg10/jpnn)

Berita Terkait