jpnn.com, JAKARTA - Sudah menjadi tradisi tahunan saat agenda mudik selesai, Jakarta akan kembali dipenuhi oleh pendatang. Itulah sebabnya Pemprov Jakarta selalu berupaya mensosialisasikan bahwa boleh hidup di Jakarta, tetapi harus punya skill. Ini permasalahan klasik semua kota besar, bukan hanya Jakarta.
Hanya saja Jakarta sepertinya masih agak resisten untuk pendatang. Jakarta adalah ibu kota negara yang mana setiap warganya mempunyai hak yang sama untuk menikmati Jakarta.
BACA JUGA: Berangkat Padat, Arus Balik Malah Sepi
Al Mansur Hidayatullah, Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jakarta Selatan mengungkapkan Lebaran, hanyalah salah satu momen yang menjadi pemicu migrasi penduduk desa ke kota. Secara umum urbanisasi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertumbuhan penduduk daerah perkotaan, reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan, dan migrasi dari daerah perdesaan ke perkotaan.
Karena itu, migrasi pascalebaran, bukan satu-satunya masalah bagi kota-kota besar seperti Jakarta. Pun, masalah urbanisasi lazim terjadi di kota-kota di dunia. Migrasi bisa terjadi kapan saja.
BACA JUGA: Penumpang Bus Melahirkan di Bahu Jalan Tol Cipali, Bayinya Perempuan
"Arus urbanisasi pasca lebaran memang fenomena rutin tahunan. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata jumlah pendatang ke Jakarta mencapai 58 ribu orang per tahun, pernah juga mencapai 70-an ribu orang. Penambahan jumlah penduduk Jakarta Selatan setelah lebaran pernah mencapai 11 persen atau sebanyak 7.700 jiwa,” ungkap Al Mansur.
Banyak pihak menyalahkan warga yang berurbanisasi ke Jakarta. “Kalau ditinjau dari sisi sosiokultural saja, mungkin iya. Tetapi dari sisi pembangunan ekonomi, pemerintah lah yang sepertinya perlu ditinjau kembali. Seperti dana desa yang belum secara optimal tergarap untuk menciptakan ketertarikan di desa-desa,” katanya.
BACA JUGA: Bus Arus Balik ke Jakarta Hangus Terbakar di Jalur Pantura
Urbanisasi, kata dia, faktor terbesarnya digerakkan oleh keterbatasan sumber daya di desa-desa. Jakarta terlihat seperti sangat menonjol dibanding daerah-daerah lain. Sementara kawasan lain terkesan lebih lemah secara ekonomi.
Akibatnya ada permasalahan yang akan muncul, saat para pendatang ini tidak punya cukup modal dan juga skill untuk bekal mengadu nasib di Jakarta. Mereka akan menjadi penyumbang permasalahan kriminalitas dan penyakit masyarakat lainnya. Mereka yang kalah dalam bersaing, selanjutnya bisa menjadi potensi masalah di Jakarta.
"Namun sepertinya cara pandang kita terhadap urbanisasi ini harus mulai berubah. Kalau dulu urbanisasi dinilai sebagai hal yang menimbulkan masalah dan harus dicegah, saat ini kita harus bisa lebih terbuka. Urbanisasi sebaiknya dilihat sebagai peluang baru dari sebuah mobilisasi yang memberikan dampak positif bagi kemajuan kota," ujar Al Mansur.
Dengan cara pandang tersebut, urbanisasi dapat dijadikan sebagai sarana bagi mobilisasi sosial dan ekonomi.
“Oleh karena itu, semua stakeholder Jakarta harus bersama-sama mencari jalan keluar dan mengambil peran positif agar urbanisasi ini bisa lebih bermakna dan berkualitas," tambah Al Mansur.
Al Mansur juga mengatakan bahwa ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjadikan urbanisasi sebagai peluang. Pertama yakni menegakkan regulasi tentang rencana tata ruang. Kedua menyiapkan rencana sumber pembiayaan agar sebuah kota bisa membiayai dirinya sendiri. Ketiga, proses perencanaan urbanisasi yang lebih baik.
Sehingga pengendalian urbanisasi, tidak bisa dilakukan dengan pelarangan masuk dan upaya menangkal dengan mempersulit perizinan kependudukan saja. Ditinjau dari perspektif hak warga negara, dalam Undang-Undang Dasar telah jelas bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak dan tentunya punya hak untuk memilih di mana di negeri ini mereka akan tingggal.
"Sepatutnya kebijakan penanganan pendatang diarahkan dengan solusi yang tidak mencederai rasa kebangsaan dengan menolak sesama warga bangsa untuk tinggal di Jakarta," tegas Al Mansur.
Al Mansur menekankan resistensi kota terhadap pendatang tidaklah elok dengan menggunakan pendekatan formalistik, kebijakan antipendatang.
Dia mengatakan keterkaitan kota dan wilayah di sekitarnya adalah sebuah hubungan mutualisme, saling melengkapi sehingga solusi untuk memperkuat resistensi kota dari pendatang adalah dengan memberdayakan kawasan asal kaum urban.
“Dengan merealisasikan pemerataan pembangunan ekonomi atau adanya kawasan penyangga yang mampu menjadi penyuplai ekonomi kota, pemberdayaan kawasan desa-desa sekitar.” katanya.
Dengan demikian laju urbanisasi akan semakin kecil dengan ekonomi yang merata. Penanganan urbanisasi bisa dimulai dengan membentuk kawasan-kawasan ekonomi yang tidak memusat.
"Jika diibaratkan laron maka memperbanyak lampu yang terang adalah solusi agar laron tidak terkonsentrasi pada satu titik lampu. Tugas ini, tentunya bukan tugas Jakarta semata, melainkan juga pemerintah pusat," tandas Al Mansur.
Tugas pemerintah dan tim ekonominya lah untuk mengarahkan pembangunan yang seimbang antara kota dan perdesaan. Pemerataan ekonomi antara kota dan desa yang selama bertahun-tahun selalu dikampanyekan nampaknya belum berhasil.
Desa masih saja terus tertinggal, sehingga banyak warganya yang datang ke kota. Urbanisasi sebaiknya tidak hanya dipandang sebagai masalah tetapi justru harus dipandang sebagai peluang. Urbanisasi dapat dijadikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Al Mansur menjelaskan saat ini, masyarakat yang hidup di perkotaan mencapai 54 persen. Urbanisasi menjadi isu uutama pembangunan di seluruh kota di dunia yang disertai dengan transformasi ekonomi, sosial, budaya dan sistem politik.
Apakah arus urbanisasi harus dicegah, ataukah justru perlu dicarikan solusinya agar bisa bermanfaat bagi kota yang didatangi. Pertanyaan ini pernah jadi pembahasan dalam Asia Pacific Regional Meeting (APRM) for Habitat III di Jakarta. Pertemuan yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu, akhirnya melahirkan The Jakarta Declaration for Habitat III.
Deklarasi itu diberi judul "Sustainable Urbanization to Accelerate Development" (Urbanisasi Berkelanjutan untuk Mempercepat Pembangunan). Urbanisasi telah diakui sebagai kendaraan menuju mobilitas sosial dan ekonomi yang lebih baik, melalui peningkatan akses pelayanan publik, pusat inovasi dan penguatan konektivitas dengan lingkungan desa.
Masyarakat kota sebagai bagian terkecil masyarakat harus tumbuh menjadi masyarakat yang mandiri. “Kota juga harus menjadi tempat yang layak untuk dipenuhi, aman dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat," ujar Al Mansur.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Urai Macet Akibat Rest Area, Terapkan Contraflow di Tol Cikampek-Jakarta
Redaktur & Reporter : Friederich