Menyerah Sulit

Oleh Dahlan Iskan

Senin, 28 Oktober 2019 – 06:09 WIB
Dahlan Iskan di tengah para pedemo di Hong Kong. Foto: disway.id

jpnn.com - Pembunuh pacar yang lagi hamil itu benar-benar bebas. Rabu pagi lalu.

Chan Tong-kai keluar penjara didampingi pastor. Dijemput mobil putih sejenis Alphard. Tahi lalat besarnya masih utuh di dekat lubang kanan hidungnya.

BACA JUGA: Demo Hamil

Ke mana arah mobil yang membawa si pembunuh itu?

Menyerahkan diri secara sukarela ke Taiwan? Agar diadili di sana? Seperti yang diinginkannya?

BACA JUGA: Tidak Welcome

Tidak jadi.

Langsung ke rumah orang tua?

Juga tidak.

Ke rumah orang tua pacar yang dibunuhnya?

Tidak berani.

Mobil itu menuju satu komplek perumahan bagus. Yang media pun tidak bisa masuk mengikutinya.

Tak lama kemudian mobil putih itu meninggalkan gerbang perumahan. Tong-kai tidak lagi di dalamnya.

Berarti ditinggal di salah satu rumah itu. Mungkin ngumpet di situ sampai Pemilu selesai. Pemilu di Taiwan. Januari depan.

Kasus Tong-kai memang jadi dagangan politik di Taiwan.

Mula-mula pemerintah Taiwan merasa tersinggung. Oleh pernyataan Hong Kong.

"Mengapa Taiwan tidak merespon rencana penyerahan diri Tong-kai? Ada apa?“

Taiwan mengatakan tidak ada cara untuk menerima penyerahan Tong-kai. Keduanya tidak punya perjanjian ekstradisi.

Namun satu hari kemudian Taiwan bikin kejutan: tiba-tiba mau menerima penyerahan si pembunuh.

Taiwan, katanya, segera mengirim polisi ke Hong Kong. Tepat di hari Tong-kai bebas. Untuk menerima penyerahan pembunuh itu di depan penjara.

Sampai tujuh jam kemudian Hong Kong belum merespon sikap baru Taiwan itu.

Ganti Taiwan menyerang Hong Kong. "Mengapa Hong Kong tidak segera merespons. Kami sudah menunggu selama tujuh jam."

Seolah Hong Kong-lah yang ternyata tidak mau menyelesaikan urusan ini.

Hong Kong kembali tersinggung. Soal 7 jam itu.

"Taiwan main politik. Taiwan juga telah mengambil keuntungan politik selama empat bulan terakhir."

Menurut Hong Kong, Taiwan tinggal memberikan visa ke Tong-kai. Ia akan datang sendiri ke Taiwan --tempat ia membunuh pacarnya.

"Kenapa harus mengirim polisi?“

Taiwan memang cerdik dengan rencana pengiriman polisinya itu. Kalau Hong Kong menyetujuinya berarti Hong Kong telah mengakui kedaulatan Taiwan.

Namun Hong Kong juga waspada dengan trik Taiwan itu. Ketegangan Hong Kong-Taiwan pun berlanjut.

Hari Rabu pun tiba. Tong-kai harus bebas demi hukum.

Ia sudah menjalani 2/3 dari masa hukumannya. Selama 18 bulan. Bukan karena membunuh pacar hamil. Namun karena mengambil uang dari kartu kredit mendiang pacarnya itu.

Hong Kong tidak bisa mengadilinya sebagai pembunuh. Meski Tong-kai sudah mengaku. Semua bukti ada di Taiwan.

Belajar dari kasus Tong-kai itulah pemerintah Hong Kong membuat RUU Ekstradisi.

Mahasiswa Hong Kong menentang RUU itu. Mereka khawatir. Jangan-jangan bukan hanya Tong-kai yang diekstradisi, tetapi juga para aktivis yang dikriminalisasi. Lalu dikirim ke Tiongkok. Mereka tidak percaya sistem peradilan di daratan.

Maka inilah pesta valentine yang ekornya paling panjang. Inilah pesta valentine yang menimbulkan tragedi politik yang amat parah.

Yang pesta dua orang.  Sejoli --Chan Tong-kai (19) dan Poon Hiu Wing (20).

Yang heboh banyak negara --termasuk Amerika.

Di Hong Kong sendiri terjadi demo jutaan orang. Selama empat bulan terakhir.

Aktivis yang ditahan hampir 3000 orang. Stasiun kereta bawah tanah yang dirusak 84 buah.

Sabtu kemarin saya keliling Hong Kong. Sampai ke Mong Kok di Kowloon --seberang Pulau Hong Kong.

Begitu banyak bank yang wajah depannya berubah seperti gudang. Dipasangi tembok besi baru. Tutup rapat. Dengan satu 'pintu gudang' terkunci.

Itulah bank-bank asal Tiongkok. Yang banyak punya cabang di jalan utama Kowloon.

Itulah suasana Nathan Road --satu-satunya jalan dua lajur di Kowloon: lebar dan panjang. Masjid Jami' Hong Kong ada di ujung jalan ini.

Jalan utama inilah yang jadi pusat demo. Pagar besinya praktis habis. Di kanan kiri jalan. Dicopoti. Untuk barikade pedemo. Agar bisa merangsek barisan polisi.

Pintu-pintu masuk stasiun ditutup. Ada bekas perusakan. Atau asap hitam.

Toko obat tradisional terkemuka, Dong Ren Tang, tetap buka --tetapi wajah depannya juga seperti gudang. Hanya ada satu pintu masuk seperti mau masuk gudang.

Toko kelontong 360 juga seperti itu. Toko handphone Xiaomi lebih parah lagi, sudah dikover dengan baja.

Demonya sendiri seperti akan berakhir. Sabtu kemarin untuk pertama kali tidak ada demo.

Gerakan itu memang terus mengecil. Demonya pun tinggal di hari Minggu.

Maka Minggu sore kemarin saya kembali ke Nathan Road. Salat Asar di masjid tiga lantai itu.

Sebelum waktu asar pun pedemo sudah mulai memadati kanan-kiri jalan sekitar masjid. Kian senja kian padat.

Setelah satu jam di tengah demo saya duduk di teras toko yang tutup. Di tangganya. Menulis naskah ini. Di tengah keriuhan suara teriakan demo.

Tong-kai tahu semua kehebohan itu. Begitu keluar pintu penjara ia membuat pernyataan pendek. Tanpa tanya jawab.

Tong-kai minta maaf pada masyarakat Hong Kong. Pada orang tuanya. Dan pada keluarga pacarnya.

Mengapa Tong-kai tidak langsung pergi saja ke Taiwan? Seperti saat ia dan pacarnya liburan valentine dulu?

Hari itu, seusai pesta, Tong-kai membunuh pacarnya. Setelah sang pacar mengaku hamil.

Memotong-motongnya dengan pisau yang baru dibeli. Memasukkannya ke kopor yang juga baru diambil dari toko. Membuangnya di Sungai Taipei, Taiwan.

Pulang ke Hong Kong. Terbongkar.

Polisi Hong Kong tidak punya barang bukti sedikit pun. Hanya memiliki pengakuan Tong-kai.

Satu pengakuan tidak cukup untuk memperkarakannya. Tong-kai tetap ditangkap dan diadili, tetapi bukan karena membunuh. Hanya karena mencuri uang mendiang pacarnya. Lewat ATM yang diambil dari saku mayatnya.

Namun untuk menyerahkan diri kepada polisi di Taiwan?

Ia harus punya visa.

Kalau sampai Tong-kai mengajukan visa, Taiwan akan sulit. Akankah Taiwan memberi visa? Atau menolak?

Dua-duanya bisa menyulitkan capres incumbent. Yang sangat anti-Tiongkok.

Sang pastor kelihatannya tidak mau mempersulit pemerintah Taiwan sekarang.

Maka Tong-kai akan menyerahkan diri setelah pemilu saja. Kalau jadi.(***)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler