jpnn.com, JAKARTA - Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan, penanganan pengendalian perubahan iklim Indonesia dilakukan dengan pendekatan Ketahanan Nasional.
Hal itu disampaikan pada acara Festival Iklim di gedung Manggala Wanabakti, Kamis (3/10).
BACA JUGA: Di Norwegia, Menteri LHK Perjuangkan Isu Pengendalian Perubahan Iklim
Dia juga memberikan refleksi penanganan perubahan iklim selama lima tahun ini serta isu lingkungan yang terkait.
Dalam kurun lima tahun terakhir ini, terdapat kejadian bencana terkait iklim ekstrim, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain.
BACA JUGA: Dekat Jakarta, Ada Hutan Organik, Bukti Aksi Konkret Pengendalian Perubahan Iklim
Kebakaran hutan di Indonesia merupakan salah satu contoh yang masih menjadi keprihatinan, meskipun kondisinya saat ini sudah sangat jauh menurun dibandingkan dengan dua-tiga minggu lalu.
“Perkembangan serupa juga terjadi di kawasan hutan Amazon serta area hutan dan lahan di negara lain termasuk di Amerika dan Australia,” ujar Menteri Siti.
Fenomena yang terjadi saat ini erat kaitannya dengan hasil kajian para ilmuwan yang menyebutkan bahwa salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya kejadian iklim ekstrim, yakni meningkatnya kejadian ENSO (El Nino Southern Oscillation) baik berupa La Nina maupun El Nino.
Perubahan iklim dapat meningkatkan frekuensi kejadian La Nina dan El Nino, yang normalnya berulang dalam perioda 5 – 7 tahun menjadi lebih pendek frekuesi kejadiannya setiap 3 – 5 tahun.
La Nina dapat menimbulkan dampak berupa banjir akibat curah hujan yang tinggi sementara El Nino menimbulkan dampak berupa kekeringan ekstrim akibat rendahnya curah hujan.
“Kondisi iklim global menunjukkan kondisi atmosfer maupun laut mengalami pemanasan yang menyebabkan keberadaan dan volume salju serta luasan es berkurang drastis, serta mengakibatkan kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut sejak pertengahan abad 19 jauh lebih besar, dibandingkan dengan laju selama dua milenium sebelumnya Frekuensi dan intensitas kejadian curah hujan yang tinggi akan meningkat secara global. Kondisi suhu ekstrem, termasuk hari-hari panas dan gelombang panas menjadi lebih umum terjadi sejak 1950,” urai dia.
Tren kekeringan secara global sukar diidentifikasi, namun demikian sejumlah wilayah nampak jelas akan mengalami kekeringan yang lebih parah dan lebih sering. Badai tropis skala 4 dan 5 diperkirakan akan meningkat frekuensinya secara global.
Hal tersebut memberikan dampak cukup serius pada Sumber Daya Air yakni Perubahan iklim selama abad ke-21 diproyeksikan mengurangi sumber daya terbarukan air dan air permukaan secara signifikan di sebagian besar wilayah subtropis kering.
Demikian pula pada Ekosistem Darat dan Air Tawar, di mana Peningkatan risiko kepunahan terutama karena perubahan iklim berinteraksi dengan stress lainnya seperti modifikasi habitat, over-eksploitasi, polusi, dan spesies invasif.
Pada skenario emisi medium-tinggi (RCP 4.5, 6.0, dan 8.5) menimbulkan risiko tinggi dalam skala regional berupa komposisi, struktur, dan fungsi ekosistem darat dan air tawar, termasuk lahan basah.
Begitu pula pada Pesisir dan Laut, di mana sistem pesisir dan daerah dataran rendah akan semakin mengalami dampak buruk seperti perendaman, banjir pantai, dan erosi pantai, Pengurangan keanekaragaman hayati laut di daerah-daerah sensitif berdampak pada produktivitas perikanan dan jasa ekosistem lainnya.
Pada skenario emisi medium-tinggi (RCP 4.5, 6.0, dan 8.5), pengasaman laut menimbulkan risiko besar untuk ekosistem laut, terutama ekosistem terumbu karang.
“Kita di Indonesia, juga tidak luput dari kondisi yang bermasalah itu,” kata Siti.
Kejadian iklim ekstrem yang terus berulang dengan luas wilayah terdampak yang semakin menyebar, mengingatkan untuk terus memperkuat upaya pengendalian perubahan iklim sebagaimana tertuang dalam kesepakatan Paris atau Paris Agreement yang ditetapkan pada 2015.
Pengendalian laju kenaikan suhu bumi dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sumbernya atau yang dikenal dengan upaya mitigasi, harus dilakukan sejalan dengan langkah-langkah adaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim yang telah terjadi saat ini maupun mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi di masa depan.
Upaya adaptasi bagi negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti Indonesia, perlu mendapat perhatian khusus untuk meminimalkan korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Menteri juga menggarisbawahi bahwa terkait adaptasi perubahan iklim, Indonesia telah menetapkan komitmen untuk meningkatkan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem.
“Penyediaan sarana, prasarana, dan infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim untuk sektor-sektor yang sensitif perubahan iklim harus terintegrasi dengan keseluruhan proses perencanaan pembangunan, mulai dari tingkat desa sampai ke nasional, mencakup antara lain sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, lingkungan hidup, dan kesehatan serta wilayah khusus seperti perkotaan dan pesisir,” tambah Siti. (cuy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan