Menu Kuda

Jumat, 27 April 2018 – 12:40 WIB
Dahlan Iskan di ladang gandum di pedesaan Amerika Serikat menjelang panen. Foto: Disway

jpnn.com - Saat ini saya tinggal di desa. Desanya Amerika. Di pelosok sekali.

Kalau Anda buka peta Amerika tunjuklah titik tengahnya. Di situlah saya. Di Hays. Masuk negara bagian Kansas.

BACA JUGA: Asyik Nonton, Lupa Jualan

Saya pernah tinggal di pedesaan pelosok Tiongkok. Waktu bangun pagi bingung: cari tempat buang air.

Itu 20 tahun lalu. Kamar tidurnya enak. Berkasur bagus. Tapi tidak punya toilet. Gak disangka sekarang modernnya bukan main.

BACA JUGA: Alexa Si Seksi dari Amerika

Saya juga pernah tinggal di pedesaan Jepang. Di desa luar kota Nemuro. Di pulau Hokkaido. Di ujung paling utara pulau. Menghadap ke pulau-pulau Kuril. Yan

g disengketakan dengan Rusia. Desanya modern. Dari rumah ke ke rumah (waktu itu) dihubungkan dengan interkom. Hanya ada beberapa puluh rumah di situ.

BACA JUGA: Durian Runtuh di Rumah Sebelah

Kedatangan saya bikin heboh kecil. Diberitahukan ke semua rumah lewat interkom.

Tidur saya di tatami. Yang dihampari kasur. Serba bersih. Serba rapi.

Rasanya badan sayalah yang akan membuatnya kotor. Saya tidak diberi mimpi apa-apa. Suara ombak mendayu-dayu dari laut. Sepanjang malam yang sepi. Damai di bumi.

Kini saya di pedesaan Amerika. Rumah-rumahnya tanpa pagar. Semua punya mobil. Bahkan banyak yang dua. Salah satunya pick-up. Yang di desa ini disebut truck.

Di Tiongkok, di Jepang dan di Amerika sama. Pelosoknya sulit berkembang. Banyak desa (di sini disebut kota kecil) yang penduduknya berkurang. Terutama anak mudanya. Pindah ke kota besar.

Tentu tidak ada pembantu di rumah ini. Cuci piring sendiri. Cuci pakaian sendiri. Merapikan tempat tidur sendiri. Saya tidak mau bikin sampah: karena harus membersihkannya sendiri.

Saat menyiapkan makan sesedikit mungkin pakai peralatan dapur: agar tidak banyak mencucinya.

Saya menemukan cara ini: makan siang tanpa perlu mencuci apa pun. Makan burrito. Masakan Mexico. Bikin sendiri. Sudah biasa. Untuk urusan burrito saya sudah pada tingkat, ehm, ahli.

Saya ambil piring. Agar piring tidak kotor saya lapisi tisu jenis tebal. Saya ambil beberapa bahan dari kulkas: sayur spinach, cuilan brocoli, salari, tiga macam cheese, irisan daging atau ayam, mustard dan yang utama tortilla.

Lembaran bundar tortilla (baca: tortiya) saya hampar di atas tisu tadi. Sayur-mayur saya taburkan di atas tortilla.

Cheese-nya saya potong-potong kecil dan saya taburkan di atas sayur. Kalau tidak mau cuci pisau nyuwilnya pakai tangan.

Lalu mustardnya saya cecerkan di atasnya. Selesai.

Masukkan piring itu ke microwave. Satu menit. Keluarkan dan taruh lagi di meja dapur.

Pekerjaan terakhir: menggulung tortilla itu. Jadilah gulungan burrito. Tisunya jangan dibuang. Pakai untuk bungkus gulungan.

Tidak perlu cuci apa pun setelah itu. Simple. Itulah makan siang saya sehari-hari. Enak sekali. Kalau lama tidak ke Amerika saya kangen makan burrito made in Disway ini.

Memang saya bisa membuatnya di Jakarta atau Surabaya. Cucu-cucu saya sering minta dibuatkan burrito. Seadanya. Rasanya tidak bisa sama.

Yang sulit: saya tidak bisa menemukan tortilla yang lembarannya lebar. Di Jakarta ada dijual tortilla. Lebarnya hanya separuhnya. Sulit menggulungnya. Tidak cukup pula untuk makan siang.

Yang juga sulit: mencari cheese yang ada rasa pedasnya. Sudah saya kelilingi supermarket di Jakarta. Termasuk yang pelanggannya banyak orang asing: tidak ketemu.

Kalau sayur kale dan salari bisa di dapat di Jakarta maupun Surabaya. Namun mustard yang saya sukai itu tidak ada. Ada info?

Kelak, kalau pensiun dari Disway, rasanya saya bisa buka kursus bikin burrito.

Makan pagi saya pun lebih simpel dari itu: oatmeal. Tiga sendok oatmeal. Masukkan ke mangkok. Beri air dari kran. Air kran di sini bisa diminum.

Masukkan microwave. Dua kali: masing-masing 1,5 menit. Pernah saya malas: langsung tiga menit. Toh sama-sama tiga menit.

Ternyata tidak. Gelembung-gelembung oatmealnya muncrat. Terlalu panas. Berhamburan mengotori dalamnya microwave. Berantakan. Menimbulkan pekerjaan bersih-bersih yang merepotkan.

Di pedesaan Amerika ini saya baru tahu apa beda oat dan wheat. Oat dan gandum. Kalau dilihat di sawah bentuk tanamannya sangat mirip. Waktu panen apalagi. Bentuk bijinya sulit dibedakan.

Saya masukkan kata wheat di Google translate. Terjemahannya: gandum.

Saya masukkan kata oat. Terjemahannya: gandum.

Pemilik rumah ini, John Mohn, juga sulit menjelaskan. Agak lama dia berpikir mencari jawaban. Agar bisa dengan mudah dimengerti.

Akhirnya dia, yang waktu muda ikut menggarap sawah dan menanam gandum, menemukan jawaban. Tepat dan sederhana. Lucu pula.

”Kalau wheat (gandum),” katanya, ”itu makanan orang”. Lanjutnya: ”Kalau oat itu makanan kuda.”

Jadi, saya ini sarapan makanan kuda?

”Jangan khawatir,” katanya. ”Seluruh presiden Amerika sarapannya oatmeal.”

Ya, sudah. Lega.(***)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Beda Pahlawan dan Jagoan di Udara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler