jpnn.com, JAKARTA - Aktivis'98 Ray Rangkuti mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan secara matang rencana penerbitan peraturan pemerintah (perpres) tentang pelibatan TNI dalam menangani kejahatan terorisme.
Ray mengingatkan hal tersebut karena pemberantasan terorisme menurutnya masuk ranah hukum sipil, di mana selama ini ditangani oleh kepolisian.
BACA JUGA: 12 Hari, Densus 88 Mampu Membuat 72 Terduga Teroris Tak Berkutik
"Saya kira pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus ekstra hati-hati, karena memasuki wilayah sipil," ujar Ray di Jakarta, Jumat (14/8).
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) ini juga beralasan, tugas utama TNI adalah pertahanan negara.
BACA JUGA: Pasukan TNI dari 3 Matra Masuk ke Lapangan di Istana Merdeka, Pak Jokowi Pantau dari Kejauhan
Karena itu, kurang tepat dilibatkan dalam perkara sipil.
Ray khawatir pelibatan TNI dalam penanganan terorisme hanya akan menimbulkan kesan profesionalisme TNI menjadi menurun.
BACA JUGA: Fakta Terbaru Kasus Mahasiswi Tewas Tergantung, Ternyata Kekasihnyaâ¦
Pasalnya, profesionalisme TNI selama ini sudah mendapatkan pengakuan baik di dalam maupun di luar negeri.
"Jadi, sangat penting untuk tidak mengorbankan profesionalisme TNI," katanya.
Ray curiga, keinginan melibatkan TNI dalam penanganan terorisme jangan-jangan karena ada anggapan TNI memiliki cukup banyak waktu.
Padahal, TNI bekerja selama 24 jam sehari dalam bidang pertahanan negara.
Di sisi lain, Ray juga khawatir pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme akan berimbas pada hubungan dua lembaga tersebut.
Ia kemudian memaparkan alasan untuk memperkuat pandangannya, bahwa pemberantasan terorisme selama ini dipegang oleh kepolisian.
Artinya, ketika TNI nantinya diperbantukan, maka pasukan yang dilibatkan secara otomatis berada di bawah komando kepolisian.
Menurut Ray, secara psikologi kondisi tersebut kurang baik bagi hubungan dua lembaga yang selama ini sudah berjalan cukup harmonis. (gir/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Ken Girsang